Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) tetap menentang eksekusi hukuman mati atas terpidana narkotika, bila ada terpidana korupsi, atau bahkan kejahatan perang. Karena itu, jangan lagi pemerintah lewat kejaksaan untuk mengulangi menjagal orang dengan eksekusi hukuman mati.
PBHI meminta Jaksa Agung, cukup sudah! Hentikan kegembiraan menghukum narapidana dengan tindakan membunuh mereka. Cukup enam orang terpidana yang sudah meregang nyawa pada 18 Januari 2015. Dan tidak perlu 131 orang lagi dijadikan daftar tunggu untuk dijagal oleh kejaksaan.
PBHI perlu mengingatkan kembali hukuman mati itu. Pertama, karena hukuman ini merupakan hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Hukuman mati hanya dapat dilakukan negara/pemerintah dengan cara membunuh. Tidak perlu pemerintahan Joko Widodo membangunkan kembali regim yang bengis atau “regim jagal” hanya dengan klaim “Indonesia darurat narkoba”.
Kedua, merenggut hak untuk hidup merupakan pelanggaran berat hak-hak manusia, karena hak untuk hidup salah satu hak yang tidak boleh ditangguhkan (non-derogable right) dalam keadaan apa pun, apalagi dalam keadaan damai. Hukuman ini dipastikan menghancurkan keutuhan tubuh/pribadi (personal integrity) yang dieksekusi. Sejauh ini juga Presiden Joko Widodo tidak pernah mengeluarkan keputusan yang menyatakan “perang melawan narkoba”.
Ketiga, hukuman mati bertentangan dengan UUD 1945 hasil perubahan, UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 5/1998 tentang Ratifikasi Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, serta UU No. 12/2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik. Maka, PBHI mendesak supaya pemerintah kembali kepada konstitusi, jangan melawannya, jangan membenar-benarkannya dengan hukum yang hanya menaikkan “regim jagal”.
Keempat, pemerintahan Joko Widodo mewarisi sistem peradilan pidana yang masih korup. Dalam beberapa kasus, para petugas kepolisian melakukan pemerasan dan suap dengan tersangka kasus narkoba, atau rekayasa kasus, selain penggunaan senjata api secara berlebihan. Bahkan, tahun lalu, dua pejabat Polda Kalbar diduga terlibat jaringan narkoba internasional yang ditangkap di Kuching, Malaysia. Kejaksaan dan kehakiman pun tidak sepenuhnya bersih dari pemerasan dan suap dalam kasus kriminal yang sama. Padahal, dalam UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kejahatan ini sebagai “kejahatan luar biasa” (extra ordinary crimes).
Kelima, eksekusi hukuman mati tidak dapat memberikan kesempatan untuk melakukan koreksi atas kemungkinan kesalahan atau kesewenang-wenangan dalam pelaksanaan peradilan pidana, atau “peradilan sesat”. Bila kesalahan ini terjadi, maka pemerintah hanya dapat mengatakan “sudah telanjur”! Tanpa suatu peradilan yang jujur – mematuhi prosedur hukum dan tidak korup – sulit dioperasikan tanpa melanggar hak-hak tersangka.
Keenam, PBHI khawatir berlanjutnya eksekusi hukuman mati itu dapat memberikan celah untuk berkembang ke dalam bentuk-bentuk pelanggaran hak-hak manusia lainnya. Mengeksekusi orang sampai meregang nyawa saja dibenarkan, apalagi bentuk-bentuk tindakan lainnya yang merusak tubuh tersangka atau narapidana tanpa mematikannya.
Ketujuh, banyak negara sudah mengadopsi Protokol Opsional II ICCPR tentang Penghapusan Hukuman Mati (Second Optional Protocol to the ICCPR, Aiming at the Abolition of the Death Penalty). Eksekusi mati yang dijalankan kejaksaan dan sikap Presiden Joko Widodo yang merestuinya akan menjadi cacatan buruk dalam pelaksanaan hak-hak manusia di Indonesia. PBHI tidak berharap pemerintahan Joko Widodo dicap komunitas internasional sebagai pembangun kembali “regim jagal”.
Kedelapan, pernyataan “Indonesia darurat narkoba” tanpa diiringi dengan memerangi korupsi hanya sekadar menampilkan kesan bahwa pemerintah lewat kejaksaan sedang memoles citra anti-narkoba yang dapat diduga hanyalah bersifat sementara. Ada pula dugaan bahwa “mafia narkoba” tidaklah beroperasi tanpa tangan-tangan yang membekingnya. Apalagi sebagian yang disorongkan menuju eksekusi mati hanyalah para pengedar kecil-kecilan. Lagi pula, dalam beberapa kasus, Presiden Joko Widodo justru lembek terhadap para tersangka korupsi yang mengesankan wataknya yang diskriminatif.
Dengan demikian, ketegasan pemerintah tidak harus dengan membangunkan kembali “regim jagal”. Cukup sudah enam orang yang dibantai tanpa perlu melanjutkannya lagi dengan 131 orang yang disiapkan untuk menunggu ajal. Lebih baik pemerintah fokus membenahi aparat kepolisian dan kejaksaan demi menuju good governance sambil berharap aparat kehakiman mengikutinya.
Jakarta, 21 Januari 2015
Badan Pengurus Nasional PBHI
Suryadi Radjab
Sekretaris
—
Sekretariat Nasional PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia)
Jl. Hayam Wuruk No. 4 SX-TX Kebon Kelapa, Gambir, Jakarta Pusat 10120
Phone: +62-21-385 9968, +62-21-351 3526, Fax: +62-21-385 9970
E-mail: seknas.pbhi@gmail.com, pbhi@cbn.net.id
Website: www.pbhi.or.id