Pemeriksaan dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir J telah menetapkan Irjen FS sebagai TSK utama. Pengungkapan kasus ini telah melalui proses panjang akibat Irjen FS merekayasa peristiwa kematian Brigadir J dan memberikan keterangan yang tidak benar (bohong) kepada publik, bahkan internal Polri beserta pemeriksanya.
Keruwetan kasus Irjen FS ini menjadi _entry point_ “pekerjaan rumah” besar institusional Polri secara paralel dan simultan, yang harus diselesaikan segera. Karena jika tidak diselesaikan atau lambat, maka akan merusak institusi Polri, dan merugikan masyarakat luas selaku penerima manfaat. Ada tiga hal utama yang harus diperhatikan.
Pertama, tupoksi inti Polri yakni pemeriksaan Pro Justitia. Pro Justitia menjadi sangat krusial dan signifikan, karena seharusnya dapat menjawab keresahan publik atas pemberitaan yang begitu liar di berbagai media. Terkait apa peristiwa dan bagaimana kronologisnya, siapa pelaku yang menyebabkan hilangnya nyawa Brigadir J, siapa saja yang mengetahui, bekerja sama, atau siapapun yang terlibat dalam pembunuhan Brigadir J, serta apa saja alat bukti yang ditemukan. Pro Justitia ini wajib dijelaskan kepada publik karena transparansi adalah kewajiban Polri, dan keluarga Brigadir J juga berhak untuk mendapatkan perkembangan pemeriksaan. Belakangan, publik masih bertanya soal motif pembunuhan, dan Polri wajib membuka motif pembunuhan terhadap Brigadir J segera.
Kedua, terangnya Pro Justitia secara paralel akan menjawab terjadinya Obstruction of Justice dalam pemeriksaan. Kapolri, Jendral Listyo Sigit telah menginstruksikan seluruh jajaran Polri untuk menggabungkan pemeriksaan beberapa dugaan tindak pidana sekaligus, mulai dari pembunuhan berencana, pelecehan seksual, pengancaman, dan percobaan pembunuhan, dengan penanganan bersama oleh Polda Metro Jaya dan Bareskrim Mabes Polri, langsung di bawah komando Bareskrim Mabes Polri. Melalui “helicopter view” ini terungkap selain materi Pro Justitia, juga mengungkapkan Irjen FS merekayasa peristiwa dan merusak serta menghilangkan alat bukti CCTV, TKP, dan lainnya. Perbuatan tersebut masuk dalam kategori Obstruction of Justice yang mengandung tiga unsur:
(1) Adanya tindakan yang menyebabkan tertundanya proses hukum (pending judicial proceedings)
(2) Pelaku mengetahui tindakannya atau menyadari perbuatannya yang salah atau fiktif/palsu (knowledge of pending proceedings)
(3) Pelaku bertujuan untuk mengganggu atau mengintervensi proses atau administrasi hukum (acting corruptly with intent).
Polri harus memastikan pemeriksaan dugaan pidana _Obstruction of Justice_ memenuhi unsur tersebut, bukan hanya sebatas pelanggaran profesionalitas dan etik saja. Polri tidak bisa bermain di level popularitas belaka dengan melakukan pemecatan jabatan struktural, tanpa menjelaskan apa saja perbuatan Obstruction of Justice yang terjadi, siapa saja yang menjalankan skenario rekayasa Irjen FS dengan kesadaran dan pengetahuan penuh sejak awal, sehingga menghalangi Pro Justitia. Sebaliknya, mereka yang tidak mengetahui adanya rekayasa oleh Irjen FS, dan bahkan kena prank (dibohongi) tidak dapat dikenakan pidana Obstruction of Justice.
Ketiga, tragedi buruk institusi Polri melalui kematian Brigadir J harusnya jadi momentum pembebasan institusi Polri dari polemik Kontestasi Politik Internal Polri. Sistem promosi dan mutasi jabatan di Polri belum sepenuhnya berbasis merit system. Kerapkali, adanya tragedi seperti ini, justru menjadi ajang kontestasi politik internal Polri yang ditunggangi segelintir pihak internal Polri. Polri harus memastikan secara paralel dan simultan untuk menuntaskan Pro Justitia, lalu menyelesaikan Obstruction of Justice, serta mengevaluasi pihak-pihak yang bertujuan untuk kontestasi politik internal Polri. Jangan sampai momentum pengungkapan kasus kematian Brigadir J terjebak dalam ruang politisasi dan kontestasi politik internal Polri.
Julius Ibrani, Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
Sumber: https://www.pikiran-rakyat.com/nasional/pr-015298659/pbhi-pengungkapan-kasus-yang-menyeret-ferdy-sambo-harus-bebas-dari-kontestasi-politik-internal-polri