LBH Masyarakat (LBHM) – PBHI Nasional
24 Juni 2022
26 Juni merupakan salah satu momentum penting dalam memperingati anti penyiksaan bagi komunitas internasional. Peringatan ini berangkat dari pembentukan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention Against Torture/CAT) yang telah diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dalam Resolusinya No. 39/46 tanggal 10 Desember 1984 dan mulai diberlakukan tanggal 26 Juni 1987. Berlakunya Konvensi CAT menjadi instrumen induk bagi setiap negara anggota untuk mencegah praktik penyiksaan dan menciptakan iklim penegakan hukum yang bersandarkan pada penghormatan martabat manusia.
Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang telah meratifikasi Konvensi CAT melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Salah satu instrumen hukum yang lahir untuk mendukung perjuangan melawan praktik penyiksaan adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Namun, regulasi dan peraturan hitam di atas putih masih belum cukup untuk menciptakan ruang aman tanpa penyiksaan di Indonesia. Khusus dalam sistem peradilan pidana, praktek penyiksaan tidak berdiri sendiri, melainkan berangkat dari persoalan yang berlapis dan struktural.
Sepanjang tahun 2021-2022, LBHM telah aktif melakukan penyuluhan hukum di 3 (tiga) rumah tahanan di wilayah DKI Jakarta. Penyuluhan hukum ini pada dasarnya sebagai bentuk kesadaran atas proses sidang perkara pidana yang dilakukan secara online sepanjang situasi Pandemi Covid-19. Hal ini berdampak pada minimnya informasi tentang proses sidang yang ditempuh para tahanan, mengingat harus menjalani persidangan dengan tetap berada di tempat penahanan. Sepanjang proses penyuluhan hukum, LBHM masih menemukan banyak praktik pelanggaran fair trial yang dialami oleh peserta penyuluhan hukum. Pelanggaran hak tersebut lahir sejak akses bantuan hukum yang minim, pemerasan, sampai dengan penyiksaan yang dialami oleh para peserta penyuluhan hukum
Dari total 350 responden, mayoritas jenis kasus yang menjadi peserta penyuluhan hukum adalah tindak pidana narkotika, dengan total 198 perkara. Sedangkan jenis kasus yang bersandar pada delik dalam KUHP sebanyak 150 perkara. Dari seluruh responden yang memberikan keterangannya melalui kuesioner, setidaknya terdapat 69% yang mengaku tidak mendapatkan intervensi bantuan hukum. Minimnya akses bantuan hukum tersebut, berdampak pada rangkaian pelanggaran hak berupa pemerasan dan penyiksaan. Sebanyak 5% responden mengalami pemerasan di tingkat kepolisian, dan pada variabel yang sama, sebanyak 15% yang menyatakan tidak mau menjawab terkait hal ini. Sedangkan pada konteks penyiksaan, 12% mengaku mengalami penyiksaan dan 13% mengaku enggan untuk menjawab terkait hal ini.
Persentase tersebut bukanlah angka yang kecil dan dapat disepelekan. Hak atas proses peradilan yang adil dan jujur merupakan prinsip yang tidak dapat dikompromi. Terlebih, Pandemi Covid-19 juga berdampak pada berjalannya sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia. Upaya menekan angka penyebaran virus Covid-19 kerap dijadikan dalih untuk menutup akses kunjungan dari keluarga maupun intervensi bantuan hukum bagi tersangka maupun terdakwa. Praktik ini sama halnya dengan incommunicado detention, atau penahanan tanpa akses terhadap dunia luar, yang semakin membuka peluang pemerasan dan penyiksaan dalam ruang tahanan.
Sementara itu hasil monitoring PBHI Nasional yang dilakukan dengan metode random sampling dan pendalaman dari 19 kasus penyiksaan yang terjadi sepanjang Januari 2021-Mei 2022 menghasilkan beberapa temuan yang dapat mengidentifikasi aktor, tempat, tujuan, pola dan proses penegakan hukum yang terjadi.
Dari kasus-kasus tersebut polisi masih menjadi aktor utama sebagai pelaku penyiksaan dengan persentase sebesar 80%, disusul oleh anggota TNI (15%) dan petugas sipir (5%). Penyiksaan itu sendiri masih didominasi dengan tujuan mendapatkan pengakuan para tersangka dan semangat penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi dari para aparat. Sementara itu, lokasi penyiksaan juga ditemukan paling banyak terjadi di Polsek maupun Polres baik dalam proses penyelidikan maupun penahanan yang terjadi di ruang-ruang tahanan Polsek maupun Polres (68%), disusul di ruang terbuka (21%) dan tempat tertutup yang tidak resmi (11%). PBHI juga menemukan bahwa dari seluruh kasus tersebut tidak ada satu pun korban yang didampingi oleh pendamping hukum baik advokat maupun paralegal dalam prosesnya, sehingga membuka ruang terhadap penyiksaan untuk mendapatkan pengakuan.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa kasus-kasus penyiksaan berkaitan erat dengan rekayasa kasus oleh kepolisian, kondisi ruang-ruang pemeriksaan dan interogasi yang tertutup dan tidak dilengkapi dengan alat pengawasan dan pengawas eksternal ditambah ketiadaan kewajiban memberikan pendampingan hukum bagi saksi/tersangka. Lebih luas lagi, faktor tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari kewenangan penangkapan yang absolut polisi dan problem mekanisme pengujian terhadap penangkapan.
Ironisnya meskipun penyiksaan tersebut telah terbukti namun 85% terduga pelaku hanya diproses melalui penegakan etik di internal instansi yang tidak transparan tanpa diikuti oleh proses penegakan hukum. Hal ini juga diperburuk dengan adanya penundaan berlarut (undue delay) dalam proses penegakan hukum dan etik kepada terduga pelaku sehingga menimbulkan pengulangan di instansi penegak hukum hingga menimbulkan praktik impunitas.
Melalui peringatan hari anti penyiksaan di dunia, kami mendorong adanya penghormatan terhadap hak-hak dasar bagi setiap orang yang berhadapan dengan proses hukum. Praktek penyiksaan yang masih kerap terjadi tidak boleh mendapatkan ruang dalam sistem peradilan pidana terpadu Indonesia. Oleh karena itu LBHM dan PBHI Nasional memberikan rekomendasi sebagai berikut:
- Pemerintah dan seluruh elemen aparat penegak hukum untuk mengevaluasi serta membenahi sistem persidangan perkara pidana yang dilakukan secara daring atau online;
- Pemerintah dan DPR untuk segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture dan mendorong pembentukan National Preventive Mechanism (NPM) untuk mencegah praktik penyiksaan dan penghukuman yang kejam di tempat-tempat penahanan;
- Pemerintah Indonesia segera membentuk instrumen hukum yang secara khusus mengatur mengenai delik penyiksaan;
- Kepolisian RI, Kejaksaan RI, Mahkamah Agung RI, dan Menteri Hukum dan HAM RI melahirkan kebijakan yang integratif terkait penanganan perkara narkotika dengan mengedepankan keadilan restoratif dan memperhatikan kondisi kelebihan kapasitas pada rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan;
- Lembaga pengawas eksternal yang terdiri dari Komnas HAM, Kompolnas, Komnas Perempuan, LPSK, KPAI dan Ombudsman RI untuk secara aktif melakukan pengawasan terhadap beroperasinya sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia;
- Mendorong Kepolisian RI untuk melakukan pendekatan scientific criminal investigation dalam proses penyidikan;
- Memberikan edukasi yang massif terkait pemahaman serta implementasi hak asasi manusia bagi seluruh aparat penegak hukum, khususnya institusi Kepolisian Republik Indonesia.