PBHI mengucapkan belasungkawa sedalam-dalamnya kepada keluarga korban yang meninggal, serta mendoakan korban yang dirawat agar diberi kesehatan.
Hingga 23 Oktober 2022, sekitar 245 anak mengalami gagal ginjal/Acute Kidney Injury (AKI) di 26 provinsi, dan 141 anak meninggal akibat mengkonsumsi obat sirup dengan kandungan tinggi Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG). Kemudian terbit larangan obat-obatan cair dan sirup berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes Nomor HK.02.02./2/I/3305/2022.
Berdasarkan catatan PBHI, ada fakta penting, pertama, seluruh obat sirup yang beredar dan teridentifikasi mengandung cemaran Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) telah terdaftar secara resmi, diuji oleh instansi negara dan beredar secara legal. Kedua, Kemenkes menyatakan juga cemaran berasal dari 4 bahan baku tambahan (propilen gliklol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol) yang berasal dari luar negeri yang diimpor. Ketiga, terdapat 4 kriteria dari temuan BPOM yakni digunakan korban sebelum dan selama dirawat, diproduksi dalam volume bahan baku yang besar, produsen memiliki rekam jejak kepatuhan tidak baik/minimal dalam aspek mutu, dan bahan diperoleh dari rantai pasok yang berasal dari sumber berisiko, kemungkinan ilegal dan tercemar. Terakhir, BPOM dan Kemenkes mengakui terjadi kelalaian dalam pengujian dan pengawasan.
KEWENANGAN ADMINISTRASI INSTANSI
Dari segi administrasi terdapat 2 aspek, pertama administrasi impor, kedua distribusi (edar). Tidak adanya obat sirup yang dinyatakan ilegal, artinya telah melewati keseluruhan proses mulai dari ijin impor, pengujian laboratorium, dan ijin edar. Kewenangan administrasi impor ada di Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, sedangkan kewenangan untuk registrasi dan edar ada di Kementerian Kesehatan dan BPOM. Sebagaimana UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan BPOM No. 30 tahun 2017, dan lainnya.
PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM: LALAI ATAU “CINGCAY”?
Pertama, dari konteks birokrasi administrasi lalu dihadapkan pada jumlah korban sakit dan meninggal serta cakupan wilayah geografis korban, maka dapat disimpulkan bahwa bencana obat sirup ini terjadi secara sistematis. Struktur negara di tingkat pusat hingga akar rumput terlihat lumpuh total dari hulu ke hilir. Mulai dari impor bahan, pengujian awal, hingga pengawasan konsumsi dan jatuhnya korban hingga ratusan.
Merujuk pada catatan PBHI, telah terjadi perbuatan kelalaian dari instansi negara, yang berwenang di bidang administrasi (impor dan edar) hingga obat sirup mematikan tersebut dapat beredar dan dikonsumsi korban, yang seharusnya tidak lolos screening.
Adanya kelalaian negara secara sistematis maka jadi basis pertanggungjawaban negara secara holistik. Pertanggungjawaban Pejabat Negara akibat kelalaian yang menyebabkan korban gagal ginjal (penyakit) bahkan meninggal ini harus dipertanggungjawabkan secara pidana sebagaimana Pasal 359 (meninggal) dan 360 (penyakit gagal ginjal) KUHP dan spesifik pada Pasal 196 UU 36 Tahun 2009. Pemidanaan juga bersifat setara dan wajib dikenakan terhadap swasta.
Lebih jauh lagi, melihat kondisi “sistematis” dari bencana obat sirup yang seolah “didukung” oleh lumpuhnya struktur negara, maka perlu ditelisik apakah ada dugaan kongkalikong atau “cingcay” yang bernuansa tindak pidana korupsi dari sektor administrasi, mekanisme perijinan serta pengawasan. Ini bisa jadi pintu masuk bagi KPK untuk melihat aspek spesifik.
PERTANGGUNGJAWABAN KETATANEGARAAN: PEJABAT INSTANSI TERLIBAT HARUS DIPECAT
Pemeriksaan dan penindakan oleh instansi negara yang terlibat dalam administrasi dan perijinan juga berpotensi terjadi konflik kepentingan, karena memeriksa perbuatan dirinya sendiri. Presiden Jokowi harus memastikan pertanggungjawaban pejabat negara yang terlibat agar segera dipecat agar tidak terjadi lempar tanggung jawab hanya di pihak swasta. Kelalaian yang menyebabkan kematian sudah jadi basis kuat terlanggarnya asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dalam konteks ketatanegaraan.
PEMULIHAN HAK KORBAN: TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN SWASTA
Pemidanaan terhadap pejabat negara yang terlibat juga wajib diikuti dengan pemulihan hak korban secara perdata seperti pembiayaan, pengobatan, pemakaman, termasuk kompensasi bagi keluarga korban. Pertanggungjawaban perdata juga wajib diterapkan kepada swasta, termasuk restitusi (Pasal 2 dan 3 PP No. 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak) dan pemenuhan hak korban yang hilang akibat perbuatan swasta. Tidak hanya itu, swasta juga dapat dikenakan sanksi administratif pencabutan ijin sebagaimana Pasal 188 UU 36 Tahun 2009.
Negara bertanggungjawab penuh pada Hak Anak, sebagaimana Konvensi Hak Anak Tahun 1989, UU No. 23 Tahun 2002 jo. UU No. 35 Tahun 2014 jo. UU No. 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak, dan lainnya. Berangkat dari jaminan terhadap hak anak, maka keluarga korban dapat menuntut pemulihan hak kepada negara, termasuk melalui upaya hukum gugatan dan lainnya. Mengingat lambatnya negara dalam merespon kerugian dan kebutuhan korban.
Berdasarkan paparan di atas, maka PBHI menuntut agar:
- Presiden Jokowi melakukan mutasi atau memberhentikan pejabat negara dari instansi yang terlibat dalam administrasi ijin dan edar obat sirup mematikan sebagai bentuk pertanggungjawaban sekaligus menghindari konflik kepentingan dalam pemeriksaan;
- Presiden Jokowi bertanggung jawab atas pemulihan hak korban, mulai dari pengobatan, layanan dan fasilitas kesehatan, serta pembebasan biaya, termasuk kompensasi bagi korban;
- Pemerintah melakukan penarikan obat sirup mematikan yang sudah beredar di toko/apotek yang masih terjangkau masyarakat dan berpotensi menambah jatuhnya korban, termasuk jenis obat yang aman dan obat alternatif lain;
- Presiden dan Kapolri melakukan pemeriksaan dugaan tindak pidana kelalaian yang menyebabkan penyakit dan kematian, baik yang dilakukan oleh Pejabat Negara maupun Swasta.
- KPK apabila ditemukan unsur dugaan tindak pidana korupsi dalam proses administrasi untuk impor dan ijin edar oleh swasta dan pejabat negara.
Jakarta, 23 Oktober 2022
Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)