PERS RILIS
Dalam rangka memperingati Hari Bhayangkara ke 75 tahun – PBHI kembali mengingatkan dan mendesak Kepolisian Republik Indonesia untuk berbenah dan fokus pada upaya reformasi institusi yang mengedepankan prinsip penegakkan Hak Asasi Manusia. Desakan ini berkaca pada sejumlah catatan PBHI yang menunjukkan bahwa Polri masih belum benar-benar serius dan memahami konsep Hak Asasi Manusia dalam konteks penegakkan hukum. Represifitas, penangkapan sewenang-wenang, penghalangan akses bantuan hukum, menjadi catatan merah Polri setiap tahunnya yang tidak menemui perkembangan signifikan.
Berdasarkan catatan penanganan kasus yang diterima oleh PBHI dalam kurun 1 (satu) tahun terakhir, PBHI mencatat beberapa kasus yang perlu diperhatikan oleh Kepolisian RI yakni terkait kasus penyiksaan, kekerasan saat aksi, penangkapan sewenang-wenang, undue delay, kriminalisasi masyarakat umum maupun Pembela HAM, penghalangan akses bantuan hukum, keterlibatan dalam kasus-kasus penggusuran, penolakan laporan, dan masih banyak catatan merah lainnya.
Refleksi dalam aksi Menolak UU Cipta Kerja yang lalu, Kepolisian tercatat melakukan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang (arbitrary arrest and detention) sekurangnya kepada 2.643 orang yang tersebar di 10 Wilayah di Indonesia, dengan rincian Jawa Barat (221 orang), Sulawesi Selaran (250 orang), Lampung (242 orang), Kalimantan Barat (32 orang), Jawa Tengah (260 orang), Jakarta (1000 orang), Sumatera Barat (251 orang), Jogja (146 orang), Sumatera Utara (241 orang). Korban dari massa aksi juga terdapat anak yang belum dewasa, misalnya di Sumatera Barat, sekitar 83 pelajar. Kepolisian bahkan menghalang-halangi akses bantuan hukum bagi para korban yang ditahan oleh pihak Kepolisian. PBHI Jawa Barat bahkan merekam bagaimana pemberi bantuan hukum sampai harus membangun pos sementara yang didirikan di depan Polsek setempat agar dapat menyediakan akses bantuan hukum bagi para peserta aksi yang ditangkap secara sewenang-wenang oleh Aparat Kepolisian.
Di Semarang, 4 (empat) orang mahasiswa IAH, MAM, IRF, dan NAA bahkan dikriminalisasi dan divonis dengan Pasal 216 KUHP karena dianggap mengabaikan perintah aparat kepolisian. Fakta bahwa mereka mendapat penyiksaan selama masa penyidikan juga dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara. Tapi mereka tetap divonis bersalah. Padahal sebagaimana prinsip.
Sedangkan di Sulawesi, dalam aksi yang sama seorang dosen UMI berinisial AM yang bahkan tidak ikut dalam aksi mengalami penyiksaan oleh sebanyak 15 (lima belas) orang anggota Kepolisian yang menyebabkan lebam di sekujur tubuh dan kepala. Korban didampingi oleh PBHI Sulawesi Selatan yang telah melaporkan tindak pidana dan etik aparat kepolisian tersebut bahkan masih belum menemukan titik terang dan mengalami undue delay atas pelaporan tersebut.
Berkaca pada deretan kasus tersebut, PBHI mencatat pola represifitas aparat yang semakin meningkat dan seolah dimaklumi sebagai bagian dari pola penanganan aksi. Padahal sejumlah regulasi mulai dari konstitusi UUD 1945 hingga aturan teknis yang dimiliki Polri yakni Perkap No. 1 tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian, Perkap No. 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian RI.
Sehingga melalui momentum peringatan hari Bhayangkara ke-75 ini, PBHI mendesak :
1. Kepolisian Republik Indonesia untuk menghentikan segala bentuk tindakan represif yang kerap dilakukan dalam penanganan aksi dan dalam menjalankan tugas kewajibannya dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip dasar HAM.
2. Kepolisian Republik Indonesia untuk membuka bantuan hukum seluas-luasnya bagi para pencari keadilan yang berhadapan dengan hukum sebagai bagian dari hak tersangka, terdakwa maupun korban.
3. Kepolisian Republik Indonesia untuk berbenah dan bertransformasi menjadi institusi penegakkan hukum yang humanis, professional, transparan dan akuntabel.
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia
Jakarta, 1 Juli 2021