Reshuffle kabinet dinilai sekedar bancakan politik, tidak mengutamakan/memikirkan kebutuhan dan kepentingan rakyat dalam asek HAM dan keadilan sosial.
Presiden Joko Widodo telah melakukan beberapa kali perombakan kabinet yang terakhir Rabu (15/6/2022) lalu. Pergantian kabinet itu menyasar 4 Kementerian meliputi Zulkifli Hasan sebagai Menteri Perdagangan menggantikan Muhammad Lutfi; Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Sofyan Djalil dan Wakilnya Surya Tjandra, diganti Hadi Tjahjanto dan Raja Juli Antoni. Sementara John Wempi Wetipo sebagai Wakil Menteri Dalam Negeri dan Afriansyah Noor sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan.
Langkah politik yang dilakukan Presiden Jokowi di 8 tahun masa kepemimpinannya itu menuai beragam pandangan publik. Organisasi masyarakat sipil menyoroti tajam sosok yang dipilih Presiden Jokowi untuk mengisi jajaran kabinetnya itu. Ketua PBHI Nasional, Julius Ibrani, menilai reshuffle kabinet itu sangat penting mengingat kondisi pemenuhan HAM dalam berbagai aspek baik sipol dan ekosob berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
Persoalan itu diperparah tindakan sejumlah Menteri yang menuai kontroversi publik. Misalnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, yang ditengarai terkait bisnis trambang. Menteri BUMN, Erick Thohir, diduga berbisnis PCR, dan Menteri Sosial Tri Rismaharini yang dianggap mendiskriminasi Papua serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, dinilai berpihak pada kerusakan lingkungan (emisi karbin dan defrorestasi).
Bahkan, Julius berpendapat Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, dirasa hanya banyak bicara data tanpa fakta. Sayangnya sejumlah tokoh yang dipilih Presiden Jokowi untuk mengisi jabatan dalam perombakan kabinet dinilai tidak mendukung HAM dan keadilan. Julius memaparkan setidaknya 4 catatan. Pertama, Zulkifli Hasan sebagai pihak yang pernah berurusan dengan kasus Korupsi alih fungsi hutan di Provinsi Riau yang menjerat Gubernur Riau, Annas Maamun tahun 2014.
Zulkifli Hasan yang mantan Menteri Kehutanan itu, menurut Julius tercatat paling banyak melepaskan kawasan hutan yakni sebesar 1,64 juta hektar dibanding era Presiden BJ Habibie (763,041 hektar), Abdurrahman Wahid (164.147 hektar), dan Megawati Sukarnoputri (3.702 hektar). “Akibatnya banyak kerusakan lingkungan dan deforestasi yang menyebabkan perubahan iklim menjadi sangat buruk,” kata Julius.
Kedua, Hadi Tjahjanto yang sebelumnya menjabat sebagai Panglima TNI dan Raja Juli dianggap nihil pengalaman bidang pertanahan dan tata ruang. Menurut Julius hal ini bertentangan dengan kondisi masalah pertanahan dan tata ruang serta pesatnya konflik agraria/pertanahan akibat proyek infrastruktur dan sumber daya alam yang melanggar hukum, HAM, serta merusak lingkungan.
Tercatat, sepanjang 2015-2020 ada 2.291 kasus pertanahan dan tata ruang adalah masalah keadilan sosial, birokrasi pencatatan serta pemerataan kepemilikan, yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan militer. Justru Julius mencatat ada keterlibatan militer dalam bisnis ilegal dan perampasan tanah sekaligus represi fisik terhadap warga. Misalnya, program Swasembada Pangan 1984-1986, Kasus Urut Sewu, Kasus Rumpin, Kasus Desa Seituan, dan lainnya.
Kasus pertanahan dan tata ruang itu belum termasuk pelibatan tentara oleh perusahaan swasta untuk menjaga dan mengintimidasi warga korban sengketa lahan dengan perusahaan swasta. “LIPI pun mencatat berdasarkan Data Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI, yang menyebutkan, ada aset TNI berupa 1.618 bidang tanah seluas 16.544,54 hektar yang kini dimanfaatkan oleh pihak ketiga (swasta),” ujar Julius.
Ketiga, penambahan jabatan baru Wakil Menteri Dalam Negeri, menurut Julius ditandai dengan penolakan rencana pemekaran Daerah Otonomi Baru oleh warga Papua. Dia melihat penolakan itu ditengarai sebagai akal bulus untuk memuluskan rencana pertambangan Blok Wabu, yang diduga kuat melibatkan militer dan kepolisian lewat pos-pos penjagaan yang telah didirikan, bahkan sebelum izin pertambangan diterbitkan oleh Kementerian ESDM.
Keempat, jabatan baru juga dibentuk untuk Wakil Menteri Ketenagakerjaan yang diampu Afriansyah Noor. Julius berpendapat nasib buruh semakin parah karena Afriansyah dinilai tidak memiliki pengalaman di bidang perburuhan. Julius meragukan Wamenaker itu mampu mengurai rumitnya masalah perlindungan buruh, dan UU Cipta Kerja.
Julius menyimpulkan perombakan kabinet itu hanya sekedar bancakan politik tanpa pertimbangan pemenuhan HAM dan keadilan sosial. Melihat sosok Menteri dan Wakil Menteri yang baru ditunjuk itu Julius yakin akan menambah parah situasi pelanggaran HAM yang terjadi selama ini. “Mengingat rekam jejak yang berkebalikan dengan kebutuhan dan tidak memiliki perspektif pendekatan kemanusiaan dalam pekerjaan dan kebijakan,” lanjutnya.
Bagi Julius, susunan Menteri dan Wakil Menteri yang baru itu semakin menjauhkan rakyat dengan pejabat. Selain itu akan menambah masalah perampasan tanah rakyat dan kerusakan lingkungan. Masalah lingkungan hidup yang pesat belakangan ini melibatkan Kementerian ATR/BPN sebagai aktor pelaku. Misalnya, pembangkangan terhadap putusan pengadilan untuk membuka data kepemilikan HGU.
“Militer justru dikenal kebal hukum dan tidak transparan dalam sistem peradilannya, artinya nasib keterbukaan informasi tanah untuk bisnis swasta makin ambyar,”
Terakhir, Julius berpendapat melalui perombakan kabinet ini Presiden Jokowi belum memikirkan kebutuhan rakyat dalam aspek HAM dan keadilan sosial. Bahkan, belum sadar bahwa kesalahan keputusan dan kebijakannya kemarin dan hari ini, akan terus mengejar dan menghantui Jokowi saat pensiun dari jabatan Presiden nanti. Termasuk jajaran kabinetnya, apabila berkaca dari Presiden SBY.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/4-catatan-pbhi-soal-reshuffle-kabinet