Siaran Pers Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Pemantau RKUHP
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej, menyatakan bahwa Pemerintah dan DPR akan segera memasukan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebagai RUU prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021, untuk kemudian dilanjutkan pembahasannya dan disahkan. Selain itu, Wamenkumham juga menyampaikan bahwa pembahasan selanjutnya hanya akan dilakukan terhadap pasal-pasal yang sebelumnya belum tuntas dibahas. Pernyataan itu merugikan kelompok organisasi penyandang disabilitas, yang selama proses pembahasan RKUHP selama ini belum pernah dilibatkan.
Organisasi Penyandang Disabilitas tidak pernah diundang atau dijelaskan mengenai pasal-pasal dalam RKUHP yang erat dengan kepentingan penyandang disabilitas. Bentuk pelibatan sulit tercapai karena pembahasan RKUHP tidak berjalan transparan dan inklusif. Dokumen-dokumen RKUHP yang tersebar dalam bentuk yang tidak aksesibel, karena sulit untuk dibaca oleh penyandang disabilitas dengan hambatan penglihatan. Selain itu, forum-forum yang dilaksanakan sebagai bentuk sosialisasi RKUHP juga tidak pernah melibatkan juru bahasa isyarat, sehingga sulit dipahami oleh penyandang disabilitas dengan hambatan pendengaran.
Padahal ada beberapa pasal dalam RKUHP yang bahkan menyebut kata “disabilitas” secara langsung. Namun karena tidak pernah melibatkan organisasi penyandang disabilitas, maka rumusannya berdampak kepada potensi stigma yang tinggi bagi penyandang disabilitas, dan kemudian menghadirkan ketidakadilan dalam hukum pidana di Indonesia. Draft RKUHP kontraproduktif dengan serangkaian upaya Pemerintah dalam penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas saat ini.
Pasal krusial pada RKUHP yang berpotensi menebalkan stigma bagi penyandang disabilitas diantaranya ada pada Pasal 38. Pada Pasal 38 disebutkan bahwa, “Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual pidananya dapat dikurangi dan dikenai tindakan.” Pasal itu berpotensi menstigma penyandang disabilitas mental dan intelektual karena pada dasarnya tidak setiap saat penyandang disabilitas mental dan intelektual dalam kondisi tidak cakap hukum, atau tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Anggapan bahwa penyandang disabilitas mental dan intelektual selalu tidak cakap hukum berdampak besar kepada hilangnya hak-hak lain.
Penilaian apakah seseorang, tidak hanya penyandang disabilitas atau intelektual, tidak mampu bertanggungjawab atas perbuatannya harus melalui penilaian personal secara orang per orang dan kasus per kasus, tidak dapat disamaratakan. Penyamarataan berdasarkan identitas disabilitas inilah yang berpotensi menebalkan stigma, dan hilangnya hak penyandang disabilitas. Kalaupun ada seseorang yang setelah melalui penilaian psikologi secara personal dan dinyatakan tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya, maka sudah seharusnya lepas dari tuntutan, bukan pengurangan pidana seperti tertera dalam Pasal 38.
Selain itu ada juga Pasal 103 ayat (2) huruf a yang menyebutkan bahwa “Tindakan yang dapat dikenakan kepada Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 berupa: a. rehabilitasi.” Dalam perkembangan saat ini, berdasarkan Pasal 21 UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, layanan yang dikenal bukan hanya rehabilitasi, tetap juga ada habilitasi. Kedua layanan itu tujuannya hampir sama, tetapi sasaran yang berbeda. Rehabilitasi ditujukan kepada seseorang yang sebelumnya merupakan non penyandang disabilitas, sehingga rehabilitasi dilakukan untuk mengembalikan kemampuan dalam kondisi yang berbeda; sedangkan habilitasi ditujukan kepada seseorang yang sedari awal atau lahir adalah penyandang disabilitas, sehingga perlu dilatih untuk dapat hidup secara mandiri.
Pasal lain yang perlu direvisi dalam RKHUP adalah pada Pasal 106 ayat (1) huruf b, yang menyebutkan bahwa, “Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada terdakwa yang: b. menderita disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual.” Penggunaan kata “menderita” menunjukan penyandang disabilitas adalah korban atau seseorang yang patut dikasihani. Padahal cara pandang itu sudah harus ditinggalkan, dan beralih ke cara pandang HAM yang melihat disabilitas sebagai bagian dari keragaman manusia dan muncul karena dampak dari tidak aksesibelnya lingkungan dan interaksi di tengah masyarat. Penggunaan kata “menderita” adalah bukti nyata bahwa kelompok organisasi penyandang disabilitas tidak pernah dilibatkan, sehingga RKUHP tidak sensitif terhadap kebutuhan dan kepentingan penyandang disabilitas.
Terakhir, ketentuan yang perlu dikoreksi dalam RKUHP ada pada Pasal 242 dan 243. Pasal 242 menyebutkan bahwa, “Setiap Orang yang di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV”; sedangkan Pasal 243 mengatur bahwa, “Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi, yang berisi pernyataan perasaan permusuhan dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, terhadap satu atau beberapa golongan atau kelompok penduduk Indonesia berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik yang berakibat timbulnya Kekerasan terhadap orang atau barang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.” Pada kedua Pasal itu hanya menyebutkan disabilitas mental dan fisik. Padahal rumusan Pasal 242 dan 243 seharusnya melindungi seluruh penyandang disabilitas dari semua ragam. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU Penyandang Disabilitas disebutkan bahwa ada 4 ragam disabilitas, yaitu disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, dan disabilitas sensorik. Walaupun dalam norma di ketentuan Pasal 242 dan 243 seharusnya cukup disebutkan “disabilitas” yang mencakup seluruh ragam, tanpa perlu menyebutkan ragamnya satu per satu.
Berdasarkan hal tersebut, Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Pemantau RKUHP mendesak Presiden dan DPR untuk :
1. segera membuka ruang pelibatan bagi penyandang disabilitas untuk menyampaikan masukannya terhadap Draft RKUHP, sebelum RKUHP resmi dimasukan dalam Prolegnas kembali,
2. Mengakomodasi masukan-masukan tersebut kedalam perubahan RKUHP, sehingga tidak hanya sekadar didengar dan ditampung; dan
3. Menyebarluaskan dalam laman resmi Pemerintah dan DPR dokumen Draft RKUHP yang aksesibel bagi penyandang disabilitas dengan hambatan penglihatan, dan menghadirkan juru bahasa isyarat dalam semua forum yang membahas perihal RKUHP.
Jumat, 18 Juni 2021
Koalisi Organisasi Penyandang Disabilitas Pemantau RKUHP:
1. PPUA Disabilitas
2. HWDI
3. Pertuni
4. Gerkatin
5. PPDFI
6. PJS
7. Yapesdi
8. Remisi
9. Ohana
10. Ciqal
11. PUSPADI Bali
12. IDP
13. PPDI Padang
14. PSHK
15. SIGAB Indonesia
16. PPD Klaten
17. HWDI Sulsel
18. Sapda
19. PPDI Kalimantan Tengah
20. Pelopor Peduli Disabilitas Situbondo (PPDiS)
21. WKCP (wahana keluarga Cerebral Palsy)
22. Aliansi Nasional Reformasi KUHP