Kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J semakin menunjukkan titik terang. Terakhir, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengumumkan Irjen Pol Ferdy Sambo sebagai tersangka baru kasus kematian Brigadir Yosua.
Penetapan Ferdy Sambo menjadi tersangka ini usai Bharada Richard Eliezer atau Bharada E mengajukan diri sebagai saksi pelaku yang mau bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator).
Keempat tersangka yang diumumkan Kapolri Sigit ini yakni Bharada Eliezer, Bripka Ricky Rizal (RR), KM dan Irjen Pol Ferdy Sambo (FS). Empat tersangka ini memiliki peran masing-masing.
Saat pemeriksaan, Eliezer pun bersaksi secara tertulis. Ia menorehkan pengakuan sebagai penembak Yoshua; bahkan ia menyatakan ada instruksi dari atasan untuk menembak rekannya. Pengakuan Bharada E bahwa ia diperintah atasannya ini dinilai bisa membuatnya bebas dari jerat hukum pidana. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Merujuk penyidikan Tim Khusus Polri, Eliezer dan ketiga tersangka lainnya dijerat Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.
Potensi Pasal 51 KUHP pada Kasus Bharada E
Ketika rangkaian penyidikan polisi rampung, proses selanjutnya giliran jaksa yang bekerja. Untuk menetapkan Pasal 48 KUHP atau Pasal 51 KUHP, kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.
Ini juga berkaitan dengan penyidik kepolisian menyerahkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada kejaksaan, korban maupun tersangka, paling lambat tujuh hari kepada jaksa penuntut umum. Jika tidak, kejaksaan berhak mencoret kasus tersebut dari register perkara.
Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menyatakan tidak masuk akal jika Pasal 51 KUHP disematkan kepada Elizer.
“Jelas tidak. Bukan hanya tidak masuk akal, secara teoritis juga tidak dimungkinkan. Yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi definisi perintah,” ucap Julius kepada Tirto, Kamis (11/8/2022).
Pada Pasal 51 KUHP, suatu perbuatan dapat dikategorikan perintah jabatan (ambtelijk bevel) dan menjadi salah satu dasar pembenar untuk menghapus pidana, apabila memenuhi unsur:
1. Bahwa perbuatan tersebut diperintahkan oleh penguasa yang berwenang.
2. Bahwa perintah untuk melakukan perbuatan tersebut betul-betul merupakan kewenangan penguasa dimaksud.
Julius menegaskan mesti dianalisis lebih detail apa saja perbuatan Eliezer saat kejadian, apalagi hingga sekarang dia menilai masih simpang siur. Ketika ditanya apakah jaksa bisa mencantumkan Pasal 51 KUHP, Julius mengatakan “Tidak. Ini bukan tupoksi resmi dari undang-undang mana pun.”
Ia melanjutkan, perlu dicermati kronologis sebenarnya karena konstruksi hukum berdasar kronologis kejadian. Kronologis yang selama ini berkembang tidak memungkinkan menggunakan Pasal 51 KUHP. Harus pastikan kronologisnya, baru bisa ditentukan pasal pembelaannya.”
Sumber: https://tirto.id/potensi-bharada-e-kena-pasal-51-kuhp-bisakah-bebas-jerat-pidana-gu4D