Formalisasi Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat (HYHDM) dalam KUHP membawa risiko yang signifikan bagi kelompok marjinal dan rentan, serta menambah kompleksitas dan ketidakpastian dalam hukum pidana nasional. Formalisasi ini berpotensi mematikan sifat dinamis dan fleksibel HYHDM, meningkatkan obesitas regulasi dan biaya di tingkat daerah, serta memperkuat diskriminasi dan hegemoni kelompok elit dominan di dalam masyarakat. Dampak nyata dari formalisasi ini adalah over-kriminalisasi, ketidakpastian hukum, dan disparitas dalam pelaksanaan hukum pidana, yang bisa memperparah ketidakadilan bagi kelompok marjinal dan rentan, seperti perempuan, anak, kelompok disabilitas, masyarakat adat, LGBTQ dan kelompok lainnya. Oleh karena itu, apabila rencana untuk penyusunan peraturan pelaksana KUHP terkait dengan HYHDM tetap akan dilanjutkan, maka diperlukan upaya mitigasi yang sistematis dan berlandaskan prinsip keadilan, pemberdayaan dan keberpihakan dalam proses pembentukan peraturan pelaksana KUHP.
Untuk meminimalisir risiko dari peraturan pelaksana KUHP, Policy Brief menekankan kepada pembentuk peraturan untuk memperhatikan aspek proses, indikator substansi dan implementasi ketentuan HYHDM. Pertama, proses pembentukan peraturan pelaksana (PP dan Perda) harus dilakukan secara partisipatif melalui konsultasi publik yang berorientasi pada kesepakatan dari kelompok marjinal dan rentan yang paling potensial terkena dampak. Kedua, substansi HYHDM yang akan ditetapkan dengan Perda tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, Hak Asasi Manusia dan asas hukum umum yang diakui bangsa-bangsa. Ketiga, pelaksanaan HYHDM baru dapat dilakukan setelah ada KUHAP Baru sebagai pedoman hukum acara pidana. Penerapan HYHDM tidak boleh menegasikan peranan dan yurisdiksi peradilan adat yang masih aktif. Selain itu, penerapan HYHDM harus sejalan dengan semangat keadilan restoratif (restorative justice) untuk memulihkan hak korban dan keadaan yang terganggu karena terjadinya suatu tindak pidana.