Jakarta, 3 April 2023 – Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar menjalani persidangan pertama di Ruang Sidang Utama, Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Mereka merupakan korban kriminalisasi UU ITE oleh seorang pejabat publik.
Fatia dan Haris dilaporkan oleh Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan setelah memaparkan penelitian tentang bisnis militer di Blok Wabu berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer, Studi Kasus Intan Jaya di Papua” yang dilakukan oleh 9 lembaga yakni YLBHI, WALHI, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace, Trend Asia, dan #BersihkanIndonesia.
Merujuk pada surat dakwaan keduanya, Fatia didakwa dengan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE atau Pasal 14 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1946 subsidair Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 atau Pasal 310 ayat (1) KUHP. Tak jauh berbeda, Haris didakwa dengan susunan Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE, Pasal 14 ayat
(2) UU No. 1 Tahun 1946 subsidair Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 atau Pasal 310 ayat (1) KUHP.
Tim kuasa hukum Fatia dan Haris mengatakan bahwa kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris menunjukan bahwa Luhut sebagai pejabat publik, alih-alih membuka data kepada publik, justru bersikap anti kritik dan menutup informasi. Aktivitas yang dilakukan oleh Fatia dan Haris merupakan ekspresi seorang warga negara yang sifatnya sah dan konstitusional sehingga tidak dapat dikenakan tindak pindana, terlebih sampai pada proses di pengadilan. Digunakannya konstruksi Pasal dalam UU ITE dalam surat dakwaan, khususnya pasal yang berkaitan dengan delik pencemaran nama baik memang terlihat sekali sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat. Terlebih pasal lainnya yang dijeratkan kepada Fatia dan Haris adalah penyebaran berita bohong yang mana seringkali digunakan oleh aparat penegak hukum dalam membungkam kritik publik.
Selain itu, penggunaan pasal UU ITE terhadap Fatia dan Haris menunjukan lemahnya komitmen pemerintah dalam mengimplementasi SKB Pedoman Implementasi UU ITE. Dalam dokumen tersebut disebutkan pada poin 3 huruf c bahwa Pasal 27 ayat (3) tidak dapat dikenakan pada bentuk penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan. Sayangnya, pendapat yang berbasis pada sebuah kajian/riset terhadap suatu kebijakan penting di Papua dengan melibatkan skandal konflik kepentingan pejabat publik justru dipidanakan.
“Aktivitas yang dilakukan oleh Fatia dan Haris merupakan bagian dari upaya masyarakat sipil dalam mengontrol kerja pemerintah dan pejabat publik agar tak terjadi absolutisme kekuasaan. Dalam beberapa kasus pun, kerja-kerja semacam ini memang seringkali mendapatkan serangan berupa ancaman, intimidasi, teror dan kriminalisasi seperti halnya
dalam kasus ini. Kasus kriminalisasi Fatia dan Haris ini begitu kental dengan muatan politik, apalagi saksi pelapor merupakan Luhut Binsar Pandjaitan yang notabene merupakan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi. Luhut pun terkenal memiliki pengaruh yang sangat besar di pemerintahan, sehingga Ia diduga mudah untuk mengontrol proses penegakan hukum terhadap Fatia dan Haris,” ujar Muhammad Isnur, tim hukum Fatia dan Haris.
Proses pemidanaan terhadap Fatia dan Haris merupakan hal tak berdasar dan dipaksakan. Sepanjang proses hukum berjalan, tim hukum menemukan sejumlah kejanggalan. Secara formil, Jaksa Penuntut Umum melakukan pemisahan berkas perkara pidana (splitsing) terhadap Fatia dan Haris. Hal ini tentu saja janggal, sebab keduanya berada dalam satu video dan platform yang sama serta tindakan baik Fatia – Haris tidak dapat dipisahkan. Jika merujuk pada Pasal 142 KUHAP pun, beberapa persyaratan jelas tidak terpenuhi seperti halnya berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka. Sementara dugaan tindak pidana yang disangkakan Jaksa Penuntut Umum sama, ditegaskan dengan persangkaan pasal perbarengan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP. Penggabungan perkara juga seharusnya dilakukan karena sesuai dengan asas peradilan yakni cepat, sederhana dan biaya ringan.
Dalam persidangan pertama ini, Tim kuasa hukum Fatia dan Haris pun telah mengajukan surat permohonan penggabungan perkara kepada Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan Jaksa Penuntut Umum. Hal tersebut sejalan dengan asas non self-incrimination sebagaimana diatur oleh Pasal 14 angka (2) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang juga Indonesia telah ratifikasi lewat UU No, 12 Tahun 2005. Sayangnya, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan permohonan tersebut dan menyatakan akan menyidangkan kasus ini sesuai dengan dakwaan penuntut umum. Hakim Ketua pun beralasan bahwa akan melanjutkan proses hanya karena berkas yang sudah diterima dari Kejaksaan di-split menjadi dua seperti itu. Majelis Hakim sejatinya memiliki independensi serta kewenangan dalam menentukan jalannya persidangan sebagaimana mandat UU Kekuasaan Kehakiman, sehingga kami menilai keputusan tersebut tidak tepat.
“Dalam kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris, Jaksa tidak mengerti pembahasan dan pokok permasalahan pada masalah ini, khususnya yang disampaikan Fatia dan Luhut pada podcast. Dakwaan yang disampaikan oleh jaksa penuntut umum kami lihat juga hanya berfokus dan terbatas pada ucapan Fatia dan Haris. Padahal jauh dari pada itu, video podcast yang diunggah merupakan bahasan yang mendalam berkaitan dengan riset koalisi masyarakat sipil. Hal ini sekaligus menandakan bahwa Jaksa enggan untuk menyentuh pada aspek yang lebih substansial dengan mempertimbangkan riset ekonomi-politik penempatan militer di Papua tersebut,” tambah Isnur.
Sementara itu, di luar ruang persidangan, tepatnya di depan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan selasar ruang sidang utama PN Jakarta Timur, masyarakat sipil menggelar aksi solidaritas terhadap Fatia dan Haris. Aksi ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat seperti organisasi masyarakat sipil, akademisi, buruh, mahasiswa, dll.
Koordinator aksi, Dimas Arya dari KontraS mengatakan bahwa aksi ini digelar untuk menunjukkan kepada publik dan menyampaikan kepada pengadilan bahwa pemidanaan terhadap Fatia dan Haris oleh seorang pejabat publik merupakan gejala sebuah negara yang otoriter.
“Aksi gabungan solidaritas koalisi masyarakat sipil di depan Pengadilan Negeri Jakarta Timur adalah bentuk kritik terhadap kesewenangan negara yang masih acap kali abai terhadap hak-hak berpendapat warganya terutama ketika menyampaikan kritik perbaikan untuk situasi papua. Aksi gabungan juga sebagai bentuk dukungan kepada seluruh korban kekerasan dan kriminalisasi termasuk Fatia-Haris yang sampai saat ini masih terus direpresi dengan ancaman hukum,” kata Dimas Arya.
Atas dasar tersebut, sudah seharusnya Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus perkara dari Fatia dan Haris melakukan penggabungan perkara yang secara hukum sengaja dipisah berkasnya oleh Jaksa Penuntut Umum. Selain itu, Majelis Hakim seharusnya membebaskan Fatia dan Haris dari seluruh dakwaan Jaksa Penuntut Umum.
Koalisi Masyarakat Sipil