Meninggalnya Hendri Alfreet Bakari alias Otong di Polresta Barelang menambah deretan panjang bukti adanya dugaan penyiksaan yang dilakukan aparat penegak hukum selama proses hukum di tingkat awal penyelidikan, tergambarkan dengan jelas lewat tanda-tanda fisik berupa lebam di tubuhnya dan wajah korban yang dibungkus plastik, dalam kondisi yang sangat mengenaskan.
Praktik penyiksaan ini bukan hanya sekali terjadi, sebelumnya ada kasus di Sijunjung, dan lainnya, hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, tidak ada komitmen Pemerintah terhadap pencegahan dan larangan praktik penyiksaan sejak meratifikasi Konvensi Anti-Penyiksaan melalui UU No. 5 Tahun 1998, karena tidak ada peraturan turunan/pelaksana yang konkret dan detil termasuk protokol atau SOP untuk aparat penegak hukum. Kedua, Hukum Acar Pidana secara umum, apalagi dalam Kasus Narkotika membuka ruang besar terjadinya penyiksaan, lewat durasi penangkapan dan penahanan yang panjang (lebih dari 1 hari), penahanan di kantor Kepolisian, hak tersangka yang tidak dijamin termasuk Hak Atas Bantuan Hukum atau didampingi Pengacara, padahal ini faktor kunci untuk membuktikan terjadinya penyiksaan yang kerap dialami oleh orang yang tidak mampu menyewa/membayar Pengacara pada saat pemeriksaan awal penyelidikan atau penyidikan. Ketiga, tidak ada lembaga/instansi negara yang secara khusus berwenanga untuk mengusut kasus Penyiksaan oleh Aparat Negara, sehingga penyiksaan didegradasi menjadi pelanggaran etik profesi belaka. Sementara itu, lembaga pengawasan juga seperti macan ompong karena pejabatnya berlatar belakang dari lembaga yang diawasi.
Peristiwa Hendri harus dipandang sebagai peristiwa luar biasa yang penting untuk merefleksikan perbaikan lembaga penegak hukum, oleh sebab itu PBHI menuntut secara tegas kepada:
1. Kepolisian Negara RI, Komisi Kepolisian Nasional RI, Komnas HAM untuk mengusut tuntas dan mencari pihak yang bertanggung jawab atas penyiksaan Hendri yang menyebabkan kematiannya;
2. Presiden RI dan DPR RI untuk segera merevisi KUHAP dan sistem acara pidana yang menutup peluang untuk terjadinya penyiksaan, termasuk membentuk kebijakan teknis antipenyiksaan sesuai UU No. 5 Tahun 1998.
3. Presiden RI untuk mengevaluasi lembaga pengawasan penegak hukum Kepolisian termasuk Kompolnas RI dan Propam RI agar bisa bekerja dengan obyektif dan imparsial.
Demikian siaran pers ini kami sampaikan dan sebarkan sebagai upaya advokasi terhadap praktek-praktek penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia.
Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)
Totok Yuliyanto (Ketua PBHI) 082297771782 Julius Ibrani (Sekjen PBHI) 081314969726