Peristiwa wafatnya Brigadir J atau Nofriansyah Yosua Hutabarat terus mendapat sorotan publik, bahkan Presiden Joko Widodo. Organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak proses penyelesaian peristiwa ini harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Hal itu sesuai mandat reformasi sektor keamanan dimana kepolisian sebagai bagian dari institusi penegakan hukum perlu menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional, akuntabel dan transparan.
Ketua PBHI, Julius Ibrani, mengatakan transparansi dalam menangani kasus membuktikan proses penegakan hukum yang dilakukan berjalan baik. Begitu juga akuntabilitas, Polri harus membuka diri, sehingga pengawasan lembaga eksternal seperti Kompolnas, Komnas HAM, dan Ombudsman dapat berjalan optimal. Lembaga pengawas eksternal itu juga harus menjaga jarak dengan Polri dalam rangka menjaga independensi dan obyektivitas.
“Transparansi dan akuntabilitas itu titik awal apakah penegakan hukum yang dilakukan Polri bisa dipertanggungjawabkan atau tidak?” kata Julius dalam konferensi pers bertema “Reformasi Polri dan Kasus Brigadir J”.
Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu, mengatakan reformasi sektor keamanan yang bergulir sejak reformasi mendorong agar tidak ada lembaga negara yang memiliki kewenangan super power. Dalam negara yang mengusung sistem demokrasi harus ada mekanisme check and balances. Polri telah melakukan reformasi ketika memisahkan dirinya dengan TNI, tapi itu belum selesai karena masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus dituntaskan.
Oleh karena itu, Erasmus berpendapat intinya bukan bagaimana Kapolri menangani kasus Brigadir J, tapi lebih pada transparansi, obyektivitas, dan akuntabilitas. Melansir data Komnas HAM 2020-2021 sedikitnya ada 71 kasus kekerasan dan 39 penyiksaan yang dilakukan kepolisian. KontraS mencatat Juni 2021-Juni 2022 ada 31 kasus penyiksaan oleh kepolisian.
Menurut Erasmus, perlu diwacanakan mekanisme akuntabilitas pemeriksaan yang efektif dan terbuka bagi aparat Polri yang melakukan pelanggaran. Seperti Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga pengawas eksternal untuk hakim. Aparat kepolisian perlu lembaga independen seperti itu guna menjalankan mekanisme pengawasan yang tepat.
Sebab, peran Kompolnas selama ini sebagai lembaga eksternal yang mengawasi Polri dirasa kurang tepat karena fungsinya hanya memberikan rekomendasi kepada Presiden RI untuk melakukan perbaikan terhadap Polri. “Reformasi kepolisian menuntut keberanian kepolisian untuk membuka diri,” harap Erasmus.
Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf, mengingatkan UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri mendorong prinsip good governance dalam tata kelola Polri. Prinsip itu penting guna memastikan transparansi dan akuntabilitas kerja-kerja kepolisian.
“Penghormatan terhadap HAM juga harus dilakukan, sehingga penanganan kasus oleh kepolisian harus melalui proses penegakan hukum yang baik dan benar,” pintanya.
Dalam hal penanganan kasus Brigadir J, pria yang disapa Aal itu mengatakan fakta hukum yang ada harus dibuka kepada publik. Apalagi transparansi dan akuntabilitas itu telah ditekankan Presiden Jokowi. “Penanganan perkara ini taruhannya profesionalisme Polri,” tegasnya.
Sumber: https://www.hukumonline.com/berita/a/koalisi-desak-penanganan-kasus-brigadir-j-transparan–obyektif–dan-akuntabel