SIARAN PERS
Koalisi Masyarakat Sipil Gelar Aksi Desak Jaksa Agung Hentikan Kriminalisasi Septia
Jakarta, 5 September 2024 – Pada Kamis, 5 September 2024, di depan Kejaksaan Agung, Jakarta, berbagai kelompok masyarakat sipil menggelar aksi solidaritas untuk menuntut penghentian proses kriminalisasi terhadap Septia, mantan pekerja di PT. Hive Five milik pesohor Jhon LBF. Septia dilaporkan ke kepolisian karena menyuarakan pelanggaran
hak-hak pekerja yang dialaminya melalui media sosial. Aksi ini menuntut Jaksa Agung untuk segera menghentikan kasus ini dan membiarkan kasus ini diselesaikan secara administratif lewat mekanisme Perselisihan Hubungan Industrial (PHI).
Aksi solidaritas yang digelar oleh Koalisi Advokasi Septia Gugat Negara Abai (ASTAGA) ini menuntut Jaksa Agung untuk segera menghentikan kasus Septia dan mengembalikannya ke ranah ketenagakerjaan. Kriminalisasi terhadap Septia dinilai sebagai preseden buruk bagi kebebasan berekspresi dan perlindungan hak-hak pekerja di Indonesia.
“Kami mengecam kriminalisasi terhadap Septia, pekerja yang sedang memperjuangkan hak-haknya. Penggunaan UU ITE untuk membungkam suara mereka yang melawan ketidakadilan adalah bentuk represi yang tidak dapat diterima. Kami menuntut agar Jaksa Agung menghentikan proses pemidanaan terhadap Septia. Kebebasan berekspresi adalah
hak dasar setiap warga negara, termasuk para pekerja yang memperjuangkan keadilan” ujar Hafizh Nabiyyin, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet).
Sementara itu, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menyoroti penggunaan pasal-pasal karet UU ITE yang sudah usang. “Septia dikriminalisasi menggunakan pasal-pasal dalam UU ITE yang usang, yang sudah diganti, yang sudah direvisi. Seharusnya masalah ini diselesaikan lewat mekanisme PHI. Ada proses di Disnaker yang sudah menegaskan hak-hak ketenagakerjaan Septia betul dilanggar” tegas Julius.
“Septia, adalah sekian orang dari ribuan korban kriminalisasi berbasis UU ITE yang sejatinya sedang menuntut hak asasi manusia berupa hak ketenagakerjaan melalui forum kebebasan berpendapat dan berekspresi di ruang publik yang difasilitasi oleh media sosial, sebagaimana dijamin oleh Pasal 23, Pasal 25, Pasal 27 dan Pasal 28 UUD Negara RI Tahun 1945” tambahnya.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengikuti aksi ini, termasuk SAFEnet, PBHI, Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Kalyanamitra, Trade Union Rights Center (TURC), Serikat SINDIKASI, Koalisi Perempuan Indonesia, dan Resister Indonesia.
Koalisi melakukan orasi-orasi, sembari membacakan Surat Terbuka kepada Jaksa Agung yang sudah ditandatangani oleh 53 organisasi dan 116 individu. Selain itu, petisi yang digalang koalisi untuk membebaskan Septia juga sudah berhasil mengumpulkan 353 tanda tangan.
Kronologi Kasus Septia
Septia mengalami berbagai bentuk pelanggaran hak pekerja selama bekerja di PT. Hive Five, termasuk upah yang berada di bawah UMR, upah lembur yang tidak dibayar, jam kerja yang melebihi 8 jam, pemotongan gaji sepihak, serta tidak adanya slip gaji. Selain itu, kontrak PKWT-nya tidak ditandatangani oleh perusahaan, dan ia tidak mendapatkan perlindungan BPJS Ketenagakerjaan maupun Kesehatan.
Merasa tidak diperlakukan adil, Septia bersama beberapa rekannya memutuskan untuk menyuarakan pelanggaran ini melalui media sosial Twitter (sekarang X). Pada Januari 2023, Jhon LBF, pemilik PT. Hive Five, melaporkan Septia ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan pencemaran nama baik berdasarkan U ITE pada Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) dan/atau Pasal 36 jo. Ia juga dijerat dengan Pasal 51 ayat (2), dan/atau Pasal 310 KUHP dan/atau Pasal 311 KUHP.
Septia dan tim advokasinya telah mencoba berbagai jalur hukum, termasuk proses Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) dan pengawasan Suku Dinas Tenaga Kerja (Sudinaker) Jakarta Selatan. Meski ada anjuran Sudinaker yang mengakui kekurangan pembayaran upah dan ketiadaan BPJS, Sudinaker tidak memberikan nota pemeriksaan kepada Septia dengan alasan privasi, dan tidak ada tindak lanjut yang memadai terhadap pelanggaran lainnya seperti upah di bawah UMP dan jam kerja yang berlebihan.
Septia akhirnya resmi ditetapkan sebagai tersangka pada Januari 2024. Ia kemudian ditahan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat sejak 26 Agustus 2024 lalu, dan akan segera disidangkan pada 10 Agustus 2024.
Narahubung:
Untuk informasi lebih lanjut terkait aksi solidaritas ini, media dapat menghubungi:
a. PBHI
b. SAFEnet
c. LBH Pers