RILIS PERS
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
Imparsial
KontraS
Tim Percepatan Reformasi Hukum Menkopolhukam di bawah Mahfud MD, telah menyerahkan rekomendasi agenda prioritas percepatan reformasi hukum yang utamanya berkaitan dengan reformasi peradilan. Reformasi Peradilan Militer masuk ke dalam Rekomendasi Jangka Menengah nomor 20 dengan ukuran keberhasilan “Dimasukkannya revisi UU Pengadilan Militer dalam prolegnas 2025 yang mengatur pembatasan kewenangan pengadilan militer hanya untuk mengadili kasus-kasus pidana militer murni, atau setidaknya, tetap dapat mengadili tindak pidana umum kecuali korupsi, kekerasan atau tindak pidana lain dengan ancaman hukuman maksimum di atas 10 tahun”.
Secara esensial rumusan ini menjadi titik problematika dalam reformasi peradilan militer, karena tidak mencerminkan mandat reformasi sebagaimana TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 34 Tahun 2004 yang telah secara tegas membatasi ruang antara sipil dan militer.
Dari segi urgensi peradilan militer adalah satu-satunya warisan rejim otoriter Orde Baru yang tidak tersentuh reformasi sama sekali, yakni UU No. 31 tahun 1997. Yang membawa petaka, mulai dari impunitas anggota TNI, dalih yurisdiksi antara peradilan sipil dan militer, tidak transparan dan tidak manusiawi, dan lainnya. Sebut saja, kasus Korupsi Kepala Basarnas, Pembunuhan Pendeta Theys Hiyo Elluway, dan banyak lagi.
Petaka Peradilan Militer versi Orba: Sarang Impunitas
KontraS mencatat sepanjang Oktober 2021-September 2022 terdapat 61 perkara yang diadili di peradilan militer dengan 152 terdakwa. Namun hukuman kepada para terdakwa sangat ringan dengan mayoritas vonis hanya berupa penjara dengan hitungan bulan. Sanksi ringan ini tidak hanya pada kasus-kasus baru saja, tapi juga yang diberikan terhadap pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu. Hal ini dipengaruhi juga karena TNI memiliki pengaruh yang kuat dalam politik Indonesia untuk melakukan intervensi politik supaya semua kasus anggotanya diproses di peradilan militer, sehingga berakibat pada terhambatnya proses hukum dan mandegnya reformasi peradilan militer.
Terdapat banyak kasus-kasus pelanggaran HAM dan kejahatan sipil yang melibatkan anggota TNI belum terselesaikan hingga saat ini mencerminkan tantangan serius dalam sistem peradilan Indonesia. Beberapa kasus yang menjadi sorotan, seperti penculikan dan penghilangan paksa aktivis tahun 1998, kasus korupsi terkait pembelian helikopter AW-101, skandal korupsi di Badan SAR Nasional (Basarnas), korupsi dana Tabungan Wajib Perumahan Angkatan Darat (TWP AD), Korupsi pengadaan alutsista di Kemenhan, korupsi pengadaan perangkat transportasi informasi terintegrasi Bakamla. Meskipun kasus-kasus ini telah menarik perhatian publik dan mendapatkan sorotan media yang luas, proses hukum yang berjalan seringkali menghadapi kendala dalam yuridiksi sistem peradilan, ditambah lagi dengan intervensi politik dan perlawanan dari pihak militer supaya anggotanya tidak diproses melalui peradilan umum. Pada akhirnya menjadikan peradilan militer sebagai sarang impunitas, menciptakan ketidakpercayaan dalam sistem peradilan.
Mandat NKRI & Reformasi: Reformasi Peradilan Militer Perintah Konstitusi UUD 45
Reformasi peradilan militer telah dimandatkan sebagai agenda reformasi 98 dan tercantum dalam TAP MPR No. VII Tahun 2000 dan UU No. 34 Tahun 2004 mencerminkan upaya untuk memastikan bahwa anggota TNI bertanggung jawab atas tindakan mereka dan bahwa mereka tunduk pada hukum yang sama dengan warga sipil dalam kasus pelanggaran hukum pidana umum. Peraturan ini menjadi landasan konstitusional yang jelas bahwa TNI harus tunduk pada peradilan militer dalam kasus pelanggaran hukum militer dan peradilan umum dalam kasus pelanggaran hukum pidana umum. Sebagai cerminan semangat reformasi dan upaya memisahkan peran TNI sebagai institusi pertahanan negara dari peran dalam penegakan hukum.
Kemudian dipertegas melalui Pasal 65 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang menekankan prinsip perlakuan yang sama dan setara di hadapan hukum, namun pasal ini tidak dapat dijalankan karena tidak pernah dilakukannya revisi terhadap undang-undang peradilan militer saat ini. Dikarenakan dalam ketentuan peralihan pada Pasal 74 ayat (1) dan (2) UU 34/2004 mengharuskan penerapan Pasal 65 hanya dapat dilaksanakan jika ada peraturan yang mengatur peradilan militer yang baru. Ini berarti bahwa hingga aturan baru tersebut dibuat dan diberlakukan, sistem peradilan militer masih harus mengikuti UU 31/1997 yang lebih tua dan otoriter.
Anggota Militer Adalah Warga Negara Kelas Satu Yang Mendapat Perlakuan Spesial
Prinsip asas equality before the law atau kesetaraan di hadapan hukum adalah salah satu pilar fundamental dalam sistem hukum yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan perlakuan yang sama untuk semua warga negara. Dalam konteks hukum, berarti bahwa setiap individu, termasuk anggota militer, harus tunduk pada hukum yang sama dan memiliki hak yang sama di dalam proses peradilan.
Namun, terjadi penolakan untuk memproses TNI dalam peradilan umum ketika mereka terlibat dalam tindak pidana yang tidak berkaitan dengan tugas militer sehingga mengakibatkan tidak diusutnya kasus yang melibatkan anggota TNI. Menjadikan terciptanya perlakuan khusus atau kekebalan untuk anggota TNI dan menghapuskan pertanggungjawaban yang seharusnya mereka hadapi di peradilan umum. Padahal prinsip kesetaraan di hadapan hukum menekankan bahwa penegakan hukum harus dilakukan secara adil dan setara, tanpa adanya perlakuan khusus atau kekebalan untuk kelompok tertentu termasuk anggota TNI.
Minus Pengawasan, Surplus Keanehan, Pelanggaran dan Kejahatan
Tidak disorotnya reformasi peradilan militer membuktikan bahwa terdapat beberapa masalah seperti kurangnya pengawasan, kejanggalan, pelanggaran, dan kejahatan yang terjadi dalam sistem peradilan militer dan penegakan hukum di Indonesia secara keseluruhan.
Peran pengawasan terhadap tubuh militer seharusnya dijalankan oleh Komisi I DPR RI, namun sayangnya, perannya tidak berjalan maksimal, terutama dengan adanya berbagai dugaan kasus korupsi yang melibatkan anggota Komisi I DPR RI. Keadaan ini berdampak pada kurangnya pengawasan yang memadai terhadap badan-badan seperti intelijen dan TNI. Kasus-kasus korupsi yang mencuat ini telah menghambat upaya pengawasan yang efektif terhadap sektor-sektor penting dalam negara.
Minimnya pengawasan juga mengakibatkan TNI terlalu sibuk melakukan kerja-kerja yang tidak sesuai dengan tugas prajurit TNI profesional seperti yang diatu dalam UU No. 34/2004. Seperti menjadi “Sekuriti Mahkamah Agung,” sebuah peran yang seharusnya jauh dari peran pokok dan profesionalitas TNI, dan menjadi sekuriti ‘centeng’ Proyek Strategi Nasional (PSN). keterlibatan TNI dalam peran “sekuriti” yang melibatkan pengamanan lembaga seperti Mahkamah Agung dan proyek-proyek strategis nasional justru melenceng dari tugas pokoknya. Tindakan seperti ini menciptakan situasi yang rawan kekerasan atau ancaman terhadap masyarakat sipil, sebagai manifestasi dari campur tangan militer dalam urusan sipil, yang seharusnya berada di bawah kontrol pemerintahan yang demokratis.
Buruk Rupa Cermin Dibelah, Lalu Berpolitik Tanpa Menyentuh Akar Masalah
Kegagalan dalam sistem peradilan dan penegakan hukum saat ini berakar dari berbagai praktik korupsi dan politisasi yang dilakukan oleh pemerintahan yang berkuasa, terutama di era pemerintahan Presiden Jokowi. Pengambilan keputusan dengan kepentingan politik kelompok tertentu telah menciptakan berbagai permasalahan. Misalnya melalui campur tangan politik terhadap lembaga dan aparat penegak hukum, seperti Polri dan KPK, melalui revisi UU KPK dan intervensi politik pada kontroversi TWK.
Dimasukkannya revisi peradilan militer dengan pengecualian tetap dapat memproses kasus pidana umum, menimbulkan pernyataan bagi publik mengenai keberpihakan terhadap masalah yang ada di akar rumput, serta mengenai independensi dan kecurigaan bahwa adanya intervensi terhadap kerja Tim Reformasi Percepatan Hukum. Karena reformasi terhadap peradilan militer memiliki urgensi yang tinggi supaya pemisahan antara pidana umum dan pidana militer dapat disegerakan untuk menghapus impunitas dalam tubuh militer.
Apapun alasannya, dampaknya selalu kepada rakyat. lagi-lagi rakyat yang dihadapkan pada pelanggaran HAM dan kejahatan yang “menyengsengsarakan” rakyat tanpa bisa menyentuh pelaku dari militer. Sehingga tidak mengejutkan bahwa tidak ditemukan rekomendasi untuk segera melakukan reformasi terhadap sistem peradilan militer.
3 Oktober 2023
Narahubung:
Julius Ibrani (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia)
Dimas Bagus Arya (KontraS)
Ghufron Mabruri (Imparsial)