Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengecam dan menyesalkan keputusan kejaksaan dan pemerintah yang menggelar eksekusi hukuman mati terhadap enam orang terpidana mati pada 18 Januari 2015. Eksekusi ini dapat dinilai sebagai pelanggaran hak-hak manusia yang berat (gross violation of human rights), karena eksekusi hukuman mati merupakan hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan harkat manusia.
Pemerintahan Joko Widodo tidak boleh berpegang semata-mata pada “kedaulatan negara” terhadap pertanyaan komunitas internasional, termasuk pemerintah Brasil dan Belanda. Pertama, karena negara RI sudah meratifikasi Kovenan International Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR) melalui legislasi UU No. 12/2005. Dalam Pasal 6 Ayat 1 ICCPR, hak untuk hidup (right to life) adalah hak yang melekat pada setiap orang, wajib dilindungi oleh hukum.[1] Sebelumnya, negara RI juga sudah meratifikasi Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment – CAT) melalui legislasi UU No. 5/1998. UU ini jelas menentang hukuman yang kejam dan tidak manusiawi atau merendahkan harkat manusia.
Kedua, eksekusi hukuman mati juga bertentangan dengan Pasal 28A UUD 1945 hasil perubahan.[2] Sebelumnya, eksekusi ini melawan Pasal 9 Ayat 1 UU No. 39/1999.[3] Keputusan kejaksaan dan pemerintah seharusnya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi maupun UU. Seharusnya, Jaksa Agung HM Prasetyo dan Presiden Joko Widodo mempertimbangkan peringatan yang diajukan oleh sejumlah LSM untuk membatalkan eksekusi hukuman mati. Bahkan seharusnya mereka berpegang pada konstitusi serta UU yang memerintahkan dipertahankannya hak untuk hidup. Karena pelaksanaan eksekusi hukuman mati ini melanggar hak untuk hidup – hak yang tidak dapat dipulihkan lagi.
Terlepas apa pun kejahatan yang sudah dilakukan seseorang, PBHI menentang pelaksanaan hukuman eksekusi mati karena merenggut hak untuk hidup. Karena kenyataannya, sistem peradilan pidana belum sepenuhnya fair atau jujur. Aparat penegak hukum (law enforcement officials) – kepolisian dan kejaksaan – masih dibiarkan melakukan pemerasan dan menerima suap, serta demikian pula halnya dengan aparat kehakiman. PBHI juga menemukan bahwa mereka dan pemerintahan Joko Widodo juga dapat bersikap keras terhadap narapidana narkoba, namun lembek terhadap tersangka korupsi dan narapidana korupsi padahal korupsi sudah digolongkan sebagai “kejahatan luar biasa”, apalagi terhadap orang-orang yang terlibat dan bertanggungjawab atas kejahatan internasional serius (serious crimes) seperti kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) dan genosida politik (political genocide). Kesan lembeknya pemerintahan Joko Widodo juga tercermin dari kasus pembunuhan Munir.
Untuk itu, PBHI meminta kepada aparat kehakiman supaya melakukan terobosoan untuk tidak menggunakan vonis hukuman mati. Sebaiknya, setiap kejahatan terberat diganti dengan hukuman seumur hidup – bukan vonis mati. PBHI mendesak pemerintah, khususnya kejaksaan, untuk menunda, bahkan diharapkan menghapus eksekusi hukuman mati.
Jakarta, 19 Januari 2015
Badan Pengurus Nasional PBHI
Suryadi Radjab
Sekretaris
[1] Pasal 6 Ayat 1 ICCPR: “Setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Hak ini wajib dilindungi oleh hukum. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang.”
[2] Pasal 28A UUD 1945 hasil perubahan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
[3] Pasal 9 Ayat 1 UU No. 39/1999: “Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.”
—
Sekretariat Nasional PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia)
Jl. Hayam Wuruk No. 4 SX-TX Kebon Kelapa, Gambir, Jakarta Pusat 10120
Phone: +62-21-385 9968, +62-21-351 3526, Fax: +62-21-385 9970
E-mail: seknas.pbhi@gmail.com, pbhi@cbn.net.id
Website: www.pbhi.or.id