[Yogyakarta, 10 November 2022] – Komitmen kewajiban internasional Indonesia dalam pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) kemarin dievaluasi untuk keempat kalinya oleh seluruh anggota PBB melalui mekanisme Universal Periodic Review (UPR) di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jenewa, Swiss. Berbagai komponen masyarakat sipil di Indonesia menyerukan pemerintah untuk menerima dan melaksanakan seluruh rekomendasi UPR.
Delegasi RI dipimpin oleh Yasonna Laoly, Menteri Hukum dan HAM mendapatkan sejumlah rekomendasi dari semua anggota PBB, di antaranya isu penuntutan pelanggaran HAM di Papua yang diduga melibatkan aparat keamanan, penghapusan hukuman mati, revisi Kitab UU Hukum Pidana (KUHP), isu ratifikasi optional protokol konvensi anti penyiksaan, isu kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB), issue disabilitas dengan berbagai intersecting issuenya seperti pendidikan, kesehatan serta lapangan pekerjaan, serta ratifikasi OP CRPD, kebebasan pers dan ekspresi, kebebasan berkumpul dan berserikat, perlindungan terhadap perempuan, anak, penghormatan dan perlindungan terhadap LGBTIQ+, pekerja migran, masyarakat adat, orang tanpa kewarganegaraan, dan lain-lain.
Dalam uraian yang dilaporkan serta respons yang disampaikan oleh delegasi Indonesia lebih cenderung menyampaikan secara normatif dan instrumentalis, Indonesia telah meratifikasi sejumlah konvensi internasional, melahirkan sejumlah UU terkait hak asasi manusia dan menyampaikan sejumlah kegiatan namun hampir sama sekali melupakan (tidak melaporkan) implementasi sejumlah konvensi dan UU tersebut dan apakah implementasi tersebut sudah dinikmati oleh rakyat secara inklusif. Dalam kenyataannya hambatan utama implementasi sejumlah konvensi dan UU tersebut adalah juga produk kebijakan negara yang diskriminatif, dan implementasinya yang nir-HAM, represif dan anti demokrasi.
Menanggapi berbagai rekomendasi tersebut, berbagai kelompok masyarakat sipil di Indonesia ingin menyerukan:
- Isu HAM di Papua, menurut SKPKC Papua, pemerintah RI harus mengundang Komisioner Tinggi ke PBB seperti janji Presiden Jokowi pada 2018. Selain itu, menuntut jaminan kebebasan berekspresi di Papua, izin demonstrasi dalam RKUHP yang akan bertentangan dengan semangat demokrasi.
- Dalam isu hukuman mati, mempertahankan hukuman mati atas nama pemberantasan narkotika dan terorisme sebagaimana disampaikan Menkumham Yasonna Laoly dalam paparannya di sidang UPR merupakan narasi dangkal, tidak
berbasis ilmiah dan kental sentimen politik. Faktanya kasus narkotika dan terorisme trennya tetap tinggi. Sejalan dengan lebih dari 23 negara di dunia yang memberikan catatan penghapusan hukuman mati di sidang UPR, Indonesia perlu menyinkronkan kebijakan penghapusan hukuman mati dalam hukum nasional. Terlebih saat ini Indonesia tengah membahas perubahan RKUHP yang mempertahankan hukuman mati. Sembari itu, penting bagi Indonesia melakukan moratorium hukuman mati dan komutasi terhukum mati yang faktanya menggerus kesehatan fisik dan mental terpidana mati dan berkontribusi pada tingginya deret tunggu kematian yang melanggengkan penyiksaan atau hukuman berlapis.
- Revisi KUHP, sejak 4 tahun terakhir, RKUHP banyak memuat pasal-pasal yang bertentangan dengan HAM, seperti pasal-pasal yang mengekang kebebasan berekspresi. Dan terbukti, pasal-pasal ini menjadi pembungkam bagi para aktivis, jurnalis, dan orang-orang yang kritis. Draft terakhir pada 09 November 2022 berbarengan dengan sidang UPR kita, RKUHP masih saja menyimpan pasal-pasal kolonialis tersebut. Ini bukan kemajuan, bahkan kemunduran. Tak hanya itu, pasal-pasal soal living law yang ada di RKUHP juga kemudian mendiskreditkan kelompok masyarakat adat. Kontradiksi terjadi bahwa janji-janji yang disampaikan delegasi PEMRI di ruang sidang UPR tidak terbukti di lapangan. Dalam konteks ini, dalam pemantauan-pemantauan yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil atas UPR dari satu periode ke periode lainnya, seringkali ditemukan rekomendasi yang sama. Ini menandakan bahwa rekomendasi-rekomendasi itu tak kunjung dilakukan.
- Terkait dengan perlindungan terhadap orang-orang LGBTIQ+, Arus Pelangi ingin menegaskan kembali terkait situasi diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok LGBTQ+ di Indonesia yang pada saat sidang kemarin juga menjadi keprihatinan dari setidaknya 16 Negara yang mereview Indonesia dalam sidang UPR siklus ke-4 ini. Kami juga menyambut baik berbagai rekomendasi dari 16 Negara tersebut yang mendorong pemerintah Indonesia untuk, antara lain, menguatkan perlindungan hak-hak kelompok LGBTIQ, termasuk di dalamnya, promosi perlindungan hak HKSR terhadap LGBTIQ; menghentikan segala bentuk diskriminasi berbasis orientasi seksual dan identitas gender diantara melalui pencabutan seluruh aturan diskriminatif terhadap orang orang LGBTIQ+ di indonesia, serta mendorong perlindungan hukum yang komprehensif melalui Undang-undang Anti diskriminasi yang di dalamnya mencakup perlindungan terhadap orang-orang dengan orientasi seksual dan identitas gender yang beragam.
Kami sangat menyayangkan bahwa meskipun begitu banyak negara yang menyampaikan keprihatinan dan rekomendasi mereka tentang situasi kelompok LGBTIQ+ di Indonesia di dalam sidang UPR, namun delegasi Pemerintah Indonesia, yang dipimpin oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly sama sekali tidak memberikan tanggapan terkait isu ini.
Untuk itu, kami menyerukan kepada pemerintah Indonesia untuk;
- Menerima dan berkomitmen untuk menanggapi rekomendasi terkait isu LGBTIQ di Indonesia;
- Membuat mekanisme terkait implementasi rekomendasi dari 16 negara terkait perlindungan dan pemenuhan hak orang orang LGBTIQ+ di Indonesia.
3. Mendorong dan memprioritaskan berbagai upaya nasional untuk memperbaiki situasi HAM bagi kelompok LGBTIQ+ di Indonesia, salah satunya dengan memulai proses konsultasi publik untuk penyusunan legislasi anti diskriminasi yang komprehensif yang menguatkan perlindungan bagi kelompok rentan, termasuk kelompok keragaman seksual dan identitas gender.
- Terkait isu kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB), respon delegasi pemerintah Indonesia yang tidak mengakui berbagai persoalan pemenuhan KBB merupakan bentuk pengingkaran terhadap fakta-fakta yang terjadi selama ini, khususnya pasca evaluasi UPR Indonesia tahun 2017. Peristiwa penghentian paksa pelaksanaan ibadah, penutupan paksa rumah/tempat ibadah, aksi main hakim sendiri, vandalisme, dan ujaran kebencian atas nama agama serta, berbagai bentuk perilaku diskriminasi lainnya masih terus terjadi di Indonesia. Sebagai contoh adalah perusakan dan pelarangan ibadah terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia di kabupaten Sintang, Kalimantan Barat pada tahun 2021 lalu. Masjid komunitas muslim Ahmadiyah tersebut dirusak dan dibakar oleh kelompok intoleran di hadapan para aparatur negara. Lebih ironisnya lagi, perusakan tersebut juga didorong oleh kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah setempat terkait kelompok Ahmadiyah dengan menggunakan dasar hukum SKB 3 Menteri tentang Ahmadiyah. Belum lagi berbagai peristiwa penolakan terhadap pembangunan gereja, perusakan terhadap tempat ibadah kelompok kepercayaan, pemaksaan cara berpakaian menurut agama tertentu di sekolah negeri, dan lain sebagainya juga masih terus terjadi. Bahkan lebih serius lagi, negara turut menjadi aktor baik dalam berbagai tindakan pelanggaran atas KBB, baik dalam bentuk tindakan langsung (commission), pembiaran (omission), atau aturan hukum (judiciary). Regulasi diskriminatif existing dan terus diberlakukan, kapasitas aparatur negara yang buruk dalam tata kebhinekaan, serta impunitas bagi kelompok rentan dan kelompok korban yang terus dipelihara, merupakan persoalan serius di level negara yang mesti segera diatasi. Dalam forum evaluasi UPR kemarin, setidaknya 11 negara memberikan rekomendasi terkait isu toleransi dan KBB bagi seluruh agama/keyakinan di Indonesia. Maka, tidak ada jalan terhormat lain bagi Indonesia, selain menerima dan melaksanakan rekomendasi dalam sidang UPR kemarin. Selanjutnya, pemerintah tidak boleh bersikap defensif, denial, dan menutup mata atas kondisi buruk KBB di Indonesia yang masih terus berlangsung.
- Dalam isu soal hak Penyandang Disabilitas dan intersecting issuenya antara lain ada rekomendasi yang mendukung ratifikasi OP CRPD atau Konvensi PBB tentang Hak penyandang disabilitas. Ratifikasi OP CRPD ini akan sangat mendukung reformasi kebijakan dan perubahan yurisprudensi tentang Hukum dan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap Hak penyandang disabilitas termasuk KUH Pidana maupun KUH Perdata yang masih mempersoalkan kapasitas Hukum atau legal capacity dari penyandang disabilitas intellectual dan psychosocial menjadi kelompok
yang berada di bawah pengampuan. Selain itu penghormatan dan pemenuhan Hak penyandang disabilitas ditekankan oleh banyak negara selama sidang UPR 2022 ini untuk mendapatkan pengakuan serta perlindungan serta pemenuhan yang setara dengan Hak masyarakat sipil lainnya. Isu penting yang lain adalah panti rehabilitasi yang sempat disinggung dan menjadi perhatian bahwa panti bertentangan dengan pasal 19 CRPD dan mendorong semua negara mendukung promosi dan pelaksanaan kehidupan yang Mandiri dan bebas panti secara bertahap. Pendekatan yang berbasis belas kasihan dan berbasis medis yang masih saja dilakukan oleh negara dan berbagai institusinya harus terus menerus dieliminasi agar penyandang disabilitas mendapatkan haknya yang setara dan dijamin oleh negara.
- Menyoal kebebasan pers dan ekspresi, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat berbagai rekomendasi dari sejumlah negara mulai dari perlindungan terhadap pers hingga hak publik atas informasi yang bisa dipercaya. Karena itu, AJI berpandangan bahwa penting bagi negara untuk segera membentuk sistem perlindungan jurnalis secara komprehensif agar tidak ada lagi jurnalis yang menjadi korban kekerasaan saat bertugas. Pembentukan sistem ini harus melibatkan Dewan Pers, organisasi jurnalis, akademi, dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Berdasarkan monitoring AJI sejak 1996-2010, sedikitnya terdapat sembilan kasus pembunuhan terhadap jurnalis dengan delapan kasus di antaranya belum terungkap dalang utamanya. Selain itu terdapat 935 kasus serangan dan jenis hambatan lainnya terhadap jurnalis dan media sejak 2006 hingga akhir Oktober 2022. AJI juga mendorong pemerintah dan DPR untuk menghapus pasal-pasal karet di sejumlah Undang-Undang seperti UU ITE dan KUHP yang kerap digunakan untuk mempidanakan jurnalis. Selain itu, penting bagi pemerintah untuk membuat kebijakan yang pro-kebebasan pers seperti membuka akses jurnalis, termasuk jurnalis asing ke Papua dan Papua Barat. Ini sekaligus untuk menjamin hak warga negara mendapatkan informasi yang dapat diandalkan dari jurnalis yang bekerja secara bebas dan profesional.
- Sejumlah negara menyoroti dan memberikan rekomendasi terkait dengan situasi hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat di Indonesia. Menurut YAPPIKA, dalam UPR keempat ini pemerintah Indonesia harus mengambil langkah serius untuk mendorong lingkungan yang aman, saling menghormati, dan mendukung bagi masyarakat sipil, dengan menghapus langkah-langkah dan praktik hukum dan kebijakan yang membatasi penikmatan terhadap hak atas kebebasan berkumpul, berserikat dan kebebasan fundamental lainnya, termasuk mencabut UU No 16 / 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Antara 2014 hingga 2020, Koalisi Kebebasan Berserikat (KKB) mendokumentasikan setidaknya terdapat 804 kasus, dengan 1,115 bentuk tindakan yang menghambat penikmatan hak atas kebebasan berserikat di Indonesia. Di sisi lain pemerintah Indonesia juga perlu memastikan tersedianya sumber daya yang dapat memperkuat dan dapat diakses oleh organisasi masyarakat sipil tanpa diskriminasi.
- Dalam pandangan Migrant CARE, informasi yang disampaikan delegasi Indonesia mengenai implementasi komitmen Indonesia dalam pemenuhan hak asasi pekerja
migran di Indonesia hanya disampaikan secara normatif dan instrumental dan tidak mencerminkan realitas kerentanan pekerja migran Indonesia yang makin terpuruk di masa pandemi. Sorotan dan desakan beberapa negara agar Indonesia memberi perhatian khusus mengenai perlindungan pekerja migran, khususnya di sektor pekerja rumah tangga dan sektor perikanan mengkonfirmasi bahwa sektor ini harus segera mendapatkan perhatian khusus. Oleh karena itu ratifikasi dan implementasi Konvensi ILO I88 tentang Pekerjaan di Perikanan dan Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak Bagi Pekerja Rumah Tangga dan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga harus segera dilakukan.
- Situasi pemenuhan hak pengungsi dan pencari suaka dalam sidang UPR putaran keempat untuk Indonesia sempat disorot oleh dua negara yang salah satunya memberikan rekomendasi agar Indonesia segera melakukan ratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Walaupun demikian, sangat disayangkan bahwa perwakilan Indonesia dalam sidang tersebut sama sekali tidak memberikan respon terkait isu pemenuhan dan perlindungan hak bagi kelompok pengungsi dan pencari suaka di Indonesia. Sebelumnya, SUAKA bersama dengan jaringan masyarakat sipil pemerhati isu pengungsi dan pencari suaka di Indonesia telah mengirimkan laporan situasi hak pengungsi dan pencari suaka di Indonesia dengan menyorot empat isu utama yakni solusi jangka panjang, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, serta hak kesempatan bermata pencaharian. Pemerintah Indonesia sudah harus mulai menimbang pentingnya isu ini dan setidak-tidaknya dalam membuat payung hukum untuk pemenuhan dan perlindungan hak bagi para pengungsi dan pencari suaka di Indonesia.
- Terkait isu pembela hak asasi manusia, argumentasi pemerintah bahwa telah terbangun kerjasama yang baik antara pemerintah dengan kelompok masyarakat sipil dalam isu pemenuhan hak asasi manusia adalah pepesan kosong belaka. Faktanya, masih banyak aktifis atau pembela HAM yang dikriminalisasi oleh pemerintah. Bahkan peristiwa penyerangan dan kekerasan yang dialami oleh para pembela HAM di Indonesia, baik serangan secara langsung (fisik) maupun serangan digital tidak pernah diusut tuntas oleh pemerintah dalam hal ini kepolisian. Lebih buruk lagi, argumentasi delegasi pemerintah bahwa saat ini sudah ada regulasi yang melindungi para pegiat lingkungan di Indonesia, faktanya justru pembela lingkungan lah yang paling banyak mendapat serangan atau kriminalisasi dari pemerintah.
Sidang UPR merupakan bentuk evaluasi bagi akuntabilitas pelaksanaan komitmen HAM Indonesia. Mekanisme UPR ini jangan dijadikan alat pencitraan bahwa Indonesia sudah ramah HAM dan harus menjadi cermin bahwa masih banyak tantangan, masalah dan agenda yang harus dipenuhi oleh pemerintah Indonesia dalam penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia di Indonesia. Menerima dan melaksanakan seluruh rekomendasi UPR dengan menggunakan pendekatan HAM. Selain itu, penting untuk melibatkan korban pelanggaran HAM, masyarakat sipil, dan berbagai institusi HAM karena hal itu akan memberikan jaminan keadilan untuk para korban pelanggaran HAM dan memajukan akuntabilitas HAM di Indonesia.
HRWG, OHANA, SETARA Institute, YLBHI, LBH Masyarakat, Migrant Care, Imparsial, Arus Pelangi, SUAKA, YAPPIKA-ActionAid, AJI Indonesia, Kalyanamitra, PBHI, ELSAM.