Segambreng Dugaan Pelanggaran, Pemeriksaan Tanpa Kebenaran
Rekam jejak Firli Bahuri, di KPK sebelum dan sesudah menjadi Komisioner KPK, mencatatkan rekor tak terkalahkan dalam hal jumlah danjenis pelanggaran etik, bahkan hingga dugaan pidana. Sebut saja, menjemput Saksi yang akan diperiksa KPK pada 2018, bertemu petinggi parpol, bertemu TGB (mantan Gubernur NTB) saat Pemprov NTB sedang dipariksa KPK, gratifikasi sewa helikopter, bertemu Lukas Enembe saat akan diperiksa KPK, pencopotan Brigjend Endar, bahkan dugaan pembocoran dokumen KPK.
Seperti kucing yang punya banyak nyawa, hasil pemeriksaan Dewan Pengawas KPK semua berhenti sebatas etik dan sanksi sangat ringan tidak sesuai perbuatan. Sangat timpang kegarangannya jika dibandingkan dengan pemecatan 57 pegawai KPK dengan skema TWK.
Dewan Pengawas: Tim Khusus Cuci Dosa Ketua KPK
Gimmick revisi UU KPK dengan dalih perbaikan lembaga yang digaungkan Menkopolhukam Mahfud MD kian terbongkar, sebatas koar-koar untuk menutupi kebobrokan. Dewan Pengawas KPK: Tumpak H. Panggabean (Ketua), Artidjo Alkostar, Albertina Ho, Harjono, dan Syamsuddin Haris, sudah janggal ketika dipromosikan dengan gencar namun setuju dengan kejanggalan kewenangan yang digagas Revisi UU KPK yakni punya kewenangan pro justitia (penyidikan) berupa mengeluarkan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.
Bahkan pengumuman hasil pemeriksaan terkait kebocoran dokumen, juga menimbulkan banyak pertanyaan. Selain dari segi substansi keputusan Dewan Pengawas yang janggal, juga dari segi linimasa. Pertama, terjadi beberapa kali penundaan. Kedua, ada nuansa seolah-olah pengumuman dilakukan untuk “merespon” perkembangan pemeriksaan dugaan pidana di Polda Metro Jaya yang tersebar di berbagai media, telah naik penyidikan.
Jika benar demikian, maka patut ada diduga kuat bahwa hasil pemeriksaan Dewan Pengawas bisa diangga sebagai Obstruction of Justice yang diatur dalam pasal 221 KUHP Ayat (1), karena mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan di Polda Metro Jaya. Dewan Pengawas KPK seolah-olah menjadi tim cuci dosa Ketua KPK.
Implikasi Putusan Dewas: Obstruction of Justice karena Menghalangi Penyidikan
Dari rentetan kejadian ini, semakin jelas kekhawatiran masyarakat sipil terhadap revisi UU KPK, di mana Dewan Pengawas hanya sebatas gimmick belaka karena tidak terbukti betul-betul mengawasi dan memperbaiki kebobrokan KPK. Bahkan ke arah pidana akibat dugaa kuat obstruction of justice akibat menghalangi penyidikan di Polda Metro Jaya. Obstruction of Justice dapat dimaknai lewat kata “mencegah, merintangi, atau menggagalkan” dengan 3 (tiga) kriteria, yakni: Pending judicial proceedings (proses hukum menjadi tertunda), Knowledge of pending proceedings (kesadaran akan akibat berupa proses hukum tertunda), dan Acting corruptly with intent (upaya dengan maksud mengintervensi ataupun mengganggu proses atau administrasi hukum).
Keputusan Dewan Pengawas yang “mengunci” di ranah etik, lalu dinyatakan tidak ditemukan kesalahan, dapat menggagalkan rumusan “mens rea” atau itikad buruk dalam suatu tindak pidana yang sedang diusut oleh Polda Metro Jaya. Di sini titik krusial yang jadi kuncinya.
Oleh sebab itu, penting bagi Polda Metro Jaya dengan kewenangannya untuk memeriksa Dewan Pengawas beserta seluruh substansi hasil pemeriksaannya, agar ditelisik apakah ada dugaan Obstruction of Justice yang terjadi.
Langkah Taktis sekaligus Strategis Di Tangan Presiden Jokowi
Presiden Jokowi juga seharusnya melihat problem ini secara mendalam dan holistik di KPK. Terlalu banyak dugaan pelanggaran hingga menimbulkan keonaran di ruang publik, yang menyebabkan turunnya kepercayaan publik secara drastis, bukan hanya terhadap KPK tapi terhadap Presiden Jokowi. Implikasi Putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan Komisioner KPK tidak boleh jadi beban Presiden Jokowi yang dianggap melanggengkan kepemimpinan Firli Bahuri di KPK yang banyak masalah dan kisruh di ruang publik.
Menegaskan bahwa tetap ada seleksi Komisioner KPK, dan tidak memberlakukan Putusan MK secara surut jadi titik kunci perbaikan KPK ke depannya. Sekaligus menata ulang Dewan Pengawas yang telah menjadi bagian dari masalah dan kisruh tadi.
Jakarta, 23 Juni 2023
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
Julius Ibrani (Ketua Badan Pengurus Nasional)
Andi Nur lman (Peneliti)