TPPO harus diakui sebagai bentuk tindak kejahatan terorganisir karena melibatkan berbagai aktor, baik intelektual maupun eksekutor yang bukan hanya aktor sipil (eksekutor), namun juga aktor institusi (regulasi).
Meskipun Satgas TPPO Polri sudah berhasil menumpas ratusan kasus TPPO semenjak dibentuk, namun penanganan hukum yang terjadi masih berfokus pada menumpas pelaku atau eksekutor lapangan. APH hanya menyita kondom atau barang lain yang tidak ada nilai jual secara ekonomi.
Regulasi yang ada justru membuat korban harus proaktif dalam memenuhi haknya, padahal kenyataannya korban hidup di bawah standar yang layak sehingga rentan terhadap eksploitasi karena keadaan sosial dan ekonomi yang memprihatinkan. Lebih parah, dalam UU TPPO, kompensasi tidak termasuk dalam hak yang didapat oleh korban, menambah ketidakadilan yang dialami korban sehingga tidak mendapat ganti rugi atas kejahatan yang dialaminya.
Penting untuk mendiskusikan bersama Satgas TPPO Polri, LPSK, dan organisasi masyarakat sipil dalam merumuskan gagasan penanganan TPPO ke depan serta menciptakan trigger mechanism sekaligus mendorong perubahan kebijakan negara di level regulasi dan penegakan hukum oleh APH yang mengedepankan pemenuhan hak korban melalui mekanisme restitusi dan kompensasi.