Jakarta, 23 Agustus 2021 – PBHI mengutuk tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh 2 Anggota TNI a/n Serma MSB dan Serka AODK terhadap anak berusia 13 tahun (PS/Korban).
MSB dan AODK menuduh PS mencuri HP, kemudian MSB dan AODK diduga kuat menyndut tangan PS/Korban dengan rokok yang masih menyala, lalu memukul PS/Korban dengan benda tumpul seperti bambu, sapu, dan kepalan tangan hingga menyebabkan PS/Korban mengalami luka seperti bibir pecah, wajah memar, punggung lecet, dan trauma psikologis yang mendalam.
PBHI menilai bahwa tindakan demikian merupakan tindak penyiksaan karena dilakukan oleh aparat negara yang justru tidak berwenang, untuk mendapatkan pengakuan dari PS/Korban atas dugaan mencuri HP.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia telah diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) melalui UU No. 5 tahun 1998. Namun, masih ada kendala yang fundamental, yakni tidak adanya kebijakan yang mengatur secara spesifik tentang Penyiksaan, selain itu Pemerintah Indonesia juga belum meratifikasi protocol opsional konvensi antipenyiksaan (OPCAT).
“Pengusutan kasus-kasus Penyiksaan mengalami jalan buntu, makanya terjadi repetisi tindakan bahkan sampai impunitas. Ini disebabkan oleh ketiadaan kebijakan selevel Undang-undang tentang penyiksaan, dan belum diratifikasinya protokol opsional konvensi penyiksaan. Akibatnya, pelaku dan instansinya sering berdalih “penyelesaian secara damai” dan tidak diusut secara transparan melalui peradilan umum pidana,” jelas Totok (Ketua PBHI).
“Kasus penyiksaan yang dilakukan oleh Anggota TNI menghadapi hambatan yang berlipat, selain tidak adanya kebijakan (undang-undang) anti penyiksaan dan OPCAT, peradilan militer juga belum mengalami reformasi. Jadi bertambah PR-nya khusus untuk militer, harus ada reformasi peradilan militer yang masih berbasi UU No. 37 Tahun 1997 yang sudah usang.” terang Julius.
Oleh karena itu berdasarkan uraian di atas, PBHI mendesak:
- Panglima TNI untuk mengevaluasi Komandan Koramil 1627/03 Batatua dan Komandan Kodim 1627 Rote Ndao, dan memastikan mempidanakan serta menonaktifkan pelaku;
- Kapolri dan Kapolda NTT untuk memastikan proses pemeriksaan secara pidana di peradilan umum yang transparan dan akuntabel;
- LPSK dan KPAI serta Kementerian PPA untuk memberikan perlindungan dan pemulihan fisik serta psikologis Korban dan menjamin keselamatannya selama proses pemeriksaan terhadap Pelaku;
- Presiden Joko Widodo dan DPR RI untuk membentuk kebijakan selevel undang-undang tentang anti-penyiksaan dan meratifikasi OPCAT, serta melakukan revisi UU Peradilan Militer No. 31 Tahun 1997 sebagai bagian dari reformasi militer.
Demikian siaran pers ini kami sampaikan dan sebarkan sebagai upaya advokasi terhadap praktik-praktik penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Badan Pengurus Nasional
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
Totok Yuliyanto (Ketua)
Julius Ibrani (Sekjen)