Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) perlu menyampaikan keberatan terhadap bakal calon Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang diduga mempunyai catatan buruk atau bermasalah, untuk menggantikan Letjen TNI (Purn) Marciano Norman. Rekam jejak Kepala BIN yang bersih dari dugaan kejahatan politik atau serius maupun bertanggung jawab dalam pelanggaran hak-hak manusia, perlu menjadi kriteria dan tolok ukurmya.
Namun, sebelumnya PBHI perlu memberikan catatan yang tidak patut dilakukan Presiden Joko Widodo dalam mengangkat seorang partisan atau politisi Partai Nasdem, HM Prasetyo sebagai Jaksa Agung pada 20 November 2014. Berikutnya, mencalonkan Komjen Budi Gunawan untuk menjadi Kapolri pada 9 Januari silam dan KPK pun menetapkannya sebagai tersangka korupsi, yang berdampak kekisruhan antara KPK dan Mabes Polri, kendati belakangan diketahui bukan inisiatif Presiden atau diduga tekanan dari beberapa tokoh berpengaruh di partai-partai koalisi pendukung Presiden. Tambahan lagi, mengangkat sembilan orang anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pada 19 Januari, yang banyak berasal dari partai kendati mantan Kepala BIN era Presiden Megawati, AM Hendropriyono batal diangkat.
Sejak November 2014, sudah muncul sedikitnya empat nama calon Kepala BIN, yaitu mantan Wakil Menteri Pertahanan Letjen (Purn) Sjafrie Sjamsoeddin, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara As’ad Said Ali di era Megawati, mantan Wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi, serta Ketua Umum PKPI Letjen (Pur) Sutiyoso. Mereka tidak layak dan tidak patut diangkat menjadi Kepala BIN.
Sjafrie Sjamsoeddin diduga memiliki catatan yang bermasalah menjelang jatuhnya Soeharto, terkait atas keterlibatan dan tanggung jawabnya dalam beberapa peristiwa politik ketika menjadi Panglima Kodam Jaya, selain beberapa catatan kasus di Timor Leste sebelum hasil referendum resmi dimenangkan pihak prokemerdekaan pada 1999.
As’ad Said Ali diduga memiliki catatan buruk dalam kaitannya dengan pembunuhan berencana dan bernuansa konspiratif terhadap pembela hak-hak manusia Munir yang dioperasikan langsung oleh agen lapangan yang “merangkap” pilot Garuda yang sudah dipidana, yakni Pollycarpus Budihari Priyanto, menjelang putaran kedua Pemilu Presiden, September 2004. Sesudah bertaburan remisi (discount), Pollycarpus menikmati pembebasan bersyarat yang diberikan Kementerian Hukum dan HAM di bawah Menkum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly asal PDIP.
Fachrul Razi memang belum diketahui dugaan keterlibatannya dalam operasi kejahatan politik militer di masa lalu, namun diduga terlibat klik para jenderal menjelang peralihan kekuasaan dari Soeharto kepada BJ Habibie, khususnya tanggung jawabnya bersama mantan Panglima TNI Wiranto yang gagal mencegah Tragedi Trisakti dan Kerusuhan Mei 1998. Sedangkan Sutiyoso, selain partisan sebagai ketua partai, juga diduga bertanggung jawab atas penyerbuan Kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996, Jakarta Pusat.
Mempertimbangkan catatan buruk itu, PBHI meminta Presiden Jokowi tidak memilih atau mengangkat salah seorang dari mereka menjadi Kepala BIN. Keberatan PBHI ini perlu dipertimbangkan supaya Presiden tidak mengulangi kekeliruan sebelumnya dalam mengangkat Jaksa Agung dari Nasdem dan mencalonkan Kapolri yang memiliki catatan harta kekayaan yang tidak dapat diklarifikasi maupun kedekatannya dengan beberapa petinggi partai. Kriteria tidak terlibat atau ikut atas dugaan kejahatan politik dan pelanggaran hak-hak manusia maupun dugaan korupsi, perlu menjadi pegangan Presiden.
Karena itu, PBHI juga meminta Presiden untuk melibatkan Komnas HAM dan KPK dalam melaporkan catatan mereka sebelum memilih dan mengangkat Kepala BIN. Selain itu, profesionalitas – bukan partisan politik – di bidangnya juga pantas dijadikan kriteria berikutnya supaya peristiwa yang mendera almarhum Munir tidak berulang.
Jakarta, 30 Januari 2015
Badan Pengurus Nasional PBHI
Suryadi radjab
Sekretaris