Pengungkapan kasus kematian Brigadir J telah mendapatkan perhatian serius oleh masyarakat. Beberapa langkah telah dilakukan oleh Kepolisian, termasuk Kapolri yang membentuk Tim Khusus dari Bareskrim Mabes Polri untuk melakukan penyidikan, hingga melakukan evaluasi dan menon-aktifkan sejumlah Pejabat Polri.
Titik kunci penyidikan dalam kerangka Pro Justitia yang merujuk pada asas due process of law adalah jika pemeriksaan dilakukan secara transparan, akuntabel dan berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum. Salah satu prinsip utama adalah persamaan setiap orang di hadapan hukum, sebagaimana diatur Pasal 27 Ayat (1) UUD yang menyebutkan, ”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Prinsip ini memandatkan makna bahwa seluruh warga negara harus diperlakukan sama di muka hukum, sekalipun pejabat negara atau aparat.
Termasuk, larangan perlakukan secara diskriminatif dalam proses hukum. Setiap warga negara, dengan berbagai latar belakang seperti mahasiswa, aktivis LSM, Anggota TNI, Anggota Polri, Menteri, bahkan Presiden sekalipun, berkedudukan dan memiliki hak dan kewajiban yang sama di hadapan hukum.
Dalam kerangka criminal justice system, konstruksi persamaan di mata hukum merujuk pada asas due process of law, yang juga wajib untuk dipatuhi dalam penyidikan kematian Brigadir J. Negara harus memastikan setiap pihak yang terlibat harus dipenuhi dan dilindungi hak-haknya, baik sebagai saksi atau tersangka. Harus dipastikan bahwa tidak ada pelanggaran hak seperti adanya intimidasi/tekanan ataupun paksaan bagi siapapun yang dapat memberikan keterangan maupun informasi demi titik terang pengusutan tragedi ini. Due Process of Law dalam kerangka proses hukum pidana pada penyidikan kematian Brigadir J mutlak bersifat independen, tak memihak, dan tak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan atau kekuatan apa pun.
Kinerja Tim Khusus Mabes Polri dapat dinilai dari indikator proses Pro Justitia: memastikan peristiwa yang terjadi, mencari alat bukti seperti saksi, CCTV, administrasi dan penggunaan senjata api, serta informasi yang menguatkan substansi, salah satunya dengan menggunakan metode investigasi kejahatan (penyidikan) berbasis ilmiah (scientific crime investigation). Artinya, setiap keterangan saksi harus diuji secara ilmiah dan tidak boleh bersifat satu sisi atau sepihak, mengingat beragam keganjilan yang terjadi di mata publik dan keluarga Brigadir J harus terjawab secara transparan dan akuntabel. Tranparansi dalam pro justitia dinilai dari bagaimana Tim Khusus mampu menjelaskan setiap proses penyidikan dan perkembangan yang terjadi serta target yang akan dicapai demi memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepada publik, bukan hanya keluarga Brigadir J.
Begitu juga dengan akuntabilitas dalam pro justitia, di mana pihak-pihak yang disebutkan selama ini berlatar belakang sama, yakni Anggota Polri dengan kepangkatan yang berbeda jenjang. Penting untuk memastikan akuntabilitas dengan menguatkan peran lembaga pengawasan eksternal seperti KomnasHAM, Komnas Perempuan, Ombudsman RI, LPSK, Kompolnas, bahkan Kejaksaan. KomnasHAM wajib memastikan peristiwa kematian Brigadir J apakah telah terjadi atau tidak pelanggaran HAM, baik yang bersifat mandiri maupun adanya unsur komando. Selain itu KomnasHAM juga harus memeriksa apakah proses penyelidikan-penyidikan oleh Polri juga menimbulkan pelanggaran HAM, baik akibat undue delay (pelambatan proses) maupun apabila hak-hak para pihak yang terlanggar selama proses. Dengan catatan bahwa KomnasHAM tidak berwenang untuk bertindak secara Pro Justitia karena bukan Penyidik. Demikian juga dengan Komnas Perempuan untuk memeriksa apakah ada atau tidak dugaan kekerasan seksual yang dialami oleh Ibu P. Hal ini juga berkaitan dengan LPSK untuk memastikan setiap saksi dan korban dalam keadaan aman dan tanpa gangguan apapun. Sedangkan Ombudsman RI wajib memeriksa apakah keseluruhan proses penyelidikan-penyidikan telah dilengkapi oleh administrasi yang sah dan tanpa ada rekayasa. Kemudian Kompolnas untuk memeriksa profesionalitas serta etik para Anggota yang terlibat maupun tim penyelidik-penyidik sejak awal pemeriksaan peristiwa kematian Brigadir J. Serta Kejaksaan untuk memastikan pro justitia telah memenuhi syarat formil dan materiil untuk dapat dituntut ke pengadilan, termasuk keutuhan kronologis peristiwa, sinkronisasi status pihak yang terlibat serta perbuatan yang disangkakan dan akan didakwa.
Kerja Tim Khusus Mabes Polri dan pengawasan Eksternal dalam menyelesaikan kasus ini akan menjadi perhatian serius oleh masyarakat sehingga pengawasan oleh masyarakat menjadi bagian elemen penting dalam menuntaskan kasus ini.
Bagi publik luas, yang sangat krusial terkait keamanan dan keselamatan, mengenai penggunaan kekuatan senjata api oleh Polri yang masih menjadi masalah serius sehingga perlu pembenahan secara menyeluruh dan instutisional. Aparat kepolisian wajib mematuhi standar pada Resolusi Majelis Umum PBB No. 34/169 mengenai prinsip-prinsip berperilaku bagi aparat penegak hukum yang dituangkan dalam Code of Conduct Law Enforcement dan United Nations Basic Principle on the Use of Force and Fireams by Law Enforcement Officials mengenai penggunaan kekerasan dan penggunaan senjata api.
Terdapat tiga asas esensial dalam penggunaan senjata kekerasan dan senjata api yang penting untuk diperhatikan polisi yaitu asas legalitas (legality), kepentingan (necessity) dan proporsional (proportionality). Sungguhpun penggunaan kekerasan dan senjata api tidak dapat dihindarkan, aparat penegak hukum harus mengendalikan sekaligus mencegah dengan bertindak secara proporsional dan terukur berdasarkan situasi dan kondisi lapangan. Penyalahgunaan kekerasan dan senjata api dapat mengakibatkan petugas mendapatkan masalah, apalagi yang mengakibatkan kematian. Penyalahgunaan kewenangan ini mengakibatkan pelanggaran pidana sekaligus pelanggaran atas harkat dan martabat manusia.
Julius Ibrani Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) (081314969726)