Buruk Rupa Omnibus Law Cipta Kerja: Dinyatakan Inskonstitusional Bersyarat oleh MK
UU Omnibus Law Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 (Omnibus Law Ciptaker) telah dinyatakan Inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi akibat cacat formil berdasarkan Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, dengan mandat perbaikan dalam 2 tahun. Artinya, Pemerintah dilarang melakukan tindakan/membentuk kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Omnibus Law Ciptaker.
Pertimbangan Hakim Konstitusi pada halaman 412-414 menegaskan kecatatan formil terjadi akibat ketiadaan partisipasi masyarakat secara maksimal dan bermakna (meaningful participation) berbasis Asas Keterbukaan pada Pasal 5 Huruf (g) dan Pasal 96 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang merupakan perintah konstitusi pada Pasal 22A UUD Negara RI Tahun 1945. Lebih jauh, Pasal 22A UUD ’45 adalah pelaksanaan demokrasi deliberatif yang dimandatkan Sila ke-4 Pancasila.
Keadaan Darurat Negara: Alasan Yang Mengada-Ada
Presiden Jokowi justru menerbitkan Perpu No. 2/2022 Tentang Cipta Kerja dengan alasan kegentingan mendesak atas ancaman krisis ekonomi global dan kekosongan hukum sehingga diperlukan peraturan untuk mempermudah arus investasi.
Membaca kondisi ekonomi yang buruk mustinya berkaca pada kinerja Pemerintahan Jokowi yang ambruk: menteri dan kebijakan yang korup di segala segi, hukum dan aparat serta peradilan yang dikomodifikasi dan dikomersialisasi, serta berbagai pelanggaran hak asasi yang dinormalisasi, hingga terakumulasi merusak iklim kepercayaan investasi. Maka pembentukan Perpu No. 2/2022 dalam ihwal kegentingan memaksa tidak mementuhi Ketentuan Pasal 22 ayat (1) UUD ‘45 dan Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009.
Perpu: Melanggar Hak Asasi dari Segi Prosesi dan Substansi
Alasan kegentingan mendesak dalam Perpu No 2/2022, menghilangkan sejumlah hak asasi manusia dalam hal pemerintahan dan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Pertama, terjadi pelanggaran hak partisipasi rakyat dalam pemerintahan (Pasal 28 D ayat (3) UUD 45, Pasal 43 Ayat (2) dan Pasal 44 UU No. 39/1999 tentang HAM), karena tidak dapat memberikan masukan dan usulan.
Kedua, tertutupnya ruang partisipasi masyarakat juga menyebabkan terlanggarnya hak kebebasan berpendapat dan berekspresi (Pasal 28E Ayat (3) UUD 45, Pasal 23 Ayat (2) No. 39/1999 tentang HAM), serta hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi (Pasal 28F UUD 45 dan Pasal 14 UU No. 39/1999 tentang HAM).
Ketiga, tujuan utama “menyulap” ruang partisipasi bermakna adalah substansi Perpu No. 2/2022 sebagaimana Omnibus Law Ciptaker yang memperburuk kebijakan hak asasi manusia di banyak aspek, sebut saja lingkungan hidup, hak-hak dasar buruh, hak perempuan, dan lainnya; sehingga melanggar hak untuk memajukan diri dalam memperjuangkan hak secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya (Pasal 28C Ayat (2) UUD 45 dan Pasal 15 No. 39/1999 tentang HAM).
Penting bagi Ombudsman RI untuk memeriksa maladministrasi proses pembentukan Perpu No. 2/2022, serta KomnasHAM RI terkait pelanggaran hak asasi manusia akibat cacat formil Perpu dan substansi yang mengebiri hak asasi manusia.
Tabir Pemakzulan Presiden Jokowi: Despotisme Dalam Legislasi
Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020, lalu terbitnya Perpu No. 2/2022 menegaskan kembali bahwa Presiden Jokowi dan rejim pemerintahannya menganut paham Despotisme, yang menjalankan negara semaunya sendiri, dengan melanggar konstitusi dan mengkhianati Pancasila sebagai ideologi. Hal yang sama terjadi pada rancangan KUHP yang diinisiasi Presiden Jokowi, isinya anti-demokrasi, prosesnya tanpa partisipasi bermakna, sehingga melanggar banyak hak asasi manusia.
Presiden Jokowi telah melanggar mandat konstitusi UUD ’45 serta melanggar banyak hak asasi, terlebih lagi, mekanisme “negara hukum dan demokrasi” tidak berjalan karena mengeliminasi peran dan kewenangan DPR-RI dalam proses pembentukan undang-undang. Padahal substansi Perpu No. 2/2022 dikatakan mencakupi berbagai sektor, bukan hanya ekonomi, tapi juga hukum dan birokrasi, dengan jumlah pasal yang luar biasa. Seharusnya, ada pelibatan seluruh komponen dan struktur negara, bukan hanya DPR RI, tapi juga MPR RI dan DPD RI.
Namun Presiden Jokowi memilih jalan terjal yang berpotensi membuka tabir pemakzulan (impeachment) sebagaimana Pasal 7A UUD ’45 dan dipertegas oleh Pasal 10 Ayat (2) dan (3) UU No. 24/2003 tentang Mahkamah Konsitusi. Jika DPR-RI dalam kondisi setara tanpa subordinasi Presiden Jokowi, maka seharusnya DPR-RI, setidak-tidaknya 25 Anggota mengajukan Hak Menyatakan Pendapat untuk pemakzulan (Pasal 8 ayat (4) huruf c jo. Pasal 191 ayat (1) Peraturan DPR-RI No. 1/2019 tentang Tata Tertib). Meski belum tentu disetujui dalam Rapat Paripurna DPR-RI mengingat didominasi partai pendukung Presiden Jokowi, namun evaluasi di titik nadir kekuasaan eksekutif ini penting untuk menjadi peringatan dini hukum dan demokrasi serta hak asasi yang telah dilanggar oleh Presiden Jokowi, yang juga bermakna sebagai pelanggaran konstitusi dan pengkhianatan terhadap Pancasila. Jika tidak ada 25 negarawan di Senayan yang berani menjaga marwah Pancasila dan UUD, dan justru menjadi “bawahan” Presiden maka ini pertanda matinya hukum dan demokrasi sebagai mesin republik ini akibat pembangkangan eksekutif dan legislatif terhadap konstitusi. Yang artinya juga masyarakat dapat membangkangi seluruh struktur kekuasaan negara, baik eksekutif maupun legislatif, di pusat maupun daerah (civil rights to disobey).
Perhimpunan Bantuan Hukum & HAM Indonesia (PBHI)