Setelah menjadi buronan berbulan-bulan, akhirnya mantan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung, Nurhadi ditangkap KPK. Penangkapan ini tentu saja tidak hanya penting bagi penegakan hukum, lebih dari itu, penengakapan ini harus menjadi pintu masuk dalam melakukan upaya bersih-bersih di tubuh peradilan. KPK pun sudah memulai memproses pihak-pihak yang terlibat dalam kasus-kasus suap yang melibatkan Nurhadi. Salah satunya, memanggil sejumlah hakim untuk diminta keterangannya terhadap dugaan suap dan gratifikasi yang dilakukan mantan Sekjen MA tersebut.
Berdasarkan informasi di pemberitaan, KPK sudah memulai memangil beberapa hakim, antara lain: Panji Widagdo, Sudrajad Dimyati, Elang Prakoso Wibowo, dan Syamsul Maarif, Ariansyah P Dali, H Sobandi. Dari keenam hakim tersebut, tiga orang merupakan Hakim Agung. Sayangnya, pemanggilan hakim tersebut mendapat penentangan dari Mahkamah Agung. Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Abdullah, mengatakan bahwa hakim, panitera, dan semua pejabat pengadilan itu sudah diatur dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2002 tentang pejabat pengadilan yang melaksanakan tugas yustisial tidak dapat diperiksa, baik sebagai saksi atau tersangka kecuali yang ditentukan oleh Undang-Undang.
Abdullah, selaku juru bicara resmi Mahkamah Agung, sangat menyayangkan kehadiran hakim tinggi Pengadilan Tinggi Surabaya Elang Prakoso Wibowo yang memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sesuai Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 4/2002, Elang tidak seharusnya datang ke KPK tanpa berkoordinasi dengan MA. (Sindo.Com, MA Sayangkan Hakim Elang Penuhi Panggilan KPK Sebagai Saksi Nurhadi).
Kami menilai Sikap Abdullah tersebut janggal terutama karena kasus ini berhubungan dengan upaya pengungkapan kasus korupsi di tubuh peradilan. Kami memahami bahwa hadirnya SEMA No. 4 Tahun 2002 sebagai ekspresi untuk menjaga kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dalam kondisi ideal hal ini perlu didukung untuk tetap menjaga marwah peradilan yang bebas dan merdeka. Hakim jelas bisa tidak memenuhi panggilan apabila berkaitan dengan tugas yudisial hakim, yaitu menyangkut perkara yang sudah diputus maupun yang masih dalam proses pemeriksaan pengadilan, untuk itu koordinasi dengan MA dapat menjadi alasan yang rasional.
Namun, bukan berarti prosedur itu dapat dijadikan alasan untuk menghambat pemeriksaan yang dilakukan oleh aprarat penegak hukum dalam hal ini KPK, terutama terhadap untuk kasus korupsi yang memiliki sifat terorganisir dan sistematis. MA harus tetap berkomitmen mempermudah penegakan hukum sembari juga memastikan bahwa pemeriksaan tersebut tidak ada kaitannya dengan kemerdekaan hakim dalam memutus perkara.
Kami juga perlu menggarisbawahi bahwa sepanjang pemanggilan KPK tersebut tidak terkait dengan putusan pengadilan, melainkan berkaitan dengan kasus dugaan suap dan gratifikasi yang dilakukan Nurhadi, maka sebaiknya MA mendukung proses ini sebagai bagian perwujudan visi MA yaitu terwujudnya badan peradilan indonesia yang agung. MA memang harus memastikan tidak ada intervensi terhadap tubuh peradilan, namun MA juga tidak bisa serta merta menggunakan SEMA sebagai justifikasi untuk menolak pemanggilan dari lembaga antikorupsi tersebut. Mengingat juga bahwa tindakan korupsi Nurhadi dan pihak-pihak yang diduga terlibat di dalamnya tentu saja bukan lagi soal tugas yudisial dari Mahkamah Agung.
Berangkat dari hal tersebut, maka Koalisi Pemantau Peradilan menyatakan sikap sebagai berikut:
- Mengecam sikap Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung, Abdullah, yang menggunakan alasan SEMA No. 4 Tahun 2002 yang kami nilai dapat menghambat proses penegakan hukum kasus korupsi yang sedang diproses oleh KPK.
- MA tidak dapat serta merta berlindung di balik SEMA No. 4 Tahun 2002 sebagai justifikasi menolak pemanggilan hakim yang dilakukan oleh KPK.
- Meminta Mahkamah Agung harus mendukung penuntasan kasus korupsi yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap mantan Sekretaris MA, Nurhadi.
- Meminta KPK terus melanjutkan proses pemeriksaan, karena pemanggilan hakim terkait dengan kasus suap dan gratifikasi Nurhadi, dan memastikan pemeriksaan tersebut tidak berhubungan dengan tugas yudisial hakim sebagaimana dimaksud dalam SEMA No. 4 Tahun 2002.
- Meminta KPK untuk memperdalam penyelidikan terhadap hakim dan pihak-pihak yang terlibat dalam kasus suap dan gratifikasi Nurhadi. Termasuk mendalami potensi menerapkan UU Tindak Pidana Pencucian Uang berdasarkan dugaan suap dan gratifikasi di perkara ini.
Jakarta, 6 Agustus 2020
Koalisi Pemantau Peradilan
YLBHI, LEIP, PBHI, LBH Jakarta, PILNET Indonesia, ICW, ICJR, LBH Masyarakat, ICEL, IJRS, PSHK, Imparsial
CP
Julius Ibrani (PBHI)
M Isnur (YLBHI)
Erwin Natosmal (PILNET Indonesia)
Liza Farihah (LEIP)
Abdul Afif Qoyim (LBH Masyarakat)
Nelson Simamora (LBH Jakarta)
Erasmus Napitupulu (ICJR)
Isna Fatimah (ICEL)
Josua Collins (IJRS)
Antoni Putra (PSHK)
Ardi Manto Adiputra (Imparsial)