Siaran Pers
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai langkah Presiden RI Joko Widodo yang mengusulkan Jenderal Andika Perkasa sebagai calon Panglima TNI mengandung tiga permasalahan serius. Pertama, Presiden RI telah mengesampingkan pola rotasi matra yang berlaku di era Reformasi dalam regenerasi Panglima TNI sebagaimana norma yang berlaku pada Pasal 13 ayat (4) dalam Undang-Undang TNI No. 34 Tahun 2004. Kedua, Presiden RI telah mengajukan nama yang rekam jejaknya masih perlu pengujian oleh lembaga negara yang independen di bidang hukum, HAM, dan pemberantasan korupsi. Dalam hal ini, Komnas HAM dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiga, perkembangan ancaman keamanan kawasan yang maritim sentris dewasa ini membutuhkan perhatian yang lebih besar di sektor kelautan.
Pada Rabu (3/11/2021) Presiden RI Joko Widodo telah mengirimkan surat Presiden RI (Surpres) berisi nama calon Panglima TNI kepada pimpinan DPR RI. Berdasarkan Surpres tersebut terdapat satu nama calon tunggal yakni KSAD Andika Perkasa sebagai pengganti Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto yang sebentar lagi akan memasuki masa pensiun. Berdasarkan Pasal 13 ayat (5) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (UU TNI) Presiden RI mengusulkan nama calon Panglima TNI untuk mendapat persetujuan DPR.
Lebih jauh, Koalisi perlu menjelaskan catatan penting sebagai berikut:
Pertama, usulan nama KSAD Andika Perkasa sebagai Panglima TNI yang baru merupakan pilihan yang keliru karena mengabaikan pola kebijakan berbasis pendekatan rotasi. Jika merujuk pada Pasal 13 ayat (4) UU TNI, maka jabatan Panglima TNI dijabat secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan.
Penerapan pola rotasi akan menumbuhkan rasa kesetaraan antar-matra, kesimbangan orientasi pembangunan postur TNI, serta kesempatan yang sama bagi perwira tinggi TNI, tanpa membedakan asal matra. Hal ini juga dapat membawa dampak positif berupa penguatan soliditas internal TNI. Selain itu, pola rotasi penting dilakukan guna meredam kecemburuan yang sangat mungkin terjadi di antara prajurit akibat adanya kesan bahwa Presiden RI menganak-emaskan satu matra dalam tubuh TNI, seperti di masa Orde Baru.
Pola rotasi jabatan Panglima TNI yang telah dimulai sejak awal Reformasi ini tentu perlu untuk dipertahankan, apalagi hal tersebut juga telah diamanatkan dalam UU TNI.
Singkatnya, kami memandang bahwa seharusnya Presiden RI Joko Widodo tidak mengabaikan pola pergantian Panglima TNI berbasis rotasi matra. Mengabaikan pendekatan ini dapat memunculkan tanda tanya besar apakah Presiden RI lebih mengutamakan faktor politik kedekatan hubungan yang subyektif daripada memakai pendekatan profesional dan substantif.
Kedua, Presiden RI harus betul-betul memastikan calon Panglima TNI yang diusulkannya tidak memiliki catatan buruk, khususnya terkait pelanggaran HAM. Adanya pemberitaan yang mengaitkan nama Andika Perkasa dalam kasus pembunuhan tokoh Papua Theys Hiyo Eluay harus ditanggapi secara serius (Tempo 23 Oktober 2003). Sudah seharusnya Presiden RI melakukan penggalian informasi secara komprehensif terhadap seluruh kandidat dengan melibatkan lembaga-lembaga kredibel guna memperkuat pertimbangan Presiden RI dalam mengambil keputusan yang tepat. Dengan diajukannya Jenderal Andika Perkasa sebagai calon tunggal Panglima TNI, menunjukkan bahwa Presiden RI tidak memiliki komitmen terhadap Penegakan HAM secara serius sebagaimana komitmen politiknya.
Selanjutnya, adanya laporan yang menyebutkan dugaan harta kekayaan KSAD Andika Perkasa dengan nilai yang fantastis harus segera diklarifikasi dan dijelaskan kepada publik. Sebagai prajurit yang tunduk pada Sapta Marga yang menjunjung tinggi nilai kejujuran, adanya laporan kepemilikan kekayaan hingga berjumlah Rp 179,9 Miliar harus dijelaskan secara transparan dan akuntabel sehingga terang benderang. Sehingga kami menilai penting untuk dilakukan audit harta kekayaan Andika Perkasa oleh KPK. Selama berkarir di Militer, Jendral Andika hanya melaporkan LHKPN pada Juni 2021. Artinya, selama 3 tahun menjadi KSAD belum pernah melapor LHKPN. Ini melanggar Pasal 4 ayat (3) Peraturan KPK No. 4 Tahun 2020, yang mewajibkan Jendral Andika untuk melapor LHKPN. Koalisi menengarai ada itikad buruk terkait tidak dilaporkannya LHKPN Jendral Andika, dugaan kuat ada pada persoalan sumber harta kekayaan dan jumlah yang sangat fantastis.
Ketiga, mengamati perkembangan tantangan keamanan regional masa depan yang semakin maritim sentris. Mulai dari konflik Laut China Selatan yang belum ada tanda-tanda resolusi dalam waktu dekat, aksi perompakan di Selat Malaka yang masih terus berlangsung, pencurian ikan oleh kapal nelayan asing, penyelundupan senjata untuk kelompok kriminal via jalur laut, dan lain sebagainya. Beberapa tantangan di atas adalah sedikit dari masih banyak ancaman lain yang masih harus diperkuat penanganannya di sektor maritim. Hal ini lagi-lagi harusnya sejalan dengan visi Presiden RI Joko Widodo yang ingin menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Presiden RI tampaknya harus terus diremajakan ingatannya kepada visi dan komitmennya sendiri ketika berkampanye sebagai calon Presiden RI Republik Indonesia.
Keempat, tahapan uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI yang akan segera digelar di DPR harus dilakukan secara terbuka, akuntabel, melibatkan partisipasi publik dan lembaga negara independen. Kendati nama calon yang tertera dalam Surpres hanya satu calon, sudah menjadi kewajiban DPR untuk menguji calon tersebut secara seksama. Jangan sampai ada kesan bahwa DPR RI hanya sekadar menjadi “juru stempel” Presiden RI RI. Selain itu, apabila hasilnya DPR tidak menyetujui calon tersebut, maka merujuk pada Pasal 13 ayat (8) UU TNI, DPR berhak menolak dengan memberikan alasan tertulis yang menjelaskan ketidaksetujuannya kepada Presiden RI.
Kelima, kami menilai tetap diusulkannya KSAD Jenderal Andika Perkasa sebagai calon Panglima TNI oleh Presiden RI dengan tidak mengindahkan pola rotasi sebagaimana amanat UU TNI serta dugaan adanya keterkaitan Andika Perkasa dalam kasus Theys Hiyo Eluay dan dugaan kepemilikan sejumlah harta kekayaan yang fantastis menunjukkan kemunduran di dalam usaha reformasi dan transformasi di tubuh TNI.
Berdasarkan catatan koalisi di atas kami mendesak:
1. DPR RI menguji secara serius komitmen calon panglima TNI atas Demokrasi, HAM, pemberantasan korupsi dan lainnya, khususnya dugaan keterkaitan KSAD Jenderal Andika Perkasa dalam pembunuhan Theys Hiyo Eluay dan kepemilikan harta kekayaan dengan jumlah fantastis tersebut dengan demikian sudah sepatutnya ditolak;
2. DPR RI dalam menguji dan menilai calon panglima TNI wajib melibatkan dan meminta pendapat Publik, Lembaga-Lembaga Negara independen dan/atau pakar yang kredibel dalam menguji calon panglima yang akan datang misalnya dengan melibatkan Komnas HAM dan KPK serta lembaga-lembaga masyarakat sipil lainnya;
3. Presiden RI segera mencabut Surat Presiden penunjukan Jendral Andika sebagai calon tunggal Panglima TNI, lalu melanjutkan dan membentuk Tim Percepatan yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI untuk melakukan reformasi dan transformasi TNI.
4. Komnas HAM melakukan pengujian segera terhadap dugaan peranan Andika Perkasa dalam Kasus pembunuhan Theys Eluay pada November 2001.
Jakarta, 3 November 2021
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan
KontraS, Imparsial, LBH Jakarta, HRWG, Setara Institute, Public Virtue Research Institute, Amnesty International Indonesia, Inisiatif Untuk Demokrasi dan Keamanan (IDeKa), Indonesia Corruption Watch (ICW), ELSAM, PBHI Nasional, LBHM, LBH Pers, ICJR.