Jakarta, 19 Juni 2023 – Pada hari ini, masyarakat sipil di Indonesia melakukan aksi #BebaskanBach di Monumen Nasional, Jakarta. Aksi ini merupakan solidaritas antar negara untuk menuntut pemerintah Vietnam agar membebaskan Bach dari kriminalisasi. Dang Dinh Bach (“Bach”) – https://www.standwithbach.org/ – adalah seorang pengacara keadilan lingkungan di Vietnam. Saat ditangkap, Ia merupakan Direktur Law and Policy of Sustainable Development Research Centre. Bach dipenjara oleh pemerintah Vietnam dengan tuduhan “penghindaran pajak” dan dijatuhi hukuman 5 tahun penjara.
Bach merupakan korban kriminalisasi karena memimpin kampanye untuk mengurangi ketergantungan Vietnam pada batubara dan mendorong pemerintah Vietnam untuk segera melakukan transisi energi. Ia telah melakukan aksi protes terhadap kriminalisasi atas dirinya dengan melakukan mogok makan sejak 24 Mei 2023. Dia akan terus melakukan aksi mogok makan tersebut hingga dia benar-benar dibebaskan dari tindakan kriminalisasi tersebut.
“Bach adalah pengacara publik di Vietnam dan berkontribusi terhadap negara, salah satunya mereka mendorong adanya beberapa aturan terkait lingkungan, seperti pelarangan plastik impor. Bach mengadvokasi ketergantungan Vietnam terhadap batubara. Ia melakukan 17 hari penolakan, sampai pada tahun 2021, sebelum akhirnya Ia ditangkap,” ujar Asep Komarudin dari South East Asia Public Interest Lawyer (SEAPIL).
Kriminalisasi terhadap Bach merupakan bentuk ancaman terhadap kebebasan masyarakat sipil yang semakin meningkat di Asia Tenggara, tak terkecuali di Indonesia sehingga solidaritas antar masyarakat sipil di berbagai negara harus diperkuat.
“Apa yang terjadi di Vietnam sama dengan dengan Indonesia, contohnya kriminalisasi terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Fatia dan Haris adalah dua pimpinan lembaga yang fokus pada isu HAM, dan pada hari ini. Kalau dulu ancaman kriminalisasi itu terjadi pada warga di tapak, hari ini ancaman itu juga menyerang para pendamping warga, orang-orang yang kerap menjadi pendamping hukum dari masyarakat di ruang persidangan. Polanya meningkat, dengan varian ancaman yang makin beragam, seperti UU ITE, atau kriminalisasi Budi Pego yang menggunakan pasal penyebaran komunisme,” ujar Zainal Arifin dari Yayasan LBH Indonesia (YLBHI).
“Kriminalisasi yang terjadi terhadap Bach di Vietnam memiliki nafas yang sama dengan kriminalisasi yang terjadi terhadap Haris-Fatia di Indonesia, memiliki nafas yang sama dengan kematian misterius dari aktivis Bounsouan Kitiyano di Laos atau pemberedelan media-media independen di Kamboja. Kesemuanya sama-sama merupakan upaya pemberangusan terhadap kebebasan sipil terutama pada mereka yang melakukan kritik pada kekuasaan. Indonesia sebagai negara di kawasan ASEAN yang sering disebut sebagai the most democratic country in the region, juga tidak lebih baik. Ia juga melakukan kriminalisasi, misalnya di Labuhan Bajo, saat ASEAN Summit lalu, di mana saat itu ada 2 masyarakat sipil yang dikriminalisasi karena memprotes perampasan lahan terkait penyelenggaraan ASEAN Summit tersebut. Ini terjadi dalam rangka perhelatan akbar ASEAN, sebuah lembaga yang secara resmi di ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint-nya mengakui partisipasi masyarakat sipil,” ujar Jesse Adam Halim, dari Human Rights Working Group (HRWG).
Bach bukan satu-satunya aktivis di Vietnam yang dikriminalisasi menggunakan modus penghindaran pajak. Baru-baru ini, Nguy Thi Khanh, penerima penghargaan Goldman Environmental Prize yang juga ditangkap dengan tuduhan yang sama, telah dibebaskan setelah dipenjara 16 bulan. Mirisnya, pemenjaraan aktivis lingkungan oleh pemerintah Vietnam dilakukan setelah Vietnam menyampaikan komitmen untuk mencapai target net zero emission pada tahun 2050 dan mendapat bantuan skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$15,5 miliar.
Ahmad Ashov dari Trend Asia mengatakan, kriminalisasi yang dilakukan oleh pemerintah Vietnam terhadap para pejuang lingkungan tidak berbeda dengan tindakan pemerintah Indonesia. Selain kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris, kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan juga terjadi di Halmahera Timur terhadap warga yang menolak tambang mineral dengan menggunakan pasal kriminalisasi dalam UU Minerba dan kriminalisasi warga yang menolak pertambangan batubara di Kalimantan Timur.
“Indonesia dan Vietnam selain memiliki letak geografis yang berdekatan, juga punya kesamaan yakni sama-sama dibuat bergantung pada batubara dan saat ini, keduanya sedang sama-sama berusaha lepas dari batubara. Kedua negara ini juga baru saja mendapatkan komitmen bantuan internasional untuk pendanaan transisi. Indonesia mendapat komitmen bantuan pendanaan skema JETP sebesar US$20 miliar. Penahanan sewenang-wenang ini mengganggu prinsip partisipasi publik yang seharusnya dijamin untuk mencapai transisi berkeadilan. Di Indonesia, pelibatan masyarakat sipil secara luas dan bermakna dalam skema pendanaan transisi seperti JETP masih minim, terutama bagi warga yang terdampak langsung,” ujar Ahmad Ashov Birry, juru bicara #BersihkanIndonesia dari Trend Asia.
Ade Wahyudin dari LBH Pers mengatakan bahwa pemerintah, khususnya di negara-negara Asia Tenggara harus menghentikan kriminalisasi terhadap para pejuang HAM.
“Dalam kasus Bach di Vietnam maupun kriminalisasi yang terjadi di Indonesia, atau pun yang terjadi di negara lain, itu polanya sama: ketika yang dilaporkan aktivis, masyarakat, atau jurnalis, aparat penegak hukum dengan cepat memproses. Ini terbalik ketika aktivis, pengacara publik, masyarakat, atau jurnalis yang melapor, tapi prosesnya lambat. Di Indonesia, di Makassar misalnya, ada jurnalis yang melapor, tersangkanya sudah ada, tapi tidak ada progres,” ujar Ade Wahyudin.
Melihat semakin kecilnya ruang partisipasi masyarakat sipil dan bentuk pemberangusan yang semakin beragam di tingkat Asia Tenggara ini, Yuyun Wahyuningrum dari AICHR mengatakan bahwa sudah waktunya negara-negara di Asia Tenggara memiliki Undang-Undang yang melindungi para pegiat HAM. “Kami menerima banyak aduan harassment terhadap human rights defender. Kami meminta kepada negara anggota ASEAN untuk membuat UU yang melindungi para pegiat HAM. Negara anggota ASEAN harus mengubah paradigma dalam melihat pegiat HAM karena mereka sebenarnya adalah partner pemerintah dalam promosi perlindungan HAM,” tutup Yuyun.