Konflik yang terjadi di Papua menjadi satu persoalan yang bukan hanya menyoal mengenai pembangunan, melainkan juga meliputi sejarah, status politik, marjinalisasi, dan pelanggaran hak asasi manusia. Pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah sejauh ini dianggap belum mampu menyelesaikan konflik, tetapi justru memunculkan masalah-masalah baru yang membuat konflik di Papua menjadi lebih kompleks.
Atas dasar itu, menjadi penting untuk menghadirkan sejumlah kajian-kajian studi yang dapat digunakan untuk melihat konflik di Papua dari perspektif pendekatan yang lain. Dalam hal ini, Forum Akademisi Papua Damai (FAPD) bekerjasama dengan Parahyangan Centre for Democracy and Peace Studies (PACEDEPES) dan IMPARSIAL (the Indonesian Human Rights Monitor) menyelenggarakan diskusi public dalam rangka peluncuran hasil riset mengenai konflik yang terjadi di Papua dengan judul, “Pembangunan, Marginalisasi, dan Disintegrasi Papua” yang diselenggarakan pada hari Senin, 26 April 2021 di Hotel Ashley, Jakarta Pusat. Diskusi tersebut turut dihadiri Ilham Hermansyah, selaku relawan pembela HAM PBHI.
Secara garis besar penelitian ini berfokus pada isu pembangunan, marginalisasi, dan disintegrasi di Papua baik dalam konteks konseptualisasi, permasalahan dan dampak yang timbul, hingga sejauh mana pendekatan dialog dapat menyelesaikan konflik tersebut. Adapun tujuannya adalah untuk menemukan pemahaman yang actual dan kontemporer dari proses pembangunan, marginalisasi, dan disintegrasi dalam literatur akademis yang berbasis temuan lapangan. Selain itu, penelitian tersebut juga bertujuan untuk memahami keterkaitan antara kegagalan pembangunan yang melahirkan sosio-ekonomi Orang Asli Papua semakin massif, yang pada akhirnya berimplikasi kepada semakin menguatkan aksi-aksi kekerasan dan dorongan disintegrasi.
Elvira Rumkabu selaku tim peneliti cum Akademisi Universitas Cendrawasih mengatakan bahwa adanya keterkaitan antara pembangunan dengan marginalisasi dan disintegrasi yang terjadi di Papua. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana pembangunan yang melibatkan pemerintah, korporasi, dan militer kerap kali diikuti dengan berbagai macam kekerasan yang kemudian membuat masyarakat memiliki posisi yang tidak sejajar. Kebijakan yang diambil juga cenderung seragam tanpa memikirkan kondisi Papua yang spesifik.
“Kondisi di Papua yang spesifik tetapi kebijakan yang diambil cenderung seragam yang difokuskan kepada golongan pertumbuhan ekonomi. Dari sinilah kemudian dampak yang muncul dari pembangunan tersebut adalah memperkuat berbagai macam resistensi sipil maupun resistensi kelompok bersenjata,” ujarnya saat menghadiri diskusi melalui Zoom Meeting.
Selain itu, ada pemahaman yang berbeda antara pemerintah dengan masyarakat mengenai paradigma pembangunan. Pemerintah melihat pembangunan melalui pertumbuhan ekonomi dan infrastruktur. Sedangkan masyarakat asli Papua memahami pembangunan sebagai isu marginalisasi yang justru dapat menguntungkan Orang Non Papua daripada Orang Asli Papua.
“Buku ini mencoba membantu untuk melihat bahwa ada gap mengenai paradigma pembangunan yang sangat berbeda antara pemerintah dan masayrakat asli papua,” ujarnya.
Atas dasar itu, penelitian yang dihasilkan setidaknya ingin menawarkan pendekatan alternatif sebagai solusi dari pendekatan yang selama ini dilakukan oleh pemerintah. Pendekatan yang dimaksud adalah dengan melalakukan dialog yang melibatkan banyak pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, tokoh masyarakat. Pendekatan tersebut juga perlu didukung bukan dengan pendekatan pembangunan, melainkan pendekatan budaya. (IH)