Jakarta, 28 Juni 2022 – Isu pengendalian tembakau di Indonesia masih menemui jalan terjal. Persoalan seperti masih belum tercapainya target pemerintah yang menargetkan ukuran gambar sebesar 75% dalam peringatan kesehatan bergambar sesuai dengan Peta Jalan Pengendalian Tembakau dalam Permenkes 40/2013, kekosongan instrumen hukum dalam rokok elektrik, hingga masih terbuka lebarnya akses penjualan rokok kepada anak dan kaum marjinal, menjadi sorotan penting PBHI.
Gina Sabrina sebagai peneliti sekaligus mewakili PBHI dalam Diskusi Hukum dan HAM (DUHAM) #22 bertajuk Peluncuran Policy Paper: “Kebijakan Pengendalian Tembakau: Minus Standar HAM”, memaparkan temuannya tentang isu pengendalian tembakau di Indonesia.
Pertama, pada peringatan kesehatan bergambar, pengaturan peringatan kesehatan bergambar di Indonesia, sebagian besar telah memenuhi ketentuan FCTC dalam hal persetujuan lembaga pemerintah, posisi gambar, ketentuan gambar dan model gambar. Namun sayangnya, pengaturan mengenai ukuran gambar masih belum memenuhi kriteria FCTC secara keseluruhan yakni 50% dari ruang peraga utama, dan juga target dari pemerintah Indonesia sendiri yang menargetkan peningkatan luas peringatan bergambar menjadi 75%.
Kedua, terkait rokok elektrik, ditemukan bahwa hingga saat ini pemerintah Indonesia belum secara tegas mengkategorisasi rokok elektrik. Hal ini berdampak pada belum adanya regulasi yang mengatur peredaran dan penggunaan rokok elektrik di Indonesia. Sehingga, rokok elektrik masih dapat dijual secara bebas, tanpa label peringatan, batasan kandungan, dipasarkan dengan berbagai cara, dan tidak tunduk pada Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Satu-satunya pengaturan rokok elektrik di tingkat pusat hanya berkaitan dengan cukai. Adapun peraturan lainnya di tingkat daerah yang dapat ditemukan adalah Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kabupaten Badung dan Kota Depok yang mengkategorikan rokok elektrik sebagai bagian dari rokok dan dilarang penggunaannya di ruang publik. Adapun peraturan yang berkaitan dengan penjualan, penggunaan, periklanan, promosi dan sponsorship sama sekali belum diatur di Indonesia. Singkatnya, pemerintah Indonesia bertindak “setengah hati” karena hanya mengatur terkait cukai rokok elektrik tapi tidak dengan pengendaliannya.
Ketiga, pada akses penjualan rokok terhadap anak dan kaum marjinal. Dalam paparannya PBHI menemukan bahwa pengaturan akses penjualan rokok terhadap anak dan kaum marjinal memiliki ketentuan hukum yang lemah dengan celah yang begitu besar sehingga turut membuka ruang baik bagi industri untuk menjual rokok dan juga membuka akses beli yang mudah terhadap anak. Catatan terkait hal tersebut antara lain: kekosongan hukum terkait penjualan rokok secara batangan, sanksi administratif yang bersifat lemah dan masih diperbolehkannya penempatan produk rokok di ruang publik.
Dari ketiga tinjauan tersebut ditemukan bahwa muatan regulasi dan kebijakan pengendalian tembakau yang berlaku saat ini belum memenuhi standar HAM. Hal ini ditunjukkan dari berbagai kealpaan pengaturan pengendalian tembakau khususnya di isu rokok elektrik dan akses penjualan terhadap anak dan kelompok marjinal. Padahal negara memiliki kewajiban untuk tidak mendorong orang untuk menggunakan tembakau. Berbagai celah dan kealpaan hukum tersebut menunjukkan perlindungan dan pemenuhan hak atas kesehatan dan lingkungan warga negara yang masih rendah. Untuk itu PBHI merekomendasikan perubahan regulasi dan kebijakan, khususnya PP 109/2012 agar dapat mengatur hal-hal yang masih belum memenuhi standar HAM.
Selain sesi pemaparan temuan-temuan, adapun beberapa narasumber yang mengisi kegiatan ini juga mendukung perbaikan terkait instrumen hukum yang masih memiliki celah sehingga dampaknya sangat besar bagi masyarakat Indonesia. “Dampak tembakau bagi HAM dapat menggerus anggaran negara untuk pembiayaan kesehatan (BPJS), membahayakan kehidupan anak-anak dan perempuan, terutama ibu hamil, masa depan generasi penerus, melanggar hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta menggerus ekonomi nasional (ekspor-impor),” ucap Mimin Dwi Hartono, Kabiro Dukungan Pemajuan HAM, Komnas HAM.
Dalam hal akses penjualan kepada anak-anak dan kaum marjinal, Direktur Instrumen HAM Direktorat Jenderal HAM Kemenkumham RI, Betni Humiras Purba, juga mengatakan bahwa kenaikan harga rokok perlu didorong secara terus-menerus agar rokok bagi anak-anak dan kaum marjinal, tidak lagi bisa dijangkau. Hal ini demi memutus kesulitan mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari yang lebih penting, ketimbang mengonsumsi rokok. “Kita perlu mendorong kenaikan cukai rokok sehingga harga rokok tidak dapat terjangkau [lagi] oleh anak-anak dan masyarakat miskin,” terangnya.
Senada dengan persoalan di atas, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Jasra Putra, juga mengajak kita semua untuk bersama-sama memerangi racun (iklan rokok) yang bertebaran di internet bak ladang subur, yang terus mencekoki anak-anak kita akan bujuk rayu industri tembakau. “Internet pada hari ini menjadi ladang subur untuk mengiklankan rokok, khususnya kepada anak-anak. Industri tembakau terus mencekoki racun kepada anak-anak kita, alih-alih memprioritaskan dampak tersebut. Regulasi pengendalian tembakau perlu kita perkuat,” kata Putra.
Sebagai penutup dari diskusi, Ketua Tim Kerja Penyakit Kronis dan Gangguan Imunologi, Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, Benget Saragih Turnip, memberikan rekomendasi yang perlu kita lakukan secara bersama-sama. “Diperlukan komitmen nasional, advokasi kebijakan publik, pengembangan sistem gerakan, dan pendekatan holistik untuk mengendalikan peredaran tembakau.Kemenkes akan melakukan roadshow ke 6 (enam) Kementerian untuk mendorong adanya harmonisasi dalam agenda revisi PP 109/2012 pada Juli ini. ” katanya menutup sesi pemaparan materi narasumber.