Jakarta, 30 Juli 2024 – Hukum pidana di Indonesia telah memasuki era baru pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP Baru”). Beleid ini pada awalnya diklaim menjadi upaya negara untuk melepaskan diri dari corak hukum kolonial Belanda, yang tidak mampu lagi menjawab perkembangan masyarakat yang dinamis untuk mencapai keadilan. Namun sayangnya, hal ini tidak serta merta berlaku pada isu akomodasi “hukum yang hidup di masyarakat” (dikenal dengan living law).
Diskursus tersebut mendorong koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Pusat Hukum Adat Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP Universitas Indonesia, dan Koalisi Nasional Kelompok Rentan Anti Diskriminasi (KAIN) untuk menyelenggarakan kegiatan Simposium Nasional bertajuk “Hukum yang Hidup di Masyarakat Pasca KUHP Baru” pada tanggal 29-30 Juli 2024 di Hotel Holiday Inn & Suites Jakarta Gajah Mada. Simposium yang dihadiri sekitar 145 peserta ini mempertemukan berbagai kalangan yang terdiri dari akademisi, pemerintah, praktisi hukum, organisasi masyarakat sipil, aktivis, media, dan mahasiswa.
Simposium ini dilaksanakan sebagai salah satu upaya untuk mengawal dan memberikan masukan bagi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM, dalam menyusun draf Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara dan Kriteria Penetapan Hukum yang Hidup di Masyarakat. Rancangan peraturan ini menjadi salah satu target peraturan pemerintah pada tahun 2024 yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2024 tentang Program Penyusunan Peraturan Pemerintah Tahun 2024.
Dalam diskusi pleno yang diadakan pada hari pertama, pembicara dari tim perumus KUHP Baru dan perwakilan dari Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Muhammad Waliyadin menjabarkan ketentuan hukum yang hidup di masyarakat bertujuan untuk menghidupkan dan mengakomodasi keberlakuan hukum adat di Indonesia yang secara sejarahnya sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang sedang dibuat mengatur alur kerja pemerintah daerah dalam mengidentifikasi masyarakat hukum adat yang kemudian menentukan apa hukum pidana adat yang bisa dimuat ke dalam Peraturan Daerah (Perda) wilayahnya, serta bagaimana Kepolisian dan Kejaksaan bisa melakukan penyelesaian tindak pidana adat.
Di sisi lain, paparan dari akademisi hukum adat, hukum tata usaha negara, dan perwakilan kelompok masyarakat adat justru mengingatkan berbagai permasalahan dan risiko yang mungkin timbul dari operasionalisasi ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat ke dalam peraturan daerah. Hal ini mencangkup belum adanya payung hukum yang memadai bagi masyarakat adat, ketidaksahan hakim dalam melakukan prosesi peradilan adat, miskonsepsi antara hukum adat dan hukum kerajaan/kesultanan, dan lain-lain. Dari segi penyusunan kebijakan, beberapa ahli juga turut menyorot kurangnya partisipasi masyarakat adat dalam penentuan ketentuan-ketentuan ini serta besarnya biaya yang akan muncul dari RPP ini jika mengasumsikan bahwa setiap masyarakat hukum adat yang menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara berjumlah paling tidak 2.586 komunitas. Ilustrasi pembiayaan penyusunan satu peraturan daerah senilai 300-500 juta rupiah, amanat pembentukan peraturan daerah yang diperintahkan oleh KUHP dan PP nantinya juga akan berimplikasi pada beban anggaran yang besar terhadap Pemerintah Daerah.
Empat diskusi tematik yang ada di simposium ini juga turut menggarisbawahi kemungkinan semakin menjamurnya peraturan diskriminatif lewat Perda. Temuan Komnas Perempuan, per tahun 2023, ada sekurang-kurangnya 333 Perda diskriminatif terhadap perempuan, kelompok minoritas agama, penyandang disabilitas, masyarakat adat, kelompok keberagaman gender dan seksualitas, dan lain-lain. Selain diskriminasi melalui legislasi, praktik-praktik diskriminasi ini juga dialami dalam bentuk praktik sehari-hari, seperti pengabaian keikutsertaan kelompok-kelompok marjinal dalam pembentukan kebijakan dan hukum. Tanpa adanya ketentuan-ketentuan pembatas yang jelas dan proses harmonisasi yang tepat, lahan diskriminasi melalui peraturan daerah bisa semakin subur.
Pembahasan dalam diskusi tematik juga berkisar tentang bagaimana RPP yang sedang disusun juga bisa memasukkan kriteria yang lebih ketat agar pidana-pidana adat tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum lainnya. Berkenaan dengan mekanisme perlindungan ini, para pembicara mengeksplorasi kemungkinan bahwa syarat pidana hukum yang hidup di masyarakat untuk tidak mengulang ketentuan pidana yang ada di KUHP atau UU pidana khusus, limitasi pidana adat sesuai dengan mekanisme tindak pidana ringan (tipiring), dan bagaimana mekanisme keadilan restoratif bisa digunakan sebagai acuan peradilan pidana adat.
Simposium ini juga memperkuat desakan berbagai kelompok untuk mempercepat proses pembahasan dan pengesahan hukum lain yang relevan dengan ketentuan hukum yang hidup di masyarakat, seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) dan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat. Kedua legislasi ini diharapkan mampu untuk menjembatani hal-hal yang tidak mungkin dibahas dalam ketentuan living law dalam RPP, yakni tentang pengakuan yang lebih ajeg terhadap semua masyarakat hukum adat dan bagaimana cara aparat penegak hukum menggali kearifan hukum adat dalam memproses perkara.
Pada sesi terakhir, empat pelapor khusus membacakan ulang hasil temuan dari masing-masing sesi dan juga rekomendasi kunci. Hasil temuan ini nantinya akan dirumuskan ke dalam bentuk dokumen yang akan dikirimkan ke pihak-pihak terkait, utamanya Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM.
Berkaca dari pentingnya ruang partisipasi masyarakat secara bermakna dalam setiap pembentukan peraturan, LBHM, PBHI, Pusat Hukum Adat Djojodigoeno Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Pusat Kajian Gender dan Seksualitas LPPSP FISIP Universitas Indonesia, dan KAIN berharap bahwa simposium ini menjadi wadah diskusi yang bisa terus dilanjutkan. Proses pembuatan rancangan peraturan pemerintah masih panjang dan ruang untuk memberikan masukan dari masyarakat sipil baiknya terus dibuka untuk memastikan bahwa aturan yang dirancang sesuai dengan kebutuhan masyarakat adat, menghormati hak asasi manusia, dan tidak semakin memperkeruh dan menambah beban berat diskriminasi terhadap kelompok rentan.
Narahubung:
Albert Wirya (awirya@lbhmasyarakat.org)
Gina Sabrina (ginasabrina@pbhi.or.id)