PBHI dalam hal ini berharap, bahwa Nota Kesepemahaman ini bukan hanya dibuat dengan dasar pertimbangan efisiensi anggaran dan ketidakmampuan Lembaga Pemasyarakatan menampung jumlah tahanan yang tiap tahun semakin bertambah. Namun juga upaya solutif atas ketidakberesan pengelolaan rumah tahanan, termasuk ketidaksesuaian antara praktik didalam tahanan dengan rumusan ketentuan Internasional tentang Standard Minimum rules for the Treatment of Prisoners. Termasuk diantaranya, meniadakan praktik hukuman merendahkan martabat dan perlakuan buruk terhadap tahanan.
Tanpa prakondisi yang tepat berupa langkah tindak lanjut yang berbasis pada ketentuan Standard Minimum for the Treatment of Prisoners upaya Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia ttg pengelolahan cabang tahanan di luar Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dalam menggagas MOU dengan Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Departemen Keuangan Republik Indonesia tentang “Pengelolaan Rumah Tahanan (rutan) diluar Kementerian Hukum dan HAM” tidak akan menyelesaikan permasalahan berkaitan dengan ketidak beresan tata kelola cabang rutan khususnya tentang penempatan tahanan kelebihan kapasita tahanan di Indonesia yang membawa akibat langsung terhadap maraknya pelanggaran HAM terhadap orang yang ditahan.
Permasalahan penahanan tidak hanya terletak pada kondisi ruang-ruang tahanan, namun bila dilihat secara pengaturan hal ini disebabkan masih besarnya kewenangan yang diberikan peraturan perundang-undangan khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) terhadap masing-masing instansi penegak hukum (Kepolisian RI, Kejaksaan Agung RI dan Mahkamah Agung RI) untuk melakukan penahanan terhadap orang yang disangkakan melakukan tindak pidana diatas lima tahun dengan hanya dengan asumsi terjadinya tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana, dengan jangka waktu penahanan yang dapat mencapai 700 hari, tanpa adanya mekanisme kontrol yang jelas apakah penahanan tersebut memang dibutuhkan atau tidak.
Konvensi hak sipil dan politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No 12 Tahun 2005 secara tegas menyatakan “Setiap orang yang ditahan berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera dihadapkan ke depan pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan merupakan suatu ketentuan umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan dapat diberikan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu sidang, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan, apabila diputuskan demikian”
Politik penegak hukum yang lebih menekankan kepada penahanan terhadap tersangka mengakibatkan melonjaknya orang-orang yang ditahan yang mengakibatkan berpotensi terjadinya pelanggaran HAM didalam ruang-ruang tahanan. Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia sebagai organisasai masyarakat yang memiliki visi “Terwujudnya negara yang menjalankan kewajibannya untuk menghormati melindungi dan memenuhi hak asasi manusia, dengan ini menyatakan :
Meminta Departemen Hukum dan HAM secara serius untuk segera merumuskan rencana tindak lanjut atas Nota Kesepahaman ini dalam bentuk rumusan tata kelola rumah tahanan dengan mengacu pada ketentuan Standard Minimum for the Treatment of Prisoners dan jangka waktu penahanan oleh penyidik berdasarkan ketentuan internasional
Menuntut jaminan pemerintah terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak tersangka/terdakwa yang ditahan sebagiamana diatur dalam Konvensi Hak Sipil dan Politik.
Meminta Pemerintah khususnya Eksekutif dan Legislatif dengan melibatkan masyarakat sipil secara serius melakukan pembaharuan hukum acara pidana di Indonesia khususnya mengenai kewenangan penahanan.
Jakarta, 13 Juni 2010
Badan Pengurus Nasional
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia – PBHI
Angger Jati Wijaya
Ketua