Sejak reformasi, kita sudah berkomitmen untuk mengakhiri hak-hak istimewa militer, hak-hak yang di masa orde baru digunakan untuk melindungi, memperbesar, dan mempertahankan kekuasaan Soeharto.
Kini 25 tahun telah berlalu. Sayangnya, aksi kekerasan dan kejahatan oleh oknum TNI masih sering terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat sipil. Berbagai hak istimewa yang mereka miliki masih eksis dan bahkan masih kerap digunakan untuk menghindari tanggung jawabnya ketika melakukan pelanggaran di ruang sipil.
Hari-hari belakangan ini kita bisa melihat contohnya. Mulai dari kasus suap di Basarnas yang melibatkan 2 perwira TNI, upaya penghalangan proses hukum oleh oknum TNI di Polrestabes Medan, serta yang terakhir, penculikan, pemerasan, dan pembunuhan Imam Masykur oleh 3 anggota TNI. Kejadian yang terakhir ini tentu saja sangat menyayat nilai kemanusiaan kita.
Dari semua kasus tersebut, terdapat perlakuan khusus terhadap anggota TNI ketika akan diadili. Setiap kasus tindak pidana korupsi ataupun tindak pidana umum yang mereka lakukan selalu saja diadili melalui peradilan militer dan kerap berujung pada vonis yang ringan bahkan bebas. Hal ini pada akhirnya memberikan ruang impunitas terhadap TNI, membuat mereka lebih kebal hukum daripada masyarakat sipil ketika melakukan keonaran di ruang publik, sebab, proses peradilannya tentu saja menjadi tidak transparan di mata publik.
Kondisi ini juga semakin diperparah dengan fakta bahwa terdapat banyaknya putusan vonis ringan bahkan bebas bagi para terdakwa di peradilan militer tersebut.
Pada dasarnya, ruang impunitas ini dapat tetap eksis karena memang masih terdapat UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.