#BeritaPBHI
“Urgensi RUU Penghapusan Diskriminasi: Akselerasi Penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia”
Jakarta, 23 Juli 2024 – Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), YIFoS Indonesia, Inti Muda Indonesia, dan Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) menyelenggarakan Diskusi Hukum dan HAM (DUHAM) ke-39 dengan tema “Urgensi RUU Penghapusan Diskriminasi: Akselerasi Penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia”.
Diskusi yang menghadirkan narasumber, yaitu Vincentius Azvian (Inti Muda Indonesia), Saffah Salisa Az-zahro’ (IJRS), dr. Endang Lukitosari, MPH (Tim Kerja HIV-AIDS, Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) Direktorat P2PM Kemenkes RI), Drs. Ignatius Praptoraharjo (PPH Unika Atmajaya), dan Gina Sabrina (PBHI) menyoroti permasalahan diskriminasi yang masif di Indonesia, dengan salah satu faktor utamanya yaitu dilegalkannya nilai diskriminatif yang hidup di masyarakat, melalui peraturan daerah (perda). Keberadaan perda diskriminatif ini menimbulkan stigma terhadap kelompok minoritas khususnya orang dengan HIV-AIDS (ODHA).
Diawali dengan mengungkap masifnya keberadaan perda diskriminatif dan dampaknya terhadap penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia, dalam diskusi ini pemerintah dan akademisi mengakui bahwa situasi tersebut menjadi tantangan dalam mencapai target untuk mengakhiri endemi HIV-AIDS di tahun 2030. Di tengah tantangan ini, Gina Sabrina menyampaikan harapannya agar teman-teman di daerah melakukan pendampingan ketika pemerintah daerah setempat ingin membentuk suatu perda, terutama perda yang berkaitan dengan penanggulangan HIV-AIDS.
PBHI menilai bahwa materi muatan yang bernuansa diskriminatif dalam suatu perda terbagi menjadi 2 (dua) pola yaitu implisit dan eksplisit. Kajian mendalam pada setiap perda dibutuhkan guna mengenali nuansa perda tersebut. Menyikapi hal ini, PBHI merekomendasikan 3 (tiga) hal. Pertama, perlu mempertimbangkan instrumen HAM dan kesehatan ketika melakukan harmonisasi suatu perda di Pemerintah Pusat atau Kemendagri. Kedua, mendorong pemerintah daerah melakukan reviu terhadap setiap perda yang telah berlaku dan mencabutnya bila dinilai diskriminatif. Ketiga, melakukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA).
Diskusi ini menegaskan bahwa perda diskriminatif merupakan hambatan besar dalam penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia. Kolaborasi antara masyarakat sipil dan pemerintah sangat diperlukan untuk memastikan kebijakan yang adil dan inklusif bagi semua. Dengan adanya diskusi ini, diharapkan kesadaran akan bahaya perda diskriminatif semakin meningkat, sehingga langkah-langkah strategis untuk mencapai target mengakhiri endemi HIV-AIDS pada tahun 2030 dapat terlaksana dengan baik dan adil.
Diskusi selengkapnya dapat diakses melalui link berikut:
https://www.youtube.com/live/kV6NTCFAN14?si=T7NXPWXoH0WoS-Vc