Beberapa waktu lalu, Tim Percepatan Reformasi Hukum yang dibentuk Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan RI (Menkopolhukam), Prof. Mahfud MD, menyerahkan rekomendasi agenda prioritas percepatan reformasi hukum yang di antaranya menyasar terhadap persoalan narkotika. Pada level konkret, Tim Percepatan mengusulkan “Grasi massal narapidana penyalahguna narkotika dan pelaku tindak pidana ringan yang memenuhi syarat tertentu (misalnya: lolos asesmen dan bukan residivis) untuk mengurangi overcrowding Rutan/Lapas”.
Dalam konteks political will, rekomendasi tersebut positif sebagai bagian komitmen dalam mengalihkan pendekatan penghukuman dalam kebijakan narkotika yang saat ini menjadi beban rutan/lapas hingga 50% lebih populasinya merupakan kasus narkotika.
Mirisnya, grasi massal terhadap penyalahguna narkotika yang diusulkan masih di tataran kebijakan populis, yang tidak menyelesaikan akar masalah kebijakan narkotika tapi justru hanya kulit luarnya dengan. Mengapa demikian?
- Pasal 2 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Grasi menyebutkan bahwa pengajuan grasi untuk putusan penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Aturan ini jelas membatasi pengajuan grasi bagi penyalahguna narkotika yang diputus kurang dari 2 (dua) tahun. Sehingga grasi massal ini mendorong penyalahguna narkotika yang dipenjara dari rentang 2 tahun lebih 1 hari sampai 4 tahun penjara kurang 1 hari. Sebab yang dihukum penjara lebih dari 4 tahun, pada praktiknya termasuk kategori atau dikenakan Pasal tentang penguasaan, kepemilikan narkotika atau jual beli narkotika sesuai dengan rumusan Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (“UU Narkotika”);
- Di level implementasi sehari-hari, Pasal 127 UU Narkotika (murni/tunggal) seringkali menghadapi dijadikan alat pemerasan. Jika penyalahguna narkotika tidak membayar sejumlah uang akan dikenakan tambahan pasal penguasaan, kepemilikan narkotika atau jual beli narkotika sesuai dengan rumusan Pasal 111, Pasal 112, Pasal 114 UU Narkotika. Sehingga Pasal 127 UU Narkotika menjadi komoditas atau barang mahal;
- Ditambah, adanya beberapa kasus narkotika yang direkayasa secara terstruktur hingga memvonis Terdakwa dengan Hukuman Mati. Sebut saja Kasus Zainal Abidin, yang terlanjur dieksekusi namun tidak lama kemudian si pemilik barang bukti narkotika yang sebenarnya mengakui bahwa Zainal Abidin bukan pemiliknya. Belum lagi, kasus-kasus penyalahguna narkotika dengan latar belakang disabilitas mental/intelektual yang tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya namun tetap diseret ke persidangan bahkan divonis berat.
Alasan dan pertimbangan di atas tidak bisa dilepaskan dari UU Narkotika yang masih brutal terhadap penyalahguna narkotika dengan perspektif penghukuman penjara, bukan pendekatan kesehatan/medis. Walaupun pada sisi lain, alternatif pemenjaraan terhadap pengguna narkotika dengan rehabilitasi sebagai skema hukum yang dianggap humanis tapi merupakan intervensi yang sifatnya wajib (mandatory) dan skema ini justru bertolak belakang dengan prinsip sukarela (voluntary) sebagai prinsip hak atas kesehatan yakni aspek kebebasan (freedom) dan keberhakan (entitlements).
Berdasarkan uraian di atas, LBH Masyarakat dan PBHI mendesak Presiden Jokowi, untuk:
a. Mengambil langkah strategis dan fundamental terhadap kebijakan narkotika, dengan mendorong dekriminalisasi pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi dalam revisi UU Narkotika yang mengedepankan standar hak asasi manusia utamanya hak atas kesehatan;
b. Mendorong evaluasi massal bagi seluruh kasus penyalahguna narkotika melalui asesmen medis dan sosial untuk tujuan pengampunan dan mencabut penghukuman;
Jakarta, 20 September 2023
LBH Masyarakat – M. Afif
PBHI – Julius Ibrani