Pers Rilis
PBHI sejak awal aktif mengawal penolakan penyusunan RUU Cipta Kerja mengingat bahwa secara substansi maupun regulasi, RUU Cipta Kerja kurang mempertimbangkan kebutuhan masyarakat luas dan memperhatikan perspektif perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia (HAM). Dalam beberapa kesempatan, PBHI juga telah melakukan beberapa kegiatan diskusi publik yang disiarkan secara daring melalui akun resmi Youtube PBHI Nasional terkait argumentasi penolakan regulasi ini. Selain menolak pengesahan RUU Cipta Kerja, dalam beberapa aksi yang dilakukan oleh masyarakat, PBHI juga turut mendampingi penanganan kasus dan dengan tegas mengecam segala bentuk kekerasan aparat yang terjadi pada aksi Penolakan Omnibus Law.
Walaupun RUU Cipta Kerja sudah disahkan oleh Pemerintah, PBHI mendorong pemerintah baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif untuk mereview kembali UU Cipta Kerja, hal ini dikarenakan :
Pertama, secara prosedural penyusunan, pembahasan dan pengesahan RUU Cipta Kerja tidak mempertimbangkan aspirasi masyarakat Indonesia, tidak melibatkan partisipasi masyarakat sipil dan terdampak, tanpa memperhatikan dasar hukum dan regulasi yang jelas.
Kedua, secara substansi UU Cipta Kerja berpotensi mengurangi hak-hak pekerja dan membuat posisi buruh semakin lemah dalam relasi ketenagakerjaan. Hal ini ditunjukkan dari revisi dan penambahan sejumlah pasal tentang pengupahan, ketentuan pemutusan hubungan kerja, ketentuan libur dan pekerja kontrak. UU Cipta Kerja juga memperluas syarat mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan dalih efisiensi, perusahaan melakukan penggabungan, peleburan atau pemisahan. Padahal sebagaimana diketahui, bahwa telah ada Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatur bahwa frasa efisiensi harus dimaknai dan hanya mengikat jika perusahaan tutup permanen dan tidak untuk sementara waktu. Eksisnya kembali pasal ini akan berdampak pada kemudahan PHK yang dilakukan oleh pengusaha kepada Pekerja. Selain itu secara general, UU Cipta Kerja ini juga akan mewujudkan sistem fleksibilitas tenaga kerja dengan prinsip easy hiring easy firing yang tentunya akan berdampak pada ketidakpastian pekerjaan kepada generasi pekerja selanjutnya.
Ketiga, UU Cipta berpotensi melanggengkan praktik oligarki dan korporasi. Terciptanya impunitas dari korporasi yang melakukan pelanggaran hukum terkait lingkungan. Dalam UU Cipta Kerja (investor) memiliki potensi untuk tidak dijerat secara hukum. Masyarakat adat akan menjadi subjek yang akan terdampak langsung, mengingat bahwa ekstrasi sumber daya alam sebagai aliran utama korporasi akan menggerus keberadaan ekosistem dan lingkungan baik laut, sungai, pantai, hutan yang saat ini keberadaannya semakin terancam dengan kehadiran UU Cipta Kerja.
Keempat, UU Cipta Kerja berpotensi pembatasan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dalam proses analisis dampak lingkungan (amdal) maupun konsultasi dalam proses tata ruang dan lainnya akan berdampak pada semakin terancamnya ruang hidup masyarakat. Hal ini tak sejalan dengan amanat UUD 1945 dimana negara seharusnya berperan untuk melindungi (protect) masyarakat, bukan secara eksklusif hanya memberikan kemudahan bagi kepentingan investasi korporasi semata.
Kelima, pemiskinan struktural. Poin-poin yang telah disebutkan di atas pada akhirnya hanya akan bermuara pada perampasan hak hidup masyarakat sebagai nilai tertinggi dari nilai-nilai penegakkan hak asasi manusia (HAM). Ketiadaan jaminan negara atas standar upah, jam kerja dan perlindungan kerja yang layak bagi masyarakat, eksploitasi tenaga kerja, eksploitasi sumber daya alam, penggusuran ruang hidup masyarakat dan masyarakat adat dan minoritas rentan seperti perempuan, anak dan difabel, represi dan kekerasan negara dalam seluruh proses tersebut, yang pada akhirnya berdampak pada pemiskinan negara terhadap masayrakat yang dilakukan secara struktural.
Demikian pernyataan sikap PBHI terkait UU Cipta Kerja ini disampaikan sebagai upaya untuk mendorong pelaksanaan kewajiban negara terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM.
Hormat Kami,
Badan Pengurus PBHI Nasional