10 November 2022, KPK menetapkan Hakim Agung GS sebagai TSK “baru” dalam kasus dugaan Suap penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA). Penepatan GS sebagai TSK menyusul giat Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK yang telah menetapkan 10 TSK dan menyita uang 205 ribu Dolar Singapura dan Rp 50juta. Dari seluruh TSK, ada 2 Hakim Agung, 1 Hakim Yustitial/Panitera Pengganti, 2 Pegawai Kepaniteraan MA, dan 2 PNS, sebagai penerima suap. Sebagai pemberi suap, YP dan ES (Advokat), serta He dan IDKS (Swasta). Suap diduga dilakukan untuk mempengaruhi atau merekayasa putusan pada penanganan perkara perdata. KPK juga menggeledah ruang Hakim Agung, Prim Haryadi, dan Sri Murwahyuni, termasuk Sekretaris MA, Hasbi Hasan.
Identifikasi Rekam Jejak Hakim Agung: Putusan Janggal
Putusan Hakim paling tidak harus memenuhi 3 (tiga) unsur: keadilan (gerechttigkeit), kepastian hukum (rechtsicherheit), dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit), lebih dari itu harus menjadi landmark decision melalui terobosan nyata atas persoalan hukum dan menjadi sumber hukum (yurisprudensi) sebagaimana UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Putusan Hakim dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, bersifat mutlak dan tidak dapat dicabut atau diubah sebagai wujud dari asas kepastian hukum, terkecuali melalui Putusan Hakim di (tingkat) atasnya. Baik Komisi Yudisial maupun Badan Pengawasan MA, juga tidak dapat meng-intervensi sebagaimana Pasal 24B ayat (1) UUD ‘45 dan Pasal 13 UU 18/2011 tentang Komisi Yudisial dengan alasan “teknis yudisial”.
Berkaca dari kasus Korupsi Hakim di Pengadilan hingga MA, Putusan menjadi produk hukum bermasalah yang penuh kejanggalan dalam pertimbangan Hakim dan Amar-nya. Sehingga, apabila Putusan Hakim didasarkan pada “pesanan” dari perbuatan korupsi (suap), maka tidak akan terwujud cita-cita Keadilan dan Kemanfaatan. Hanya ada Kepastian Hukum.
Seorang Hakim, apalagi Hakim Agung, tidak hanya memeriksa dan memutus 1-2 putusan saja, bisa ratusan. Penting untuk memeriksa kembali rekam jejak pertimbangan dan amar putusan Hakim yang terindikasi kasus korupsi, untuk melihat secara mendalam apakah ada indikasi korupsi yang lain.
Berdasarkan catatan PBHI, Hakim Agung GS adalah salah satu Anggota Majelis Kasasi yang mendiskon vonis dari 9 tahun menjadi 5 tahun, dalam kasus Korupsi Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edy Prabowo, karena menerima suap Rp 24,6 Miliar dan 77 ribu Dollar Amerika. Sebenarnya, KPK juga menjadi “korban” dalam diskon vonis ini.
KPK Harus Buka Peluang Dekonstruksi Putusan: Menggali Informasi dari Korban
KPK dengan mandat “trigger mechanism” harus memaknai bahwa bukan hanya sebatas mendorong perbaikan sistem dan aparat penegak hukum saja, tetapi juga men-dekonstruksi ulang “komoditas” korupsinya. Dalam kasus korupsi di pengadilan atau MA, adalah Putusan Hakim. Bagaimana caranya?
KPK harus membuka “posko pengaduan” khusus korban putusan Hakim, untuk menggali infomasi, fakta dan bukti produk dari Hakim Pengadilan maupun Hakim Agung yang terindikasi korupsi melalui pertimbangan dan amar Putusan. Hal mana tidak ter-“akomodasi” di Badan Pengawasan MA dan Komisi Yudisial hanya melalui mekanisme “koordinasi”.
Bila perlu, KPK menggali infomasi, fakta dan bukti dari seluruh pihak yang berperkara, baik Advokat maupun prinsipalnya, pada perkara-perkara yang pernah ditangani oleh Hakim Pengadilan dan Hakim Agung yang terindikasi korupsi, tentunya dengan berkoordinasi dengan Badan Pengawasan MA dan Komisi Yudisial terkait perilaku “mencurigakan” si Hakim yang mengarah pada indikasi korupsi.
Selain dapat dilakukan pengembangan pada dugaan kasus korupsi lainnya, terbuka juga peluang bagi para “korban putusan” hakim korup, untuk mendapatkan bukti-bukti baru yang dapat dijadikan dasar bagi upaya hukum luar biasa, seperti Peninjauan Kembali. Sehingga ada peluang untuk diperiksa kembali demi mendapatkan formulasi pertimbangan dan amar yang dapat merepresentasikan keadilan dan kemanfaatan, bukan hanya kepastian hukum saja.
Jangan sampai, seperti kasus dengan vonis hukuman mati, meski Putusan Hakim yang penuh kejanggalan pada pertimbangn dan amarnya, kemudian dapat diperbaiki melalui Putusan Hakim di atasnya, namun apabila Terpidana telah dieksekusi maka nyawa yang hilang tidak akan dapat dikembalikan.
Dalam situasi sistem peradilan yang masih korup dan bobrok, maka perlu terobosan yang signifikan untuk menyikapi kondisi Putusan Hakim yang surplus kepastian hukum namun defisit keadilan dan kemanfaatan.
Jakarta, 13 November 2022
Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI)