Pemerintah dan DPR telah melakukan pembahasan tahap awal Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme sebagai bentuk konsultasi pemerintah kepada DPR. Konsultasi tersebut memang dimandatkan oleh UU No. 5 tahun 2018 tentang perubahan terhadap UU No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Koalisi menilai, dalam kehidupan negara demokrasi, DPR sebagai wakil rakyat sudah seharusnya mendengarkan suara dan aspirasi masyarakat serta menjadikannya sebagai dasar pertimbangan dalam memberikan masukan kepada pemerintah terkait rancangan perpres pelibatan TNI dalam mengatasi aksi terorisme. Pada sisi lain, pemerintah juga perlu untuk bersikap terbuka dan mengakomodir masukan-masukan dari masyarakat sipil.
Koalisi mendesak kepada pemerintah dan DPR untuk melakukan pembahasan rancangan perpres secara terbuka dan partisipatif. Keterbukaan dan partisipasi masyarakat menjadi penting, karena akan menentukan arah dan substansi politik hukum pengaturan pelibatan militer dalam mengatasi aksi terorisme di negara demokrasi. Sebagaimana diketahui rancangan Perpres yang dibahas oleh pemerintah bersama DPR banyak mengandung pasal-pasal bermasalah yang dapat mengancam kehidupan negara demokrasi, negara hukum, dan hak asasi manusia.
Dalam pandangan Koalisi, rancangan Perpres masih banyak mencantumkan pasal-pasal yang bertentangan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jika mengacu kepada UU TNI, misalnya, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang salah satunya mengatasi terorisme dapat dilakukan jika sudah ada keputusan politik negara (Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 UU TNI). Yang dimaksud dengan keputusan politik negara adalah keputusan presiden yang dikonsultasikan bersama dengan DPR (penjelasan Pasal 5 UU TNI). Sementara di dalam Rancangan Perpres ini, pengerahan TNI dalam mengatasi terorisme dapat dilakukan hanya melalui keputusan presiden tanpa ada pertimbangan DPR yang disyaratkan oleh UU TNI. Itu artinya, jika disahkan, maka secara hukum Perpres ini akan bertentangan dengan UU yang lebih tinggi yakni UU TNI dan menghilangkan mekanisme checks and balances antara Presiden dan DPR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU TNI.
Masalah lainnya adalah tentang penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Rancangan Perpres. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 66 UU TNI. Penggunaan anggaran di luar APBN oleh TNI tidak sejalan dengan ketentuan anggaran TNI yang bersifat terpusat (tidak didesentralisasikan) sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI. Pendanaan di luar APBN memiliki problem akuntabilitas, potensial terjadi penyimpangan dan menimbulkan beban anggaran baru di daerah yang sudah sarat dengan kebutuhan membangun wilayahnya masing-masing. Hal ini juga berpotensi menabrak pembagian kewenangan absolut pusat dan daerah yang telah ditegaskan di dalam Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Koalisi menilai ada beberapa substansi rancangan Perpres yang bermasalah, seperti pengaturan kewenangan TNI untuk menjalankan fungsi penangkalan yang sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya (Pasal 3). Di sisi lain, Peraturan Presiden ini tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait apa yang dimaksud dengan “operasi lainnya”. Pasal ini memperluas kewenangan TNI dari yang semestinya, sehingga TNI mempunyai keleluasaan untuk terlibat dalam penanganan terorisme, baik di dalam maupun di luar negeri, yang berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia. Sejatinya, istilah penangkalan tidak dikenal dalam UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan, yakni sebagai tugas Pemerintah yang kewenangannya diberikan dan dikoordinasikan oleh BNPT (Pasal 43), bukan kepada TNI. Kewenangan penangkalan kepada TNI sudah seharusnya dihapus dalam rancangan Perpres ini.
Rancangan Perpres juga akan menimbulkan masalah serius bagi kehidupan hukum dan HAM di Indonesia karena memberikan kewenangan yang luas dalam hal penindakan. Pemberian kewenangan luas dan mandiri dalam penindakan tindak pidana terorisme di dalam negeri dengan alasan menghadapi ancaman terorisme kepada presiden, objek vital dan lainnya (Pasal 9) akan merusak mekanisme criminal justice system dan berpotensi menimbulkan terjadinya pelanggaran HAM. Secara prinsip, tugas militer dalam mengatasi kejahatan terorisme seharusnya ditujukan khusus untuk menghadapi ancaman terorisme di luar negeri, seperti pembajakan kapal/ pesawat Indonesia di luar negeri atau operasi pembebasan warga negara Indonesia di luar negeri.
Koalisi berpandangan, penanganan tindak pidana terorisme di dalam negeri harus tetap diletakkan dalam koridor criminal justice system. Pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme di dalam negeri sifatnya hanya perbantuan kepada aparat penegak hukum, dilakukan jika kapasitas penegak hukum sudah tidak mampu lagi mengatasi eskalasi teror yang tinggi dan bersifat nyata (imminent threat), pelibatan itu merupakan pilihan yang terakhir (last resort) dan harus melalui keputusan politik negara.
Dengan demikian, bentuk operasi pelibatan TNI di dalam negeri tidak bisa dilakukan secara mandiri dan langsung sebagaimana dijelaskan dalam Rancangan Perpres, tetapi menjadi bagian dari kendali bawah operasi aparat penegak hukum. Hanya dalam kondisi darurat militer, operasi militer selain perang dalam mengatasi kejahatan terorisme dapat dilakukan secara langsung oleh militer dan tidak berada di bawah kendali operasi penegakan hukum.
Tugas penangkalan dan penindakan yang bersifat mandiri (bukan perbantuan) oleh TNI untuk mengatasi terorisme di dalam negeri akan menimbulkan tumpang tindih tugas antara penegak hukum dengan militer. Hal ini dapat menimbulkan overlapping tugas antara penegak hukum dan militer dan akan berbahaya bagi kebebasan masyarakat serta menjadi masalah baru buat Pemerintah dalam mengatasi masalah kejahatan terorisme yang terjadi. Hal ini juga terkait dengan permasalahan akuntabilitas kerja militer di wilayah sipil yang saat ini juga masih dilaksanakan di bawah kewenangan Pengadilan Militer.
TNI seharusnya tidak terlibat dalam fungsi-fungsi penangkalan dan pemulihan karena sejatinya TNI merupakan alat pertahanan negara. Fungsi-fungsi tersebut sebaiknya dilakukan oleh badan-badan lain yang memang memiliki kompetensi, seperti fungsi deteksi dini oleh Badan Intelijen Negara atau fungsi pemulihan yang di dalamnya termasuk melakukan kerja-kerja rehabilitasi dan rekonstruksi oleh Kementrian Agama, Kementrian Pendidikan, BNPT dan lembaga-lembaga lainnya.
Koalisi berpandangan rancangan Perpres seharusnya mencegah keterlibatan militer di dalam wilayah keamanan dalam negeri yang berlebihan yang sarat dengan karakter pemerintahan di masa Orde Baru. Hal ini akan menjadi kemunduran dalam proses dan capaian reformasi yang telah menempatkan militer sebagai alat pertahanan negara bukan sebagai aparat penegak hukum. Dalam konteks itu, pemerintah dan DPR seyogyanya tidak mengkhianati proses dan capaian reformasi yang sudah berlangsung sejak 1998 dengan cara mencegah militer kembali terlibat terlalu jauh dan berlebihan dalam wilayah penegakan hukum, keamanan dalam negeri dan wilayah sipil lainnya.
Atas dasar hal tersebut di atas, Koalisi Masyarakat Sipil mendesak DPR untuk mengembalikan Draft Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme kepada Pemerintah, serta mendesak Pemerintah dan DPR untuk membahas rancangan Perpres tersebut secara terbuka dan partisipatif dengan mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil. Koalisi menegaskan beberapa hal sebagai berikut:
- Pelibatan militer dalam seluruh tugas operasi militer selain perang dalam mengatasi terorisme harus melalui keputusan politik negara sesuai UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI.
- Pelibatan militer dalam mengatasi terorisme tidak perlu memiliki kewenangan penangkalan dan pemulihan sebagaimana di maksud dalam rancangan Perpres.
- Pelibatan militer dalam mengatasi ancaman terorisme harus bersifat nyata (imminent threat) dan dalam eskalasi ancaman yang tinggi di mana kapasitas aparat penegak hukum sudah tidak bisa lagi mengatasi ancaman terorisme yang terjadi.
- Pelibatan militer dalam mengatasi ancaman terorisme merupakan pilihan yang terakhir (last resort).
- Pelibatan militer dalam mengatasi terorisme harus tunduk dalam sistem peradilan umum jika terjadi kesalahan operasi, bukan mekanisme peradilan militer.
- Pengaturan pelibatan militer dalam mengatasi terorisme tidak boleh bertentangan dengan undang-undang lain.
- Pelibatan militer dalam mengatasi terorisme di dalam negeri dilakukan dalam kerangka tugas perbantuan militer kepada pemerintah (kepolisian).
- Pelibatan militer dalam mengatasi terorisme sifatnya sementara dalam waktu tertentu, harus proporsional, dan dilakukan dengan kebutuhan yang nyata.
Jakarta, 2 Oktober 2020
Koalisi Masyarakat Sipil
KontraS, Imparsial, Elsam, PBHI, YLBHI, HRWG, Amnesty International Indonesia, ICW, Setara Institute, LBH Jakarta, LBH Pers, LBH Masyarakat, Perludem, WALHI, ICJR, INFID, Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Universitas Andalas, Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Universitas Negeri Medan, Pusat Pengembangan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (PPHD) Universitas Brawijaya, Pusat Studi Hukum dan HAM (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, IDeKa Indonesia, LBH Surabaya Pos Malang, Public Virtue Research Institute, Aliansi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan (SIKAP) Medan, PILNET Indonesia.