SIARAN PERS
Aparat penegak hukum kembali terlibat dalam peredaran gelap narkotika. Kali ini, keterlibatan itu menyasar anggota Badan Narkotika Nasional (BNN). Seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 1-7 Februari 2021, ada beberapa anggota polisi yang bertugas di BNN menilap uang terduga pelaku kejahatan. Jumlahnya pun ditaksir mencapai puluhan miliar rupiah.
Pihak BNN menyebutkan telah memproses secara internal terhadap anggota yang diduga terlibat, namun hingga saat ini perkembangannya tidak kunjung menemui titik terang. Minimnya transparansi dalam memproses dugaan pelanggaran yang dilakukan seakan bertolak belakang dengan pengungkapan kasus narkotika yang dilakukan secara terbuka itu.
Narasi perang terhadap narkotika (war on drugs) merupakan upaya melegitimasi penanggulangan narkotika dengan cara-cara yang mengebiri hak asasi manusia dan membuka kran yang menyuburkan praktik korupsi. Bisa dibayangkan, sepanjang tahun 2014-2016 terdapat 18 orang dieksekusi mati. Sementara pada 2017 ada 215 insiden penembakan terhadap orang-orang yang terlibat narkotika dan menewaskan 99 orang.
Praktik lancung yang diduga dilakukan oleh oknum BNN tersebut memperlihatkan kebobrokan aparat penegak hukum dalam menangani sebuah perkara. Kilas balik yang lalu, kejahatan korupsi dalam penanganan perkara narkotika sebenarnya bukan barang baru. Indonesia Corruption Watch mencatat sepanjang tahun 2006-2016 setidaknya ada 20 aparat penegak hukum yang diduga menerima suap dari pelaku narkotika. Latar belakangnya pun beragam, mulai dari polisi, jaksa, hakim, sampai petugas lapas.
Menjelang perhelatan Asian Games 2018, KontraS menemukan beberapa pernyataan Kapolri di depan jajarannya maupun media, yang memerintah tindak tegas dan tembak mati (extrajudicial killing) terhadap jambret, begal, dan pengedar narkotika. Perintah ini menimbulkan 182 praktik extrajudicial killing dan menewaskan 236 orang. Sedangkan pelaku penembakan sama sekali tidak ada yang diseret ke pengadilan.
Di samping itu, agenda penanggulangan narkotika lain yang membutuhkan peran sektor kesehatan, seperti fasilitas rehabilitasi dan dukungan sosial mengalami stagnasi. Upaya rehabilitatif yang bersifat mandatoris (keharusan), serta prosedur dan persyaratan yang diputuskan secara diskresioner oleh penegak hukum, menjadi alasan redupnya agenda pemberantasan korupsi dalam penanganan kasus narkotika.
Terbitnya Surat Edaran Nomor: SE/01/II/2018/Bareskrim tentang Petunjuk Rehabilitasi bagi Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika juga tidak berdampak signifikan pada penyelesaian masalah narkotika. Alih-alih menghentikan praktik korupsi, justru menjadi kebijakan yang membuka peluang korupsi dalam penanganan kasus narkotika dan berpotensi menjadi pelanggaran hak atas kesehatan.
Pada dasarnya sudah jadi rahasia umum bahwa mandat rehabilitasi bagi para pengguna narkotika telah membuka peluang kerja sama gelap antara oknum penegak hukum dan lembaga rehabilitasi tertentu untuk dapat memeras para pengguna narkotika dan keluarganya. Akses terhadap fasilitas rehabilitasi seringkali hanya ditentukan berdasarkan kemampuan finansial dan sangat diskriminatif terhadap golongan ekonomi lemah. Pilihan yang tersisa hanya dua: ‘mengeluarkan’ biaya untuk mendapatkan rehabilitasi atau masuk penjara.
Praktik rekayasa kasus penanganan narkotika juga pernah dibongkar oleh Mahkamah Agung melalui Putusan MA No. 1531 K/Pid.Sus/2010, yang menyatakan “Terdakwa dalam kasus in casu hanyalah sebagai pelaksana perintah dari orang lain yaitu Rico RH Nababan yang notabene adalah seorang polisi dan Putusan No. 2517K/Pid.Sus/2012 yang menyatakan “Terdakwa diminta oleh Polisi untuk membeli sabu-sabu”. Kedua putusan tersebut secara langsung menjelaskan bagaimana penegakan hukum yang sangat bobrok dalam penanganan kasus narkotika.
Hingga Desember 2020, setidaknya tercatat 35.003 orang kehilangan hak rehabilitasi atau untuk mendapatkan pemulihan karena harus dipenjara sebagai pengguna narkotika. Kesalahan memposisikan pengguna sebagai pelaku kejahatan dan bukan sebagai korban justru berdampak pada masalah overcrowding lapas di seluruh Indonesia. Adapun di lapas sendiri, upaya pemulihan kesehatan bagi orang yang terlibat narkotika terkesan programatik dan tidak berbasis pada kebutuhan.
Bahkan tak jarang penanganannya juga sangat lambat. Baik dalam intervensi kesehatan pada orang yang terlibat narkotika dan mendapatkan hukuman, keikutsertaan terhadap program pemulihan kesehatan, akhirnya bermuara pada potensi pelanggaran kemerdekaan dan kebebasan sebagai prinsip dalam instrumen hak atas kesehatan. Sehingga dalam praktiknya, intervensi kesehatan yang diterapkan di Lapas tidak tepat sasaran.
Koalisi menilai, pembunuhan di luar hukum, rekayasa kasus, dan overcrowded lapas adalah praktik yang sangat buruk di balik megahnya jargon “war on drugs”. Carut marutnya penanggulangan narkotika selama ini dan terbukanya peluang praktik korupsi mesti dihentikan. Atas hal tersebut, Koalisi Pemantau Peradilan mendesak:
1. Presiden, Kapolri, Kepala BNN mengevaluasi kebijakan war on drugs secara menyeluruh dan komprehensif;
2.Kapolri memproses secara hukum serta memberhentikan semua anggota polisi yang terlibat dalam praktik pembunuhan di luar hukum dan rekayasa kasus dalam penanganan narkotika;
3. Menutup celah terjadinya praktik korupsi dengan membuka opsi penanganan kasus narkotika selain pemidanaan, yaitu pendekatan hak atas kesehatan;
4. Mengimplementasikan dekriminalisasi narkotika secara komprehensif dan berorientasi hak asasi manusia melalui upaya edukatif narkotika yang berbasis bukti.
Jakarta, 3 Februari 2021
Hormat Kami,
Koalisi Pemantau Peradilan
(LBH Masyarakat, LBH Jakarta, ICW, PBHI, KontraS)