Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) sangat menyesalkan perilaku DPR yang mandul dalam menjalankan fungsi pengawasan yang sudah diberikan konstitusi dan UU MD3, khususnya dalam menyetujui calon Kapolri Komjen Budi Gunawan (BG) yang diajukan Presiden Joko Widodo pada 9 Januari 2015. Sudah jelas BG ditetapkan sebagai tersangka korupsi dalam kasus penerimaan gratifikasi oleh KPK pada 13 Januari silam, namun sebaliknya DPR justru menyetujuinya pada 14-15 Januari.
PBHI perlu menegaskan beberapa hal terkait fungsi pengawasan DPR dalam kasus BG. Pertama, ketika BG ditetapkan sebagai tersangka korupsi, DPR justru menyetujui calon Kapolri itu supaya segera dilantik Presiden. DPR tidak memastikan sangkaan perbuatan tercela dan korupsi – ditegaskan dalam konstitusi dan UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, dan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi – harus dibersihkan dari seorang calon pejabat tinggi. Yang terjadi adalah DPR hanya bersandar pada asas legalistik, karena BG belum terbukti bersalah yang diputuskan pengadilan. Moralitas dan etika politik disingkirkan dalam bertata negara yang bersih dan bebas korupsi. Persetujuan DPR ini tidak layak dan tidak patut.
Kedua, pada hari yang sama BG ditetapkan sebagai tersangka korupsi, namun Ketua III DPR bersama anggotannya berbondong-bondong mendatangi rumah BG, dengan menggunakan tiga bus, atas dalih mengundang BG untuk urusan uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test). Mereka diibaratkan memberikan selamat kepada seorang tersangka korupsi. Seakan-akan menjadi tersangka korupsi sesuatu yang patut dibanggakan. Komisi ini memberikan contoh buruk kepada rakyat atas perilakunya yang mempertontonkan dukungan secara berbondong-bondong terhadap seorang tersangka – bukan melawan kejahatan korupsi dan perbuatan tercela.
Ketiga, banyak orang sudah tahu bahwa BG tersangka korupsi, namun pimpinan Komisi III bersama para anggotanya justru menggelar uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon Kapolri yang sudah menjadi tersangka itu. Apakah layak dan patut, seorang tersangka korupsi diuji sebagai calon pejabat tinggi penegak hukum? Bukankah yang bersangkutan sudah dituduh melakukan perbuatan melanggar hukum yang serius: korupsi? Bagaimana mempertanggungjawabkannya, seorang yang sesungguhnya tidak layak dan tidak patut, justru diuji atas kelayakan dan kepatutannya? Apakah dapat dipercaya Komisi ini meluluskan seorang tersangka korupsi dengan nilai “layak” dan “patut”, serta “tanpa cacat”? Komisi macam apakah itu?
Keempat, perilaku Komisi III yang menguji dan pimpinan DPR yang memparipurnakan pencalonan BG sebagai Kapolri, tidak berkoordinasi dengan KPK dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam urusan data harta kekayaan calon Kapolri. Sebaliknya hanya berpegang pada data yang dipresentasikan BG yang berasal secara sepihak dari Mabes Polri. Padahal, KPK mempunyai dokumentasi Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dan PPATK mempunyai Laporan Hasil Analisis (LHA) atas transaksi keuangan penyelenggara negara. Mengapa Komisi III dan pimpinan DPR tidak meminta data kekayaan calon Kapolri kepada KPK dan PPATK? Apakah mereka lupa atau memang sengaja?
Kelima, publik atau banyak orang tahu bahwa BG adalah tersangka korupsi, karena dia sudah disebut-sebut memiliki “rekening gendut” sejak akhir Juni 2010. Seorang Wakil Ketua Komisi ini menanyakan, apa salah atau haram memiliki “rekening gendut”? Dia tidak menyelidiki: dari mana asalnya kekayaan yang terkandung di “rekening gendut” itu? Siapa saja yang bertransaksi dengan dia sampai rekeningnya menjadi “gendut” atau hartanya menggunung? Di mana saja kekayaannya tersebar dan disembunyikan? Apakah anak, istri dan lain sebagainya memperoleh aliran dana dari seseorang atau dari dia? Masih banyak pertanyaan kalau DPR mau menyusun daftarnya secara kritis. Namun, uji kelayakan dan kepatutan yang digelar Komisi tidak sampai ke sini, sehingga dengan mudahnya menghadiahi seorang tersangka memperoleh nilai “layak” dan “patut”, serta “tidak ada yang cacat”. Dengan rendahnya kemampuan mereka sebagai penguji, maka DPR berimplikasi negatif atas penggunaan hak interpelasi, hak bertanya dan hak angket, kelak.
Dengan beberapa penegasan itu, PBHI berkesimpulan dalam kaitannya dengan pengujian dan pelulusan BG, bahwa DPR sudah mandul dalam menjalankan fungsi pengawasannya terhadap pejabat atau penyelenggara negara. DPR tidak menghasilkan sesuatu yang berguna dalam kaitannya dengan memberantas dan mencegah korupsi. DPR cuma banyak omong. Sebaliknya tidak menghargai data yang sudah susah payah dikumpulkan, didokumentasikan, dan disusun dalam sebuah laporan harta kekayaan oleh lembaga-lembaga yang dibentuk berdasarkan UU. Lagi pula, DPR cuma bisa melemparkan beban kepada Presiden yang juga sudah keliru mencalonkan BG, tanpa kemampuan menguji calon Kapolri.
Karena itu, PBHI meminta Komisi III untuk introspeksi atas perilakunya yang banyak omong, cerewet, dan sok punya kuasa, namun tidak mampu menguji seseorang dengan cerdas dan bertanggung jawab. Para anggota DPR harus mau dan bertekad keras untuk memulihkan persepsi sebagian orang tentang cap “politisi busuk”.
Jakarta, 29 Januari 2015
Badan Pengurus Nasional PBHI
Suryadi Radjab
Sekretaris