Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) telah membuat catatan tentang dugaan pelanggaran hak-hak manusia sepanjang 2014. Kali ini sebanyak enam bidang yang menjadi perhatian, yaitu hak pilih dalam hubungannya dengan UU Pilkada, penerapan UU ITE, kasus pembunuhan Munir, pelanggaran oleh kepolisian, hak atas pendidikan, serta hak atas pekerjaan dan upah.
Pertama, RUU Pilkada disahkan DPR pada 26 September 2014. Langkah DPR dari Koalisi Merah Putih (KMP) bukan saja langkah mundur dalam demokrasi elektoral, namun juga bersifat memangkas hak pilih warga negara dengan memberikan hak eksklusif hanya kepada anggota DPRD belaka. Bila UU ini diterapkan – apa pun kepentingan politik KMP dan tameng argumen atau kedok lainnya yang digunakan – maka secara keseluruhan, lebih dari 100 juta orang kehilangan hak pilih.
Kedua, penerapan UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kembali “memakan” korban. Orang yang mengemukakan pendapat di media jejaring sosial, dijerat sebagai kejahatan sebagaimana dialami seorang mahasiswi di Yogyakarta. Kriminalisasi kebebasan berpendapat ini mengulangi korban yang dialami Prita Mulyasari pada 2009. UU ini telah menarik hak atas kebebasan berpendapat ke dalam wilayah kriminal, maka dapat dituduh bahwa UU ITE bersifat melanggar kebebasan berpendapat.
Ketiga, sejak awal kasus pembunuhan Munir dalam penerbangan pesawat Garuda Indonesia dari Singapura-Amsterdam pada 7 September 2004 belum tuntas, karena perancang pembunuhan Munir belum diajukan ke pengadilan. Dalam putusan terakhir, Pollycarpus – dengan menggunakan surat/dokumen palsu dan didakwa sebagai operator yang menaruh racun arsenic dalam makanan Munir – telah dijatuhi hukuman 14 tahun penjara, justru kini mendapatkan pembebasan bersyarat. Kebijakan ini menantang pemerintahan Jokowi dalam menuntaskan kasus yang sudah dikumpulkan fakta oleh Tim Pencari Fakta (TPF), namun laporannya belum pernah diumumkan dan tim baru belum juga terbentuk.
Keempat, dugaan pelanggaran hak-hak manusia (human rights violation) yang paling banyak dilakukan adalah oleh kepolisian. Sedikitnya 609 kasus dugaan pelanggaran ini telah ditandai dengan 449 kasus penembakan, 68 kasus pemukulan dan penyiksaan, 33 kasus salah tangkap, serta 59 kasus kesalahan prosedur administrasi. Sebanyak 1.024 orang telah menjadi korban pelanggaran, dengan 634 pelaku yang terlibat seperti Polres, Polsek, Polda, serta melibatkan beberapa aparat lainnya. Hak yang paling banyak dilanggar adalah hak untuk tidak disiksa dan diperlakukan kejam, yakni sebanyak 917 orang menjadi korban.
Kelima, hak atas pendidikan mengalami persoalan yang bertambah ruwet. Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2013 telah mengubah kurikulum untuk diterapkan di sekolah-sekolah, mulai dari SD hingga setingkat SMA. Penerapan ini bukan saja menimbulkan kesulitan (siswa, guru dan orangtua), namun juga tidak didukung kesiapannya dan akses informasi, selain ditambah jam pelajaran yang lebih banyak termasuk kewajiban mengikuti Pramuka. Program pendidikan ini dikeluhkan telah menambah beban siswa dan orangtua menjadi suatu tekanan mental. Kurikulum 2013 ini seperti mengabaikan pentingnya hak anak untuk waktu luang. Sementara itu, deretan angka putus sekolah juga masih tinggi sekitar 1,5-2,3 juta anak. Anggaran yang dialokasi sebesar Rp 18 triliun untuk memperbaiki 140.000 ruang sekolah yang rusak, tetap saja angka kerusakan sekolah tidak pernah di bawah 1.000 ruang per kabupaten. Persoalan ini masih ditambah dengan banyaknya kepala sekolah yang dituduh korupsi dana Biaya Operasional Sekolah (BOS).
Keenam, persoalan yang dihadapi pemerintah adalah menyediakan berbagai kesempatan untuk setiap orang memperoleh pekerjaan. Kelanjuan dari pemenuhan hak ini diiringi dengan hak atas upah yang layak. Namun demikian, sebanyak 7,39 juta orang justru masuk dalam status pengangguran di mana 3,2 juta di antaranya merupakan pengangguran terbuka. Sekitar 4 juta orang bekerja di luar negeri, dengan mengalirkan devisa yang mencapai Rp 100 triliun bahkan ada yang ditandai kurangnya perlindungan pemerintah. Sementara, ketika beberapa serikat atau organisasi buruh menuntut kenaikan UMP atau UMK, pemerintah provinsi atau kabupaten/kota tetap tidak dapat meningkat ke tingkat kebutuhan hidup layak (KHL). Perbedaan menyolok dialami di DKI Jakarta yang akan memberlakukan gaji PNS terendah Rp 12 juta per bulan, yang besarnya beberapa kali lipat dibandingkan UMP buruh Rp 2,441 juta per bulan.
Catatan ini merupakan gambaran tentang pelanggaran hak-hak sipil dan politik maupun berbagai tantangan dalam pelaksanaan komitmen pemerintah pusat dan daerah dalam realisasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. PBHI mendesak pemerintah dan DPR untuk mencabut atau merevisi UU yang dinilai melanggar hak-hak manusia, serta mengambil langkah-langkah yang dapat memajukan pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Jakarta 10 Desember 2014
Badan Pengurus Nasional
Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
• HENDARDI, Ketua MAN PBHI (08111.709.44)
• SURYADI RADJAB, Sekretaris BPN PBHI (08156020324)