Presiden Jokowi melakukan reshuffle kabinet jilid 2 pada Rabu, 15 Juni 2022 lalu. Menteri Perdagangan, Muhammad Luthfi diganti Zulkifli Hasan, lalu Menteri dan Wakil Menteri ATR/BPN, Sofyan Djalil dan Surya Tjandra diganti Hadi Tjahjanto dan Raja Juli Antoni. Selain itu, Jokowi menambah pos baru: Wakil Mendagri, John Wempi Watipo dan Wakil Menaker, Afriansyah Noor.
Reshuffle kabinet sebenarnya sangat krusial, mengingat kondisi pemenuhan hak asasi manusia dalam berbagai aspek (sipol dan ekosob) dalam titik nadir, seperti kondisi perekonomian masyarakat. Ditambah lagi, sejumlah Menteri justru berulah dan banyak kontroversi, baik dari segi sikap maupun kebijakan, utamanya selama pandemi Covid-19. Sebut saja, Luhut Binsar Panjaitan yang berbisnis tambang, Erick Tohir yang berbisnis PCR, Tri Rismaharini yang mendiskriminasi Papua, Sitti Nurbaya yang pro-kerusakan lingkungan (emisi karbon dan deforestasi), Mahfud MD yang banyak berbicara data tapi faktanya tidak ada, termasuk 2 menteri yang diganti akibat skandal minyak goreng dan meningkatnya konflik pertanahan yang mengorbankan masyarakat kecil. Belum lagi permasalahan represi aparat penegak hukum terhadap masyarakat korban pembangunan, dan kriminalisasi terhadap pembela hak asasi manusia.
Harapan akan perbaikan sistem agar mendukung pemenuhan hak asasi manusia dan keadilan, tidak akan terwujud, apalagi jika kita menakar rekam jejak nama baru yang ditunjuk Jokowi. Reshuffle kabinet jilid I ditandai dengan momentum tercokoknya 2 menteri oleh KPK, Juliari Batubara (Mensos) dan Edhy Prabowo (Menteri KKP). Mirisnya, nama Zulkifli Hasan justru tercatat sebagai pihak yang pernah berurusan dengan kasus Korupsi alih fungsi hutan di Provinsi Riau yang menjerat Gubernur Riau, Annas Maamun pada 2014. Zulhas juga tercatat sebagai Menteri Kehutanan yang paling banyak melepaskan Kawasan (1,64 juta Ha) daripada BJ Habibie (763.041 Ha), Abdurrahman Wahid (164.147 Ha), Megawati S. (3.702 Ha). Akibatnya banyak kerusakan lingkungan dan deforestasi yang menyebabkan perubahan iklim menjadi sangat buruk.
Di Kementerian ATR/BPN, latar belakang militer Hadi Tjahjanto dan nihilnya pengalaman Raja Juli di bidang pertanahan/tata ruang, tentu bertentangan dengan kondisi masalah pertanahan dan tata ruang serta pesatnya konflik agraria/pertanahan akibat proyek infrastruktur dan sumber daya alam yang melanggar hukum, hak asasi manusia, serta merusak lingkungan. Tercatat, sepanjang 2015-2020 ada 2.291 kasus. Pertanahan dan Tata Ruang adalah masalah keadilan sosial, birokrasi pencatatan serta pemerataan kepemilikan, yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan militer. Sejarah bangsa jusru mencatat, keterlibatan militer dalam bisnis ilegal dan perampasan tanah sekaligus represi fisik terhadap warga, misalnya Program Swasembada Pangan 1984-1986, Kasus Urut Sewu, Kasus Rumpin, Kasus Desa Seituan, dan lainnya. Belum termasuk pelibatan tentara oleh perusahaan swasta untuk menjaga dan mengintimidasi warga korban sengketa lahan dengan perusahaan swasta. LIPI pun mencatat berdasarkan Data Tim Nasional Pengalihan Aktivitas Bisnis TNI, yang menyebutkan, ada aset TNI berupa 1.618 bidang tanah seluas 16.544,54 hektar yang kini dimanfaatkan oleh pihak ketiga (swasta).
Sementara, penambahan jabatan baru Wakil Mendagri ditandai dengan penolakan besar-besaran rencana pemekaran Daerah Otonomi Baru, oleh warga Papua. Karena ditengarai sebagai akal bulus untuk memuluskan rencana pertambangan Blok Wabu, yang diduga kuat melibatkan militer dan kepolisian lewat pos-pos penjagaan yang telah didirikan, bahkan sebelum ijin pertambangan diterbitkan oleh Kementerian ESDM.
Pada jabatan Wakil Menaker, nasib sial buruh sepertinya akan bertambah parah. Setelah hantaman PHK massal jutaan buruh akibat Pandemi Covid-19, tanpa tanggung jawab Pemerintah, UU Omnibus Law Cipta Kerja yang menindas buruh juga disahkan. Afriansyah Noor tidak memiliki pengalaman di bidang perburuhan. Kompleksitas masalah perlindungan buruh, UU Omnibus Law Cipta Kerja yang rumit, dan proyeksi ekonomi yang masih suram, tentu tidak dapat dibebankan kepada orang yang tidak berpengalaman.
“Nasib rakyat tidak akan membaik, karena reshuffle masih jadi bancakan politik, tanpa pertimbangan pemenuhan hak asasi manusia apalagi keadilan sosial. Jika dilihat dari latar belakang nama baru (Menteri dan Wakil Menteri) justru akan menambah parah situasi pelanggaran hak asasi manusia saat ini, mengingat rekam jejak yang berkebalikan dengan kebutuhan dan tidak memiliki perspektif pendekatan kemanusiaan dalam pekerjaan dan kebijakan,” terang Julius Ibrani, Ketua PBHI Nasional.
“Komposisi Menteri dan Wakil Menteri yang baru, menambah jauh jarak rakyat dengan pejabat, dan akan menambah masalah perampasan tanah rakyat serta kerusakan lingkungan. Utamanya masalah lingkungan yang meningkat pesat belakangan dan melibatkan Kementerian ATR/BPN sebagai aktor pelaku, misalnya pembangkangan terhadap Putusan Pengadilan untuk membuka data kepemilikan HGU. Militer justru dikenal kebal hukum dan tidak transparan dalam sistem peradilannya, artinya nasib keterbukaan informasi tanah untuk bisnis swasta makin ambyar,” tegas Gina Sabrina, Sekjen PBHI Nasional.
Presiden Jokowi masih belum memikirkan kebutuhan rakyat dalam aspek hak asasi manusia dan keadilan sosial, lewat reshuffle kabinet jilid II ini. Bahkan, belum sadar bahwa kesalahan keputusan dan kebijakannya kemarin dan hari ini, akan terus mengejar dan menghantui Jokowi saat pensiun dari jabatan Presiden nanti. Termasuk jajaran kabinetnya, apabila berkaca dari Presiden SBY.
Jakarta, 18 Juni 2022
PBHI Nasional
Julius Ibrani
Gina Sabrina