LBH Masyarakat (LBHM), dan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengucapkan duka mendalam atas meninggalnya Brigadir Yosua dalam peristiwa pembunuhan. Dalam kasus ini kami juga menyoroti langkah Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menjatuhkan pidana mati terhadap terdakwa Ferdy Sambo pada 13 Februari 2023.
Kami mendukung penuh penjatuhan pidana terhadap kasus pembunuhan berencana yang dilakukan oleh mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban. Namun di sisi lain, penjatuhan pidana mati yang diberikan kepada Ferdy Sambo tidak menyentuh problematika struktural di instansi Kepolisian, baik terkait mekanisme pengawasan maupun sistem penjatuhan sanksi antara etik dan profesi maupun pidana.
Dalam penjatuhan pidana mati di beberapa kasus (tidak hanya pada kasus Ferdy Sambo), Pemerintah abai terhadap dorongan internasional yang selalu menjadi pembahasan di Universal Periodic Review (UPR) sebagai mekanisme pemantauan situasi HAM di level internasional, terlebih tren global yang terjadi di negara-negara di dunia telah menghapus hukuman mati yang diterapkan di 109 negara.
Sejatinya, penerapan pidana mati dalam sistem hukum pidana di Indonesia jelas bertentangan dengan hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (non-derogable rights). Artinya, tidak ada seorang pun yang berhak untuk
mencabut hak hidup seseorang, termasuk dalam hal ini negara. Perlindungan hak hidup sendiri telah diatur dalam berbagai instrumen hukum, baik itu yang nasional maupun internasional. Dalam instrumen Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM (UU HAM).
Secara umum, negara melihat pidana mati masih dianggap sebagai bentuk hukuman yang setimpal dengan perbuatan pelaku yang merugikan korban, dan bisa menimbulkan efek jera serta memenuhi keadilan. Padahal, pemberlakuan pidana mati selain melanggar aspek-aspek HAM di luar hak untuk hidup, juga lebih banyak kepentingan politik dan bahkan cenderung lebih sering untuk menutupi pihak lain dan kejahatan lain yang ada di belakangnya. Terutama dalam kasus-kasus narkotika, penerapan vonis pidana mati sebagai dalih efek jera malah tidak terbukti menurunnya kasus-kasus narkotika serta gagal menyingkap aktor utama.
Pada sisi lain vonis pidana mati menyisakan persoalan yang khas yaitu fenomena deret tunggu pidana mati (death row phenomenon) yang merusak psikologis dan mental terpidana mati selama menuju eksekusi mati. Dalam catatan kami tergambar jelas dalam kasus perempuan terpidana mati Merri Utami yang hingga saat ini menjalani pemenjaraan lebih dari 21 tahun tanpa ada perlindungan hukum atas hukuman berlapis yang dijalani selama ini.
Di tengah persoalan rasa keadilan bagi korban dan intervensi negara dalam menerapkan hukuman, vonis pidana mati cenderung menutupi boroknya penegakan hukum yang terjadi sekaligus mengabaikan hak-hak dan harkat serta martabat terpidana mati.
Kami menilai penghapusan pidana mati bukan berarti mendukung tindakan kriminal, melainkan usaha untuk mendorong perbaikan pada sejumlah sektor penegakan hukum, khususnya pada pidana mati yang mana sampai saat ini masih menyimpan sejumlah persoalan. Selanjutnya,
kami juga turut menggarisbawahi bahwa kasus Ferdy Sambo secara tidak langsung menunjukkan bahwa terdapat permasalahan dalam institusi kepolisian (e.g melibatkan anggota kepolisian dalam tindak pidana, upaya menutupi suatu kasus, obstruction of justice dan lain sebagainya).
Dalam catatan Komnas HAM dan Ombudsman pada tahun 2021 menyampaikan temuan yang sama bahwa di tahun 2020, institusi kepolisian merupakan institusi yang paling banyak dilaporkan oleh publik. Tragedi Kanjuruhan, merupakan potret problem kepolisian terhadap mengakarnya budaya kekerasan dan penyelewengan kewenangan. Selain itu kokohnya kewenangan kepolisian tanpa ditopang dengan mekanisme pengawasan yang efektif terutama oleh Pemerintah dan DPR. Situasi tersebut mengakibatkan kepolisian menjadi institusi super power tanpa pengawasan optimal. Sehingga tidak heran jika temuan Ombudsman dan Komnas HAM tersebut menunjukan penyakit di tubuh kepolisian yang sangat kronis jika dibiarkan berlarut tanpa penyelesaian.
Dalam kasus Ferdy Sambo, pidana mati justru tidak menjawab kebutuhan mendesak untuk melakukan reformasi kepolisian tersebut, mengingat kasus yang menewaskan Brigadir Yosua telah melibatkan banyak anggota polisi dari berbagai level. Padahal, sempat digadang-gadang akan terkuak berbagai bentuk kejahatan terorganisir lainnya yang sempat diperiksa oleh Propam di bawah Ferdy Sambo dkk. Kami khawatir bahwa pidana mati merupakan cara untuk simplifikasi terhadap reformasi kepolisian.
Jakarta, 14 Februari 2023
LBH Masyarakat – PBHI
Narahubung:
LBHM : 0898 437 0066
PBHI : 0813 1496 9726