Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan usulan mengubah keberadaan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang sekarang masih di bawah Presiden menjadi di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) atau Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Usulan PBHI didasarkan atas perkembangan akhir-akhir ini yang terkait dengan berulangnya konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Mabes Polri yang disusupi kepentingan partai-partai politik dalam mempengaruhi dan menekan keputusan Presiden atas pencalonan Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri.
Pertama, dalam mengurus Polri, Presiden perlu berbagi beban kerja politik dengan menterinya. Secara struktural, Polri tidak perlu lagi ditempatkan di bawah Presiden, melainkan di bawah Kemendagri atau Kemenkumham. Pengalihan Polri di bawah Kementerian dapat mengurangi beban politik Presiden ketika menghadapi persoalan yang dihadapi sekarang ini. Persoalan Polri tidak perlu seluruhnya dibebankan kepada Presiden, namun dapat dibagi wewenangnya dengan Kementerian yang membawahinya. Banyak contoh di sejumlah negara yang menempatkan institusi kepolisian di bawah sebuah Kementerian. Beberapa tahun silam, juga pernah muncul usulan dan perdebatan tentang penempatan Polri di bawah Kementerian. Dengan usulan ini Presiden dapat mengusulkan perubahan UU No. 2/2002 tentang Polri kepada DPR.
Kedua, berulangnya konflik Mabes Polri vs KPK telah menguras energi politik yang seharusnya dapat digunakan Presiden untuk menggerakkan kemajuan yang hendak dicapai pemerintah, termasuk mengurangi dan mencegah korupsi maupun penghematan anggaran. Pengalaman pahit pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono perlu menjadi pelajaran berharga bagaimana sulitnya menyelesaikan konflik itu, sehingga Presiden harus turun tangan membentuk Tim Verifikasi Kasus Bibit-Chandra. Sekarang berulang di bawah Presiden Jokowi yang kembali harus membentuk Tim Independen dalam menangani konflik yang sama. Dengan beralih di bawah sebuah Kementerian, Polri tidak mudah lagi menggangu waktu kerja Presiden untuk urusan bagi orang banyak.
Ketiga, lewat perubahan UU No. 2 itu, mekanisme dan prosedur seleksi calon Kapolri harus diperketat di Kementerian termasuk meminta rekam jejak harta kekayaan calon dari KPK dan PPATK. Sedangkan rekam jejak terkait hak-hak manusia dan hukum, dapat diminta dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, Ombudsman, dan Kompolnas. Seleksi ini dilakukan sebelum diajukan kepada Presiden, minimal dua orang calon, sehingga terbuka bagi Presiden untuk memilih tanpa pilihan tunggal. Kemudian Presiden memilih seorang dari hasil seleksi itu untuk disetujui atau tidak disetujui DPR. Dengan mekanisme dan prosedur seleksi seperti ini Presiden dapat memperoleh calon Kapolri yang lebih bersih dar korupsi dan catatan yang lebih baik dalam hak-hak manusia dan hukum.
Keempat, dalam mengambil keputusan tentang siapa yang calon yang dipilih Presiden, partai-partai politik mana pun dan DPR dilarang menekan-nekan Presiden. Dalam perubahan UU No. 2/2002 harus ada sanksi terhadap partai-partai politik dan DPR yang mencampuri seleksi dan pilihan Presiden atas calon Kapolri. Wewenang DPR tersedia dengan menyetujui atau tidak menyetujui calon Kapolri pilihan Presiden termasuk memeriksa calon dalam kaitannya dengan suatu partai politik. Dengan mekanisme ini seorang Kapolri dapat dibersihkan dari kepentingan politik suatu partai supaya dalam menjalankan tugas dan wewenangnya tidak miring atau condong kepada partai-partai politik tertentu. Sebaliknya, Presiden pun dapat bekerja tanpa kegaduhan politik dalam urusannya dengan Polri.
Kelima, dalam perubahan UU No. 2 itu juga memuat pembenahan Polri secara kelembagaan selain berada di bawah sebuah Kementerian. Misalnya, perlu diperjelas kedudukan dan wewenang Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam menangani kasus tindak pidana narkotika atau narkoba. Demikian pula dalam urusan pembuatan surat izin mengemudi (SIM) dirombak dengan sistem satu pintu bersama antara Polantas dan DLAJR (Dinas Perhubungan). Dengan pembenahan ini diharapkan petugas kepolisian lebih difokuskan secara profesional dalam menangani urusan tindak pidana dan keamanan dalam negeri.
Keenam, demi melindungi HAM, khususnya hak-hak tersangka, perubahan UU No. 2/2002 itu perlu memuat sanksi yang tegas terhadap pejabat dan petugas kepolisian yang terlibat dalam rekayasa kasus untuk kriminalisasi atas seseorang. Sebagai contoh, kasus yang menimpa Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW), adalah contoh buruk yang mencoreng citra kepolisian. Beberapa pejabat di Bareskrim Mabes Polri diduga telah melakukan rekayasa kasus yang ditujukan kepada BW untuk menghancurkan kredibilitas dan reputasinya, dengan melibatkan politisi anggota DPR dari Fraksi PDIP. Kalau rekayasa kasus dapat mengorbankan BW sebagai pimpinan KPK, maka diduga lebih banyak lagi kasus yang sama menimpa para tersangka lainnya, terutama orang-orang kecil. Tindakan rekayasa Bareskrim ini mengulangi rekayasa yang pernah dilakukan di bawah Susno Duadji yang telah dijatuhi hukuman ketika berada di bawah Kapolri Bambang Hendarso Danuri. Sekarang inilah waktunya bagi Presiden untuk mencegah rekayasa kasus berulang dalam kaitannya dengan KPK di masa depan.
Ketujuh, rancangan perubahan UU No. 2/2002 juga harus diiringi dengan perubahan UU No. 39/1999 tentang HAM. Wewenang Komnas HAM perlu diperluas untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak-hak tersangka di kepolisian. Laporan penyelidikan Komnas HAM dapat menjadi pertimbangan baik oleh jaksa dalam menuntut maupun hakim dalam memutuskan suatu perkara. Memberi ruang bagi peran Komnas HAM dalam kaitannya dengan perilaku kepolisian dapat memperkuat komitmen Presiden atau pemerintah dalam menghormati dan melindungi hak-hak manusia.
PBHI berharap Presiden mau mempertimbangkan usulan ini mengingat direcokinya wewenang Presiden dalam menentukan Kapolri oleh partai-partai politik, serta diganggunya kerja Presiden oleh kegaduhan konflik Mabes Polri dan KPK. Dengan usulan ini pula PBHI berharap Presiden tidak lagi terporosok pada lubang yang sama di kemudian hari.
Jakarta, 27 Januari 2015
Badan Pengurus Nasional PBHI
Suryadi radjab
Sekretaris PDF