SIARAN PERS BERSAMA
Pemerintah baru saja mengumumkan larangan kegiatan, penggunaan simbol dan atribut, serta penghentian kegiatan Front Pembela Islam (FPI), melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) yang melibatkan enam menteri/kepala lembaga sekaligus (Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kepala Polri, dan Kepala BNPT). SKB tersebut dikeluarkan setidaknya dengan pertimbangan bahwa secara de jure FPI dianggap telah bubar, karena sudah tidak lagi terdaftar di Kemendagri sejak bulan Juni 2019. Selain itu, pemerintah juga menyebutkan FPI telah terlibat dalam berbagai peristiwa, yang di dalamnya diduga terdapat tindak pidana. Namun demikian, apakah dasar hukum keputusan tersebut sudah tepat termasuk secara prosedurnya?
Kami memandang upaya negara untuk menindak tegas kelompok-kelompok kekerasan dan intoleran di masyarakat merupakan langkah yang positif. Namun demikian, langkah tersebut harus dilakukan dengan mempertimbangkan jaminan dan perlindungan kebebasan berserikat dan berorganisasi warga negara yang dijamin oleh konstitusi. Dalam konteks negara demokrasi, kebebasan berserikat dan berorganisasi bukan hanya esensial bagi individu dan masyarakat. Walaupun demikian, pembatasan terhadap hak tersebut dimungkinkan dengan tetap mengacu pada prinsip dan standar hak asasi manusia. Hal ini mengingat hak-hak tersebut sangat terkait dengan hak asasi manusia lainnya, seperti hak atas kebebasan berkeyakinan, kebebasan berekspresi, menyatakan pendapat dan lainnya. Lebih jauh kebebasan ini juga berfungsi sebagai sarana bagi setiap individu dan kelompok untuk menikmati dan memperjuangkan hak asasinya.
Sejatinya, mengacu pada pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 82/PUU-XI/2013 dalam pengujian UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, disebutkan bahwa, “…Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau pelanggaran hukum”. Pertimbangan itu kemudian diperkuat lagi dalam Putusan MK No. 3/PUU-XII/2014, yang menyatakan “…. Ormas yang tidak terdaftar atau tidak mendaftarkan diri tidak pula dilarang dalam Undang-Undang a quo sehingga Ormas yang demikian tetap memiliki hak hidup sepanjang kegiatan-kegiatannya tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, melanggar hak kebebasan orang lain, …”. Artinya, pendaftaran ormas harus dipandang bersifat sukarela dan tanpa paksaan, sehingga ketiadaan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) sebagai dokumen registrasi tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk melakukan pelarangan kegiatan Ormas. Pendaftaran semata-mata hanya diperlukan jika Ormas yang bersangkutan bermaksud untuk mendapatkan bantuan fasilitas dan layanan dari negara. Kendati begitu, Ormas yang tidak terdaftar harus diperlakukan secara setara dan diakui keberadaannya, sebagaimana halnya dengan Ormas yang terdaftar maupun berbadan hukum.
Hal itu sebenarnya menekankan tentang pentingnya peran pemerintah untuk menjamin proporsionalitas dari tindakan yang dilakukannya, agar berkesesuaian dengan tujuan yang sah yang ingin dicapai dalam konteks pembatasan terhadap kebebasan berserikat dan berorganisasi. Pelarangan dan pembubaran terhadap suatu organisasi hanya dimungkinkan sepanjang langkah-langkah lunak (soft measures) sudah dianggap tidak mampu mengatasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh organisasi bersangkutan, sehingga dibutuhkan langkah terakhir (the last resort) dalam bentuk pelarangan atau pembubaran.
Pun demikian tindakan pembubaran terhadap suatu organisasi, sebagai bentuk pembatasan terhadap kebebasan berserikat, harus sepenuhnya mengacu pada prinsip-prinsip due process of law, dimana pengadilan memegang peranan kunci dalam prosesnya. Pengadilan harus digelar secara terbuka dan akuntabel, kedua belah pihak (pemerintah dan pihak yang dilakukan pembubaran) harus didengar keterangannya secara berimbang (audi et alteram partem), serta putusannya dapat diuji pada tingkat pengadilan yang lebih tinggi. Ini senada dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 6-13-20/PUU-VIII/2010 yang mengatakan, “… mutlak adanya due process of law yaitu penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan. Apabila ada suatu perbuatan dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum maka prosesnya harus melalui putusan pengadilan ….”. Oleh karenanya, meski prosedur pelarangan atau pembubaran suatu Ormas melalui proses pengadilan tidak lagi diatur dalam UU No. 16/2017 (Pengesahan Perppu No. 2/2017 tentang Perubahan UU No. 17/2013 tentang Ormas), untuk tetap memastikan bekerjanya prinsip dan sistem negara hukum, sudah semestinya pelarangan kegiatan FPI juga dilakukan melalui mekanisme pengadilan.
Mengacu pada dasar pertimbangan yang dikemukakan oleh pemerintah, pelarangan sesungguhnya dapat dilakukan bersamaan dengan proses pidana terhadap FPI dan para pengurus FPI, yang menjadi bagian utama berjalannya organisasi. Mekanisme ini sebenarnya pernah ditempuh dalam kasus pelarangan Jamaah Islamiyah (JI), dalam perkara pidana terorisme yang melibatkan Abu Dujana, yang diputus oleh PN Jakarta Selatan pada 2008 (Putusan No. 2189/Pid.B/2007/PN.Jkt.Sel). Mekanisme ini kemudian diperkuat dengan hadirnya UU No. 5/2018 tentang Perubahan UU No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang menjadi dasar pelarangan terhadap Jamaah Ansharut Daulah dan ISIS. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 169 KUHP, yang menjadi dasar pemidanaan bagi suatu korporasi. Berdasar informasi yang disampaikan, perihal dukungan (pengurus) FPI terhadap ISIS dan juga baiat sebagian dari anggota FPI terhadap ISIS, pilihan pelarangan melalui pengadilan semestinya diambil pemerintah, untuk memastikan bekerjanya prinsip due process of law.
Lebih jauh, pilihan pelarangan kegiatan FPI melalui mekanisme SKB sesungguhnya telah mengingatkan kita pada keluarnya SKB 3 Menteri (Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung) tentang pelarangan kegiatan Ahmadiyah pada 2008 yang lalu. Pada prinsipnya, SKB merupakan suatu penetapan yang berbentuk Keputusan (beschikking), sehingga muatan normanya harus bersifat individual, konkrit, dan sekali selesai (einmalig). Namun demikian, mencermati SKB tersebut di atas, justru materi muatannya bersifat berlaku terus-menerus (dauerhaftig). Ketidakselarasan antara bentuk dengan materi muatan dalam SKB justru dikhawatirkan akan menciptakan risiko ketidakpastian hukum, yang akan berdampak pada potensi pelanggaran terhadap kebebasan sipil warga negara, seperti halnya yang dialami kelompok minoritas seperti Ahmadiyah selama ini.
Selain itu, belajar dari situasi ini, ke depan semestinya penegak hukum juga lebih konsisten untuk melakukan proses penegakan hukum terhadap semua tindakan kekerasan atau dugaan tindak pidana lainnya, termasuk yang melibatkan organisasi kemasyarakatan dengan latar belakang apapun. Sekali lagi tindakan keras terhadap kebebasan berserikat dan berorganisasi, dalam bentuk pelarangan atau pembubaran, harus ditempatkan sebagai mekanisme terakhir, setelah seluruh mekanisme lain dilakukan, termasuk proses hukum terhadap dugaan tindak pidana yang melibatkan para pengurusnya. Dengan tetap menekankan pada pelaksanaan prinsip-prinsip negara hukum (the rule of law) dan proses hukum yang adil (fairness).
Jakarta, 30 Desember 2020
ELSAM, Imparsial, ICJR, PIL NET Indonesia dan PBHI