Jakarta, 29 September 2023 — Laporan hasil survei tentang indeks gangguan industri tembakau pada 2023 di Indonesia menunjukkan Indonesia masih mencapai skor tinggi, yakni 84. Ini mengindikasikan tingginya campur tangan industri dalam kebijakan dan menunjukkan bahwa pemerintah masih berpihak kepada industri tembakau dengan mengorbankan kesehatan rakyatnya. Karena itu sejumlah pihak mendorong Pemerintah Indonesia lebih proaktif melindungi kesehatan masyarakat dengan mengambil langkah tegas mengurangi campur tangan industri tembakau, khususnya dalam proses pembuatan kebijakan. Diantaranya dengan melarang donasi dari industri tembakau, melarang perwakilan industri tembakau menjadi pemangku kepentingan dalam pembuatan kebijakan, dan membatasi akses industri tembakau kepada para pengambil kebijakan. Demikian benang merah yang bisa ditarik dari Press Briefing bertajuk Refleksi Hari Demokrasi Internasional dan Peluncuran Laporan Indeks Gangguan Industri Tembakau Tahun 2023 di Indonesia, yang diadakan Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI) dan Lentera Anak di Jakarta, hari ini, (29/09/23).
Indeks gangguan industri tembakau atau The Tobacco Industry Interference Index (TII Index) bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengukur tingkat campur tangan industri tembakau dalam kebijakan pengendalian tembakau di suatu negara dan respon pemerintah terhadap campur tangan tersebut. Indeks mencakup tujuh area yang menggambarkan campur tangan industri tembakau dan di kembangkan pertama kali oleh Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA). Sejak tahun 2015, sembilan negara ASEAN telah melakukan pemantauan dan membuat formula penghitungan seragam untuk mengukur indeks gangguan industri tembakau di masing-masing negara. Saat ini perhitungan indeks gangguan industri tembakau dilakukan oleh 90 negara di dunia.
Di Indonesia, pemantauan TII Index tahun 2023 dilakukan oleh RUKKI. Ketua RUKKI, Mouhamad Bigwanto, menjelaskan bahwa skor pada TII Index tahun 2023 dihitung berdasarkan data yang diambil selama 2 tahun terakhir (April 2021 hingga Maret 2023).
Bigwanto menambahkan, hasil pantauan RUKKI menunjukkan dengan tegas bahwa industri tembakau di Indonesia sangat terlibat dalam pembentukan kebijakan dan mendapatkan berbagai bentuk dukungan dari pemerintah. Hal ini membuat upaya untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia akan sulit tercapai, karena masalah inti, yaitu campur tangan industri rokok dalam kebijakan, belum diatasi. Selain itu, muncul kekhawatiran tentang adanya interaksi yang tidak perlu di antara pejabat pemerintah dengan industri tembakau, serta kurangnya transparansi atas interaksi yang terjadi tersebut.
”Campur tangan industri tembakau telah menjadikan komitmen pemerintah Indonesia sangat lemah dalam mengendalikan produk tembakau, khususnya, dalam upaya menekan pengaruh industri tembakau dalam pengambilan kebijakan terkait isu kesehatan. Hal Ini berdampak pada tidak optimalnya upaya perlindungan kesehatan masyarakat melalui pengendalian produk tembakau, karena kebijakan yang dihasilkan cenderung berpihak kepada industri,” kata Mouhamad Bigwanto.
Hasil pemantauan oleh RUKKI semakin mengukuhkan posisi Indonesia yang selama lima tahun terakhir selalu menempati urutan tertinggi dari sembilan negara Asia Tenggara. Skor 84 pernah diperoleh Indonesia pada 2015, lalu berturut-turut meraih skor 81 (2016), 79 (2017), 75 (2018), 82 (2019), dan 83 (2020). Ini mencerminkan betapa mesranya hubungan pemerintah Indonesia dengan industri tembakau.
Pengamat kebijakan publik Agus Pambagio, sependapat dengan temuan RUKKI bahwa campur tangan industri tembakau di Indonesia bukan hanya masalah kesehatan, namun juga masalah tata kelola pemerintahan yang baik, transparansi, dan bebas dari konflik kepentingan dengan industri. Menurut Agus, tingginya skor indeks gangguan industri tembakau tahun 2023 di Indonesia menegaskan lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap kepentingan rakyat. “Keberpihakan pemerintah terhadap industri tembakau telah mencederai komitmen pemerintah dalam menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik atau good governance, karena good governance menuntut keberpihakan pemerintah pada kepentingan masyarakat luas, bukan pada segelintir pihak tertentu saja seperti industri tembakau,” tegas Agus
Ketua Lentera Anak, Lisda Sundari, menegaskan bahwa campur tangan industri tembakau untuk mempengaruhi kebijakan di Indonesia sangat terlihat dalam upaya penyusunan rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau tahun 2023-2027.
”Sejumlah organisasi masyarakat sipil sejak tahun 2022 sudah menolak tegas penyusunan Perpres Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau yang bertujuan untuk meningkatkan produksi dan konsumsi produk tembakau di Indonesia. Sebab Perpres ini bertentangan dengan regulasi yang sudah ada, dan bertolak belakang dengan sasaran yang ingin dicapai dalam RPJMN 2020-2024 yakni meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat,” ungkap Lisda.
Ia menambahkan, peningkatan prevalensi perokok anak adalah bukti lemahnya pengendalian tembakau di Indonesia, sehingga industri tembakau menjadi sangat leluasa dalam menyasar anak muda sebagai target pemasaran produknya dengan melakukan berbagai kegiatan manipulatif, seperti iklan, promosi, sponsor, dan kegiatan CSR.
Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, mengatakan ”Pemerintah harus memilih, apakah mau mengutamakan derajat kesehatan masyarakatnya atau justru menomorsatukan kepentingan cuan atas nama investasi dan kepentingan ekonomi? Kalau memilih untuk melindungi kesehatan masyarakat, maka pemerintah harus berkomitmen untuk membuat kebijakan dan regulasi yang kuat. Oleh karena pemerintah perlu mengadopsi kode etik yang mengatur interaksi dengan industri tembakau dan kelompok-kelompok yang mewakili kepentingan mereka” tegas Julius.
Senada dengan Julius, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra, menambahkan, regulasi yang kuat dan tegas sangat dibutuhkan untuk memberikan perlindungan kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan anak Indonesia. ”Kita harus mendukung visi Presiden Joko Widodo untuk menciptakan SDM berkualitas dan berdaya saing. Dukungan ini terutama dalam bentuk penguatan regulasi yang berpihak pada kesehatan masyarakat. Sehingga perlu komitmen semua pihak untuk menolak segala bentuk campur tangan industri tembakau yang bertujuan melemahkan regulasi tersebut,” pungkasnya.