Pers Rilis PBHI
Pada akhir 2021 ini, Kepala Kepolisian Republik Indonesia saat ini Idham Azis telah memasuki masa pensiun dari Jabatannya. Merespon hal tersebut, Presiden RI Joko Widodo telah mempertimbangkan beberapa nama calon Kapolri baru. Adapun pemilihan tersebut hasil dari pemilihan nama-nama yang direkomendasikan oleh Kompolnas maupun Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti).
Merespon pemilihan Kapolri baru tersebut, PBHI kembali mengingatkan beberapa Pekerjaan rumah yang hingga kini masih belum terselesaikan dan menjadi tugas penting Kapolri terpilih nantinya. Mengingat PBHI sampai saat ini terlibat langsung dalam berbagai kegiatan advokasi isu penegakkan hukum dan hak asasi manusia yang bersinggungan langsung dengan kerja-kerja Kepolisian RI, kami menemukan fakta bahwa hingga saat ini dominasi penggunaan kekerasan, penyiksaan dan dalam melakukan penanganan hukum masih melekat erat di tubuh Polri.
PBHI menyoroti berbagai pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang paling tinggi terjadi selama 2020, sebagai berikut:
Pertama, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, serta penghalangan akses layanan bantuan hukum. Berdasarkan data yang dihimpun, akhir tahun 2020 kemarin PBHI mencatata ribuan masyarakat ditangkap dan ditahan sewenang-wenang oleh Aparat dalam merespon penanganan aksi menolak Omnibus Law. Selain itu, setelah upaya paksa dilakukan PBHI juga menemukan bahwa aparat kerap menghalangi akses layanan bantuan hukum yang seharusnya menjadi hak para korban.
Kedua, penyiksaan. PBHI mencatat bahwa tindakan penyiksaan pada proses penyidikan masih kerap dilakukan oleh Aprat Kepolisian dalam rangka menggali keterangan dan pengakuan pelaku, korban maupun saksi. Padahal Polri sendiri memiliki regulasi internal yakni Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia. Kebijakan tersebut kemudian diturunkan dalam pedoman Standar Operasional Prosedur (SOP) tentang anti kekerasan saat bertugas.
Ketiga, Pembatasan akses kebebasan berpendapat. Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia sebetulnya telah dengan tegas menjamin bahwa dalam menjalankan tugas dan kewajibannya Polri wajib menghormati prinsip dasar penghormatan atas HAM. Namun hingga saat ini PBHI masih kerap mendapati anggota POLRI dalam melakukan penghalangan atas aksi-aksi yang dilakukan oleh masyarakat, berupa tidak memberikan Izin aksi dan upaya penghadangan Para peserta aksi dalam perjalanannya untuk menyampaikan pendapat.
Keempat, kriminalisasi terhadap kasus-kasus yang bukan pidana dengan alasan defamasi. Sepanjang tahun 2020, dapat ditemukan terjadinya tindak pidana terhadap masyarakat sipil yang mengkritik Pejabat Negara, salah satunya ialah kasus Jerinx SID, divonis hukuman satu tahun penjara karena dianggap menyebut ‘IDI Kacung WHO’. Padahal, kritik merupakan Hak atas Kebebasan Berekspresi sekaligus bentuk kontrol terhadap kekuasaan negara dan pejabatnya.
Berdasarkan beberapa poin yang telah dijelaskan, PBHI menyoroti pentingnya pengawasan baik dari internal maupun eksternal tubuh Polri sebagai jaminan control of power yang dimiliki oleh masyarakat. Selain itu, penghalangan-halangan akses layanan bantuan hukum yang kerap dilakukan oleh anggota Polri merupakan preseden buruk yang dengan tegas telah melanggar prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia dalam kerja-kerja Polri sebagaimana tercantum dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selain itu, PBHI juga mendorong Presiden Joko Widodo untuk memastikan Kapolri Terpilih melaksanakan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi) dan menindak tegas setiap pelanggaran HAM yang terjadi. Kapolri Terpilih juga harus memastikan adanya evaluasi dan pembenahan kelembagaan secara menyeluruh, agar tidak kembali mengulangi pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang terjadi selama ini berulang-ulang kali. (PBHI Nasional)