Tanggal 17 Juli diperingati sebagai hari Keadilan Internasional (World Day for International Justice), yang merujuk pada Statuta Roma tentang Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) pada 17 Juli 1998. Statuta Roma mengatur kejahatan paling serius yakni kejahatan genosida (the crime of genocide), kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan agresi (the crime of aggression).
Ada 3 (tiga) hal kunci dalam peringatan hari keadilan internasional, pertama, komitmen untuk mendukung sistem peradilan internasional, kedua, mlawan impunitas pelanggar HAM, dan ketiga, memastikan keadilan bagi korban. Ketiga hal tersebut merupakan tanggung jawab setiap negara yang meratifikasi instrumen internasional HAM, seperti Kovenan Hak Sipil dan Politik dan/atau Kovenan Hak Ekonomi Sosial Budaya, tidak mesti Statuta Roma.
Indonesia sendiri mengalami deviasi melalui UU No. 26 tahun 2000 tentang Pelanggaran HAM Berat, yang justru memberi pondasi kuat bagi impunitas pelanggar HAM dengan unsur komando. Sehingga, bisa dibilang, rekam jejak pelaksanaan UU 26/2000 menjadi gagal total dalam menjerat pelanggar HAM, apalagi untuk menjamin rasa keadilan bagi Korban.
Dalam kondisi “prematur” dan penuh keterbatasan tersebut, Pemerintah Indonesia, Presiden Joko Widodo, justru mendorong pembentukan Rancangan Peraturan Presiden soal Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat (Ranperpres UKP-PPHB) melalui mekanisme non-yudisial.
PBHI bersama dengan kelompok korban Pelanggaran HAM telah memberikan catatan kritis terhadap ranperpres UKP-PPHB. Selain terdapat kecatatan formil karena minus transparansi dan partisipasi kelompok korban.
Secara materiil, Ranperpres UKP-PPHB jelas menyimpangi prinsip keadilan dan melindungi pelanggar HAM, karena menegasikan proses pencarian kebenaran dan menutup jalur ajudikasi.
Sementara, mengacu pada laporan Komisi Nasional HAM (Komnas HAM), sedikitnya ada 12 (dua belas) kasus pelanggaran HAM yang diajukan KomnasHAM ke Jaksa Agung namun ditolak berkali-kali tanpa alasan jelas dan belum terselesaikan diantaranya (1) peristiwa 1965-1966, (2) peristiwa penembakan misterius (petrus) 1982-1985, (3) peristiwa Talangsari Lampung 1989 (4) Tragedi Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999; (5) Peristiwa kerusuhan Mei 1998, (6) Penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, (7) peristiwa Wamena dan Wasior 2001-2003, (8) Peristiwa Aceh-Jambo Keupok 2003, (9) Peristiwa Aceh-Simpang KKA 1998, (10) Peristiwa Aceh Rumoh Geudong 1989; serta (11) peristiwa dukun santet di Jawa Timur 1998-1999, (12) Peristiwa Paniai 2014.
Sehingga dalam peringatan Hari Keadilan Internasional ini, PBHI mendesak:
- Presiden Joko Widodo dan DPR-RI untuk segera meratifikasi Statuta Roma sebagaimana tanggung jawab konstitusional Pemerintah Indonesia dalam pemenuhan hak asasi manusia bagi kelompok korban;
- Presiden Joko Widodo untuk membatalkan penyusunan segala rancangan kebijakan yang tidak berpihak pada keadilan bagi korban Pelanggaran HAM termasuk Ranperpres UKP-PPHB;
- Presiden Joko Widodo untuk memerintahkan Jaksa Agung dan KomnasHAM untuk segera menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM, dengan menyelenggarakan pengadilan Ham yang menyeret pelanggar HAM serta memenuhi keadilan bagi korban dalam berbagai aspek.
Jakarta, 17 Juli 2021
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia