Sudah 78 tahun usi TNI dan sudah 25 tahun sejak reformasi, namun hingga hari ini berbagai permasalahan sistemik yang mengakar di tubuh militer belum juga terselesaikan.
Dwifungsi Masih Eksis
(Perwira tinggi TNI tapi masih di jabatan sipil)
PBHI menemukan terdapat 23 jabatan sipil yang diisi oleh perwira tinggi TNI, padahal Mandat Reformasi 1998 pada konteks penghapusan Dwifungsi ABRI, berfokus pada Peran, Fungsi serta Tugas militer (sekarang TNI) pada Pertahanan (Pasal 30 UUD ’45) melalui Operasi Militer Perang (OMP) dan Operasi Militer Selain Perang (Pasal 5 s/d 7 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI). Tidak ada ruang bagi Anggota TNI untuk menduduki jabatan sipil berdasarkan UU Pertahanan dan UU TNI. Hal ini juga untuk mempertegas prinsip-prinsip profesionalitas, demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, dan lainnya sebagaimana Konsiderans Menimbang pada Huruf (d) di UU TNI. berfokus pada penghapusan Dwifungsi ABRI yang menjadikan seharusnya Tidak lagi ada ruang bagi Anggota TNI untuk menduduki jabatan sipil berdasarkan UU Pertahanan dan UU TNI.
Ekspansi Multifungsi TNI di Ruang Sipil
Berdasar data PBHI terdapat 86 MoU antara TNI dan berbagai lembaga sipil yaitu:
dengan 16 Kementerian
dengan 18 Pemerintah Daerah
dengan 17 perguruan tinggi
dengan 13 lembaga pemerintah non kementerian
dengan 4 lembaga negara
dengan 9 BUMN
dengan 9 organisasi dan lembaga lainnya
Dari kesemua MoU ini TNI melakukan berbagai peran dan profesi seperti: bangun desa, tukang buka jalan, petani, guru, sekuriti objek vital nasional dan perusahaan, dosen, arsiparis, kreditur, ahli perencanaan pariwisata, tukang dakwah, pemadam kebakaran, campaigner, pengawas segala urusan, petugas lapas, distributor segala macam alat dan barang, dan banyak lagi.
Jadi TNI adalah alat pertahanan negara atau TNI adalah segalanya?
Impunitas atas nama besar TNI!
Sepanjang 2018 – 2022 terdapat 338 kasus kekerasan yang melibatkan TNI meliputi penganiayaan, penyiksaan, penembakan, hingga tindakan tak manusiawi.*berdasarkan data pemantauan KontraS. Walau terdapat berbagai kasus kejahatan sipil mulai dari yang ringan hingga pelanggaran ham berat bahkan yang viral dibicarakan publik, mayoritas kasus tidak terselesaikan dengan baik atau dibiarkan begitu saja berujung impunitas.
TNI seolah tak tersentuh dan berlindung di balik peradilan militer yang tak kunjung direvisi, padahal di UU NRI sudah menegaskan bahwa semua orang berhak atas perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sudah 25 tahun reformasi tapi perlakuan khusus terhadap oknum TNI masih dilanggengkan.
Hal ini menjadikan Peradilan Militer sebagai sarang impunitas. Karena penolakan dalam pemenuhan proses hukum yang adil melalui peradilan umum selalu ditolak dengan dalih hanya tunduk pada hukum militer saja.
Penolakan ini didasari Pasal 74 yang mengatakan bahwa “(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan,” dan “(2) Selama undang-undang peradilan militer yang baru belum dibentuk, tetap tunduk pada ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.”
Ketentuan ini menjadikan peradilan militer sebagai sarang impunitas yang menyebabkan Oknum TNI tidak dapat diproses hukum melalui peradilan umum.
UU Peradilan Militer sebagai produk warisan rejim Orde Baru yang otoriter dan militeristik, hingga hari ini belum direvisi dan masih berwatak anti-reformasi.
Akrobat politik TNI melalui Gugatan ke MK
TNI mengajukan gugatan ke MK supaya batas usia pensiun diganti menjadi 60 tahun untuk perwira dan 58 tahun untuk bintara dan tamtama. Gugatan ini tentunya sarat dengan muatan politik dan upaya membuka peluang bagi individu tertentu supaya menempati jabatannya lebih lama. Padahal dalam jangka panjang hal ini berpotensi memperbanyak perwira non-job yang akan melahirkan konflik antar-personel.