Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) menggelar Diskusi Hukum dan HAM (DUHAM-13) PBHI bertema, “Konflik Lahan PTPN VS Petani Berujung Kriminalisasi: Studi Kasus Koperasi Petani Sawit Makmur (KOPSA M) Siak Hulu-Kampar”.
Hadir sebagai narasumber, Perwakilan Petani Kopsa M, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Sawit Watch, Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), dan PBHI.
Diskusi ini bertujuan membangun kesadaran masalah konflik lahan sawit dan mendorong dukungan publik terhadap upaya masyarakat dalam hal ini KOPSA M dalam memperjuangkan hak-haknya dalam konflik dengan PTPN di wilayah Siak Hulu- Kampar itu digelar pada Kamis (14/10/2021).
Perwakilan Kopsa M mengatakan, pihaknya mendapatkan kriminalisasi dalam memperjuangkan lahan perkebunannya yang telah dikuasai dan dirusak oleh PTPN.
Alih-alih memperjuangkan lahannya dan mengadu ke sejumlah aparat penegak hukum, Ketua Kopsa M justru dikriminalisasi PTPN.
“Kriminalisasi menggunakan tangan aparat penegak hukum,” paparnya.
Kopsa M berharap, pihaknya mendapatkan dukungan dari sejumlah pihak dalam memperjuangkan hak-haknya.
“Kami berharap upaya yang kami lakukan ini memang dapat dukungan dari berbagai pihak,” ungkapnya.
Sementara, Walhi Kalimantan Tengah, Dimas Novian Hartono menyebut, kasus PTPN V vs Petani Kopsa M adalah salah satu contoh konflik agraria yang kerap terjadi di Kalimantan Tengah “Ruang kelola rakyat ditempatkan pada ruang pinggiran dan pada posisi yang tidak relevan dalam menjawab kebutuhan masyarakat,” paparnya.
Penyelesaian konflik itu juga dapat dilakukan oleh pemerintah daerah setempat dengan memberikan sanksi kepada perusahaan yang melanggar.
“Lalu, penegakan hukum yang lebih profesional dan terhindar dari tekanan informal dan aktor bisnis,” kata Dimas.
Perwakilan Sawit Watch, Achmad Surambo menyoroti model kelembagaan Kopsa M dalam kerjasama KPPA di lahan sawit yang dipastikan memiliki struktur kepengurusan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
“Dokumen yang diperlukan dalam advokasi itu yang sifatnya A-1, nota kesepahaman koperasi, biasanya kalau bentuk KPPA itu koperasinya dibentuk dulu sehingga jelas ketuanya siapa, anggotanya siapa, jelas alamatnya,” paparnya.
Menurut Achmad, Pemerintah Daerah perlu dilibatkan dalam persoalan konflik agraria ini. “Untuk melalukan advokasi lanjutan, perlu melibatkan Pemerintah setempat, agar tidak terus merugikan petani, dan saat ini ada pengawas yaitu Komisi Pengawas Persaingan Usaha,” pungkasnya.
Perwakilan PBHI Sumatera Barat Fauzan Azim mengatakan, persoalan perampasan lahan semcan ini terjadi juga di Sumatera Barat. Salah satunya di Kecamatan Pasaman tepatnya di wilayah Aia Gadang yang terjadi pada 1991.
Kriminalisasi terhadap masyarakat pun terjadi. Keterlibatan oknum aparat sangat kental dalam persoalan itu.
“Puncak kekerasan terjadi pada tahun 2000 oleh oknum kepolisian bersama TNI. Banyak laki-laki di Aia Gadang yang eksodus ke luar daerah karena takut dengan intimidasi oleh oknum aparat kepolisian bersama TNI,” kata dia.
Perwakilan YLBHI Era Purnama Sari mengatakan, kriminalisasi menjadi salah satu cara perusahaan melakukan pelemahan kepada masyarakat.
“Kriminalisasi menjadi pola bagi perusahaan untuk perlawanan kepada rakyat. Dalam hal ini adalah rakyat petani,” kata dia.
“Salah satunya pembungkaman melalui UU ITE. Ketika kritik terhadap perusahaan dan kritik itu disampaikan media sosial dan pidana UU ITE langsung diterapkan,” paparnya.
Menurut Era, ada 2 skema perlindungan dalam prinsip penegakan HAM.
Pertama, kebijakan tata kelola tanah khususnya tanah untuk perkebunan berlandaskan prinsip-prinsip universal.
“Perlindungan HAM tanpa diskriminasi berlandaskan pada keadilan baik keadilan hukum, keadilan ekonomi, dan keadilan ekologis,” paparnya.
Sementara, Perwakilan PBHI Nasional, Julius Ibrani menyimpulkan, konflik lahan ini bukan hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanahan saja. Kementerian BUMN juga turut bertanggungjawab.
Saya pikir artinya disini bukan hanya Kementerian Pertanahan saja yang harus bertanggungjawab, jika ini PTPN maka Kementerian BUMN juga bertanggungjawab,” kata dia.
Tak hanya itu, Julius berujar, kriminalisasi yang kerap terjadi pada konflik lahan itu juga perlu perhatian khusus dari jajaran Polri.
“Kriminalisasi juga harus menjadi perhatian khusus seluruh jajaran Polri di setiap wilayah Provinsi hingga ke daerah,” ujar Julius.
“Dengan latar belakang konflik lahan sawit dengan perusahaan, maka perlu ada imbauan Kapolri secara khusus untuk melihat lebih jelih konflik lahan yang memang belum selesai dan masih dalam proses penyelesaian, dan menghentikan kriminalisasi terhadap Petani Kopsa M” tukasnya.