[8/11] Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) selesai melaksanakan Kongres VII bersama Perwakilan Anggota, Badan Pengurus dan Majelis Anggota Wilayah PBHI di 10 (sepuluh) PBHI Wilayah yakni Bali, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Lampung, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Kalimantan Barat, DKI Jakarta, pada 5-8 November 2021.
Kongres PBHI merupakan momentum refleksi dan proyeksi kondisi pemenuhan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia di bawah radar advokasi dan monitor PBHI se-Indonesia, sekaligus proses regenerasi kepengurusan organisasi PBHI.
Kongres VII PBHI mengangkat tema, “Konsolidasi Melawan Respresi di Masa Pandemi”, menetapkan Ketua Badan Pengurs Nasional (BPN) atas nama, Julius Ibrani, untuk menjadi nahkoda PBHI di 2021-2025, menggantikan Totok Yuliyanto. Kongres VII juga memilih 9 (Sembilan) Majelis Anggota Nasional (MAN), yakni Dr. Ismail Hasani, Totok Yuliyanto, Kahar Muamalsyah, Esti Nuringdyah, Samaratul Fuad, A. Dedi Handoko, Abdul Aziz Saleh, Suryadi Radjab, M. Ulinuha. Adapun 7 (Tujuh) orang Dewan Kehormatan yang terpilih yakni Hendardi, I Wayan Suardana, Teddy Alfonso, Nasirudin Pasigai, Dwiyanto Prihartono, Hari Prabowo dan Petrus Selestinus. Komponen organisasi ini bertugas sebagai pengawas kelembagaan dan penjaga marwah ideologi PBHI.
Ketua Badan Pengurus Nasional (BPN) PBHI terpilih, Julius Ibrani, memaparkan 3 persoalan kunci yang membawa kondisi hak asasi manusia terjerembab pada titik nadir. Pertama, represi negara, khususnya selama pandemi covid-19, terjadi seperti serangan yang membabi buta dan berlapis-lapis. Hak-hak dasar yang tidak terpenuhi krisis pandemi dihadapkan pada tindakan pelanggaran HAM di berbagai aspek, mulai dari pembatasan mobilisasi tanpa jaminan hak ekonomi, kebebasan sipil yang habis diberangus (berekspresi, berorganisasi, berkumpul, kriminalisasi pelaku kritik terhadap kebijakan negara yang buruk), PHK massal jutaan buruh, pemiskinan sturktural yang meninggi, perampasan dan pengrusakan lahan dan lingkungan serta SDA, dan lainnya. Kesemuanya diperburuk dengan program legislasi yang anti-HAM dan koruptif (minus partisipasi publik dan tidak transparan), sebut saja UU Omnibus Law Cipta Kerja, RKUHP, dan lainnya. Dan fokus anggaran negara bernilai triliunan justru diperuntukkan bukan untuk hak-hak dasar, demokratisasi dan supremasi sipil, melainkan militerisasi lewat pembelanjaan alutsista dan pembentukan komponen cadangan.
Kedua, ruang masyarakat sipil pada titik advokasi publik bukan hanya pembelaan untuk masyarakat korban bahkan penelitian dan kajian juga menjadi sasaran serangan represif. Pembela HAM berada pada titik yang paling rentan saat ini. Suara kelompok rentan, minoritas jender dan agama atau keyakinan juga semakin tenggelam dari simpati publik. Sementara aparatur negara termasuk penegak hukum disibukkan dengan penindakan yang kental dengan nuansa politis (kriminalisasi Aktor/Tokoh Politik), dalam sistem peradilan yang masih koruptif, penuh pelanggaran etik dan prosedur (penyiksaan, rekayasa kasus, minus pengawasan, dan lainnya).
Ketiga, sarana masyarakat korban pencari keadilan untuk mempertahankan hak-hak dasarnya, yakni bantuan hukum, justru masih membeku pada posisi stagnan, belum ada arah perbaikan. Keterbatasan target penerima bantuan hukum, ketiadaan dukungan sarana dan pendanaan kelembagaan, membuat posisi pegiat dan organisasi pemberi bantuan hukum harus menjadi dokter dalam kondisi fisik dan psikis yang kritis nyaris mati.
“Urgensi untuk menyebarluaskan dan menginternalisasasi nilai-nilai keadilan sosial dan Hak Asasi Manusia (HAM) kepada seluruh jejaring dan berbagai lapisan masyrakat utamanya kelompok korban, masyarakat miskin secara struktural dan marjinal, menjadi sangat penting. Perjuangan HAM harus dimulai dan dilakukan secara masif dan menyebar dari akar rumput.” Ungkap Julius Ibrani saat memaparkan visi dan misinya pada Kongres VII PBHI.
Dirinya juga menyampaikan bahwa visi tersebut dituangkan menjadi sebuah misi yang patut untuk segera dijalankan dengan mengembangkan prinsip-prinsip kemandirian di masyarakat sipil demi menjaga independensi dan keberpihakan kepada korban, melakukan Pendidikan HAM dan pengiatasn kapasitas kepada seluruh lapisan masyarakat, mendorong program legislasi dan kebijakan yang menjamin hak dasar warga negara (sipol ekosob) dengan fokus utama pada isu pelanggaran HAM yang paling tinggi, kebebasan sipil, sistem peradilan, dan sector keamanan yang saat ini sistem militerisasi kian menguat, mendorong program legislasi kebijakan bantuan hukum yang strategis dan inklusif, dan melakukan pengawasan proses legislasi serta implementasinya.
Ketua BPN Terpilih Periode 2021-2025 juga menyampaikan pentingnya publik mendorong revisi kebijakan bantuan hukum yang bersifat inklusif dan mengakomodasi kebutuhan riil termasuk ketahanan kelembagaan pemberi bantuan hukum. Di banyak negara lain, access to justice dijamin penuh oleh Negara termasuk sarana dan infrastruktur organisasi pemberi bantuan hukum, bahkan hingga level pendanaan operasionalisasi teknis. “Masyarakat korban yang butuh pendampingan hukum berhadapan dengan kekuasaan negara yang semakin pongah dan bergerak di bawah pendulum pemodal sehingga terjadi oligarki. Artinya pembelaan lewat bantuan hukum tidak boleh lemah.”
Best Practices yang telah dijalankan oleh PBHI melalui skema ko-kreasi bersama negara dalam pembentukan kebijakan layak HAM dan Bantuan Hukum menunjukkan bagaimana skema mendorong transparansi dan partisipasi publik ini berjalan dengan sangat baik. PBHI bersama 10 wilayah menggagas Permen Standar Layanan Bantuan Hukum dan Paralegal dengan target dapat mengakomodasi kebijakan yang berangkat dari kebutuhan masyrakat sipil dan OBH di lapangan. Ko-kreasi ini juga sebagai kesempatan bagi organisasi untuk dapat mengintervensi proses legislasi yang semakin tertutup.
Selain itu, Julius Ibrani juga menekankan pentingnya peran PBHI yang tersebar di 10 (sepuluh) wilayah bersama dengan jaringan masyrakat sipil lainnya jangan sampai bersifat insidentil namun juga dapat diorganisir dan juga tentunya berdaya serta mengedapankan nilai penegakkan HAM dan demokrasi.
Jakarta, 08 November 2021
PBHI Se-Indonesia
PBHI Nasional
PBHI Sumatera Utara
PBHI Sumatera Barat
PBHI Lampung
PBHI Sulawesi Selatan
PBHI Bali
PBHI Kalimantan Barat
PBHI Jawa Tengah
PBHI Yogyakarta
PBHI Jawa Barat
PBHI Jakarta