Rumoh Geudong: Fakta Nyata Kebiadaban Negara
Rumoh Geudong dan Pos Sattis Lainnya terjadi saat Aceh dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989–1998, di mana Pemerintah RI melalui Panglima ABRI melakukan Operasi Jaring Merah (Jamer) dan Korem 011/Lilawangsa adalah pusat komando lapangan. Pos Sattis yang utama adalah Rumoh Geudong di Bilie Aron, Kec. Glumpang Tiga, Kab. Pidie.
Kebiadaban negara dilakukan dalam bentuk perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara penyiksaan, pembunuhan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara (penangkapan dan penahanan sewenang-wenang) dan penghilangan orang secara paksa.
Tahun 2018, Bupati Pidie mengakomodasi kepentingan korban: menjadikan Rumoh Geudong sebagai tugu memorabilia, untuk merawat memori kolektif korban, sebagai bagian dari pemulihan korban berupa pengakuan akan kebenaran meski kelam. Tahun yang sama, KomnasHAM telah menyelesaikan Penyelidikan Pro-Justitia Pelanggaran HAM Berat di Aceh ini, dan menyerahkannya kepada Kejaksaan Agung untuk dilanjutkan ke Penyidikan dan Penuntutan.
Kebijakan PPHAM: Kebijakan Pembohongan-Publik-tentang-Hak-Asasi-Manusia
Pada 21-22 Juni 2023 lalu, Rumoh Geudong dihancurkan, dalam rangka menyambut seremonial kedatangan Presiden Jokowi dan Tim PPHAM.
Janji penyelesaian berdalih mendahulukan pemulihan melalui fasilitas telah terbukti sebagai pembohongan publik utamanya korban pelanggaran HAM Berat. Hasil investigasi PBHI menegaskan bahwa Keppres 17/2022, beserta paket Inpres 2/2023 dan Keppres 4/2023 adalah gimmick belaka untuk cuci dosa negara dan pelaku pelanggaran HAM Berat.
Tidak mungkin ada istilah korban atau pemulihan korban, yang disebut Menokpolhukam, Mahfud MD sebagai Non-Yudisial tanpa pengungkapan kebenaran (apa peristiwa, apa perbuatan, siapa pelaku, siapa korban dan apa hak korban yang terlanggar). Terminologi “Penyelesaian” juga pembohongan publik karena tidak mungkin selesai jika tidak ada ajudikasi (peradilan) dan reformasi institusional pelaku sebagai jaminan tidak ada impunitas dan ketidakberulangan pelanggaran HAM Berat.
Berbagai dalih bohong dilantunkan Menkopolhukam, Mahfud MD, melalui janji manis fasilitas pendidikan, ekonomi, dan lainnya. Yang faktanya, tanpa perlu menjadi korban pelanggaran HAM Berat pun seluruh kebutuhan dasar tersebut merupakan hak-hak dasar warga negara yang harus dipenuhi secara mutlak sebagaimana dijamin oleh konstitusi, UUD ’45.
Bahkan Menkopolhukam, Mahfud MD, membantah gimmick-nya sendiri dengan menyatakan bahwa tidak mungkin ada pengadilan karena kurang bukti dan saksi karena peristiwa sudah sangat lama.
Lantas, Rumah Geudong, yang merupakan sedikit bukti dari peristiwa yang sudah sangat lama itu, justru dihancurkan.
Alat Bukti Pro-Justitia Dihancurkan: Kejahatan Lama Justru Ditutup Dengan Kejahatan Baru
Per 2018, KomnasHAM telah menyelesaikan Penyelidikan Pro-Justitia dan diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Rumah Geudong adalah salah satu alat bukti kuat Pelanggaran HAM Berat yang ditetapkan KomnasHAM bahkan sejak Alm. Baharudin Lopa datang ke TKP. Bahkan, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh telah melakukan proses pengungkapan kebenaran, 2 langkah awal inilah yang seharusnya dilanjutkan Tim PPHAM.
Alih-alih pemulihan korban berbalut non-yudisial, Pemerintah justru menghancurkan alat bukti pidana pelanggaran HAM Berat untuk kepentingan yudisial. PBHI telah menegaskan sejak awal, terminologi non-yudisial tidak dikenal, terminologi “dugaan” hanya untuk Jaksa Agung pada Inpres 2/2023 sudah jelas meniadakan ajudikasi/pengadilan HAM atau yudisial.
Sederet kebohongan Pemerintah melalui Menkopolhukam, Mahfud MD, kemudian dilanjutkan dengan pengancuran alat bukti Rumoh Geudong merupakan sebuah kejahatan. Kejahatan berupa Obstruction of Justice dalam bentuk mencegah, merintangi atau menggagalkan proses hukum yang telah selesai di tahap Penyelidikan oleh KomnasHAM.
Ini kejahatan baru yang dilakukan negara untuk menutupi kejahatan lama. Oleh karenanya, KomnasHAM harus memeriksa kejahatan baru, penghancuran Rumoh Geudong, bahkan berkoordinasi dengan Kepolisian RI, untuk mengusut tuntas.
Implikasi terbesarnya adalah, selain ketiadaan keadilan bagi korban, karena menghilangkan memori kolektif korban dalam bentuk memorabilia, juga menegaskan bahwa pelaku tidak akan diadili, institusi pelaku tidak akan direformasi. Pelaku telah dicuci dosanya.
Makna Sebenarnya PPHAM: Politik Pengabaian HAM
Publik mempertanyakan, mengapa begitu banyak dalih kebohongan dan gimmick Pemerintah akan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat? Untuk kepentingan siapa ini semua?
Keppres 17/2022, lalu paket Inpres 2/2023 dan Keppres 4/2023, nihil pelibatan korban, dan justru memasukkan nama-nama yang bermasalah dalam Tim PPHAM. Sebut saja, As’ad Ali (Mantan Waka BIN) yang masuk dalam daftar nama dalam Kasus Pembunuhan Aktivis HAM Munir Said Thalib, lalu Kiki Syahnarki (Mantan WaKasAD TNI). Belum lagi, fakta bahwa Pj. Bupati Pidie, Wahyudi adalah mantan Kepala BIN Daerah NTB 2019-2021.
Tidak juga bisa dipungkiri, bahwa salah satu Calon Presiden 2024 nanti adalah Prabowo Subianto, yang juga pelaku Pelanggaran HAM Berat, Penculikan dan Penghilangan Paksa 23 Aktivis. Kuat dugaan ada politik transaksional Presiden Jokowi untuk mengamankan diri dan keluarganya pasca tidak menjabat lagi, dengan menggadaikan kasus pelanggaran HAM Berat sekaligus menjual korban kepada kekuasaan.
23 Juni 2023
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
Julius Ibrani (Ketua)
Andi Nur Ilman (Peneliti)
Annisa Azzahra (Advokasi)