Kemerdekaan Berekspresi terutamanya kemerdekaan berpendapat memiliki sejumlah alasan menjadi kenapa salah satu hak yang penting dan menjadi indikator terpenting dalam menentukan seberapa jauh iklim demokrasi di sebuah negara dapat terjaga. Menurut Toby Mendel (2008) bahwa “Terdapat banyak alasan mengapa kebebasan berekspresi adalah hak yang penting, pertama-tama karena ini adalah sebagai dasar dari demokrasi, kedua kebebasan berekspresi berperan dalam pemberantasan korupsi, ketiga kebebasan berekspresi mempromosikan akuntabilitas, dan keempat kebebasan berekspresi dalam masyarakat dipercaya merupakan cara terbaik untuk menemukan kebenaran”
Kemerdekaan Berpendapat Vs. Hak Atas Reputasi
Hak atas reputasi sebagaimana juga hak atas kemerdekaan berekspresi mendapatkan perlindungan dari hukum internasional terutama dalam Pasal 12 Deklarasi Universal HAM dan juga Pasal 17 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik. Konstitusi Indonesia juga menjamin perlindungan hak atas reputasi ini mendasarkan pada Pasal 28 G. Namun yang menjadi pertanyaan pokok, tepatkah bila asumsi dasar yang digunakan bahwa hanya hukum pidana yang dipandang sebagai satu-satunya cara dari bentuk perlindungan dari negara terhadap hak atas reputasi?
Dalam hukum hak asasi manusia Internasional, negara memang diwajibkan untuk menciptakan instrumen dan/atau mekanisme untuk melindungi hak atas reputasi. Untuk melindungi hak atas reputasi, pada umumnya negara – negara di dunia melakukannya melalui dua instrumen hukum yaitu hukum pidana dan juga hukum perdata. Namun perlindungan terhadap kehormatan dan reputasi induvidu tersebut juga harus dilihat relasinya dengan keberadaan hak yang lain, yakni hak atas kebebasan berbicara (free speech), berekspresi (freedom of expression), dan kebebasan pers (freedom of the press). Perlindungan terhadap hak atas reputasi tidak boleh sampai menjadi senjata ampuh untuk membungkam kemerdekaan berpendapat seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Oleh karena itu penggunaan instrumen hukum pidana justru dapat membatasi esensi hak itu sendiri, oleh karena itu tak heran apabila Pelapor Khusus PBB untuk Kemerdekaan Berekspresi setiap tahun selalu menyerukan agar negara – negara yang meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik untuk menghapuskan ketentuan pencemaran nama baik dalam hukum pidana. Gema penghapusan itupun sudah sedemikian hebatnya sampai-sampai Sidang Umum PBB pada awal 2009 juga menyerukan kepada negara-negara anggota PBB untuk melakukan penghapusan ketentuan pencemaran nama baik dalam hukum pidananya.
Problematika Delik Penghinaan
Sejarah delik reputasi sendiri, berdasarkan pendapat Nono Anwar Makarim (2008), dapat ditelusuri hingga ke 1275 saat Statute of Westminster memperkenalkan apa yang dinamakan Scandalum Magnatum yang menyebutkan “ . . . . sejak sekarang tidak boleh lagi orang secara lancang mengutarakan atau menerbitkan berita dan cerita bohong yang dapat menumbuhkan konflik atau kemungkinan konflik atau fitnah antara raja dan rakyatnya atau orang-orang besar didalam negeri ini”
Scandalum Magnatum sendiri bertujuan menciptakan proses perdamaian dari keadaan yang dapat mengancam ketertiban umum ketimbang untuk melindungi reputasi serta pemulihan nama baik. Terlalu banyak kegaduhan bersenjata dan korban jiwa yang timbul akibat rasa tersinggung seorang oleh apa yang dianggapnya penghinaan oleh orang lain. Dendam bahkan mengambil posisi lebih penting ketimbang perlindungan reputasi semata. Jaman itu informasi jarang bisa diperoleh dan sulit dikonfirmasi. Desas-desus gampang sekali mengakibatkan adu anggar dan pistol didepan umum. Kadangkala kegaduhan bahkan sedemikian meluas sampai menyerupai pemberontakan. Menurut Mahkamah Agung Kanada tujuan undang-undang tersebut adalah untuk mencegah beredarnya rumor palsu. Dalam masyarakat yang didominasi tuan-tuan tanah yang kekuasaannya begitu besar amarah si pembesar lokal bahkan bisa mengancam keamanan negara.
Delik reputasi di Indonesia, delik genusnya dapat ditemukan dalam Bab XVI KUHP
tentang Penghinaan. Ada tiga persoalan pokok dalam memandang delik reputasi dalam KUHP, disamping itu Pasal 310 KUHP juga tidak menjelaskan tentang pengertian penghinaan itu sendiri selain dari “sengaja untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang untuk diketahui umum. Seperti yang telah dijelaskan diatas tentang niat kesengajaan untuk menghina, lagi-lagi hukum pidana gagal dalam memandang dalam ukuran apakah seseorang dapat dikualifikasi telah melakukan penghinaan. Menurut Dr. Mudzakkir, SH, MH, maka ukuran yang dipakai dalam hukum pidana adalah subjektif yang diobjektifisir. Artinya subjektif adalah perasaan orang yang terhina, diobjektifisir adalah diukur secara objektif pada umumnya di tempat dimana perbuatan dilakukan, apakah perbuatan tersebut itu termasuk kategori perbuatan menghina atau tidak atau menurut pandangan masyarakat di tempat mana perbuatan tersebut dilakukan sebagai perbuatan tercela tidak baik atau menghina. Ukuran ini juga mempunyai kelemahan mendasar, mengingat penerapan delik penghinaan pada umumnya selalu dalam keadaan yang tidak seimbang antara si penghina dan si terhina. Posisi si Terhina selalu dalam posisi yang kuat baik secara ekonomi, politik, ataupun hukum, sementara si Penghina selalu dalam posisi yang lemah atau dilemahkan baik secara ekonomi, politik, ataupun hukum.
Selain itu sulit untuk melihat apakah suatu pernyataan adalah sebuah kritik ataukah sebuah penghinaan, maka Dr. Mudzakkir, SH, MH, lagi – lagi menggambarkan dengan cukup baik bagaimana rentannya kritik yang dapat seketika berubah menjadi tindak pidana penghinaan tersebut. Beliau menggambarkan “Harus dibedakan antara melakukan kritik terhadap seseorang (termasuk kritik terhadap presiden) dengan penghinaan, karena keduanya memiliki makna yang berbeda. Kritik tidak sama dengan menghina. Menghina adalah suatu perbuatan pidana, karena penghinaan merupakan kesengajaan untuk menyerang kehormatan atau nama baik seseorang yang diawali dengan adanya kesengajaan jahat atau niat jahat (criminal intent) agar orang lain terserang kehormatan atau nama baiknya. Jika terjadi, tindakan kritik yang didahului, disertai atau diikuti dengan perbuatan menghina, maka yang dipidana menurut hukum pidana bukan perbuatan kritiknya, melainkan perbuatan penghinaannya”
Problematika (Perumusan) Pasal 27 ayat (3) UU ITE
Pasal 27 ayat (3) dirumuskan sebagai berikut “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Setidaknya ada 4 unsur dalam Pasal 27 ayat (3) tersebut diantaranya adalah : (1) Setiap Orang (2) dengan sengaja dan tanpa hak (3) mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik (4) memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Terdapat beberapa pengertian kunci yang justru tidak mendapatkan penjelasan memadai yaitu pengertian dengan sengaja, pengertian tanpa hak, pengertian mendistribusikan, dan pengertian mentransmisikan. Namun kata kunci yang paling penting adalah kata “dengan sengaja dan tanpa hak” dan kata kunci “ memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Menurut keterangan Menkominfo dan Menhukham pada persidangan di Mahkamah Konstitusi pada 12 Februari 2009 dengan sengaja diartikan sebagai “pelaku harus menghendaki perbuatan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan mengetahui bahwa Informasi dan/atau Dokumen Elektronik tersebut memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Sementara unsur tanpa hak dalam kesempatan yang sama juga diartikan sebagai “perumusan sifat melawan hukum yang dapat diartikan (1) bertentangan dengan hukum dan (2) bertentangan dengan hak atau tanpa kewenangan atau tanpa hak”. Namun tidak diperoleh keterangan tentang “memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” selain hanya kalimat tersebut merujuk pada setiap delik penghinaan dalam KUHP.
Keseluruh definisi tersebut memberikan komplikasi tersendiri, karena suatu informasi/dokumen elektronik harus dinyatakan terlebih dahulu berdasarkan putusan pengadilan, sebagai informasi/dokumen elektronik yang menghina berdasarkan aturan tindak pidana penghinaan dalam KUHP. Karena tanpa putusan pengadilan, tentu informasi/dokumen elektronik yang dianggap menghina tersebut harus dinyatakan terlebih dahulu sebagai informasi/dokumen elektronik yang tidak mempunyai sifat penghinaan.
Namun sayangnya telah terjadi pengaburan fakta, dalam kasus Ibu Prita Mulyasari, yang dilakukan secara sistematis oleh pemerintah khususnya Depkominfo dengan hanya dengan mendasarkan pada kalimat “tanpa hak”. Pada konteks penegakkan hukum pidana dalam kasus Ibu Prita Mulyasari, maka pengadilan harus lebih dulu memutuskan apakah email tersebut mempunyai nilai penghinaan di mata hukum berdasarkan Pasal 310 atau 311 KUHP dan setelah itu baru Pengadilan akan memeriksa tindakan dari Ibu Prita Mulyasari yang melakukan distribusi dan transmisi ke beberapa orang temannya sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Artinya jika email Ibu Prita dinyatakan bersalah berdasarkan Pasal 310 atau 311 KUHP, maka tindakan pengiriman email yang dilakukan oleh Ibu Prita Mulyasari kepada beberapa temannya sudah tentu bersalah pula menurut ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Problem lainnya yang akan muncul adalah, jika email yang dikirimkan oleh Ibu Prita Mulyasari telah dinyatakan bersalah berdasarkan Pasal 310 atau Pasal 311 KUHP, maka orang – orang yang menyebarluaskan termasuk mereplikasi email tersebut dalam bentuk lain tentu harus masuk dalam jerat Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Maka bisa dibayangkan dalam sekejap ratusan ribu orang Indonesia harus masuk bui karena terkena jeratan Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Karena itu Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum terhadap Ibu Prita Mulyasari mempunyai kelemahan mendasar karena hanya menggunakan jenis dakwaan alternatif dan bukannya kumulatif – alternatif.
Politik Hukum Yang Represif
Politik hukum pidana Indonesia dalam konteks penghinaan jelas makin represif. Pemerintah dan DPR dapat dikatakan sangat menyukai menciptakan beragam delik baru tentang penghinaan yang sesungguhnya telah eksis dalam KUHP. Maka boleh juga dikatakan bahwa tindakan pemerintah dan DPR tersebut ibarat jika memiliki kendaraan dan yang rusak adalah spionnya maka yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR adalah membeli kendaraan baru ketimbang memperbaiki yang rusak. Meski sangat tidak disarankan dan represif, aturan tindak pidana penghinaan dalam KUHP jelas masih memadai jika hanya dimanfaatkan mencegah perbuatan penghinaan di Internet. Hal ini dapat dilihat dari beragam kasus penghinaan melalui internet yang masih didakwa dan diputus menggunakan KUHP di antaranya kasus Ahmad Taufik, dalam kasus penyebaran kronologis penyerang kantor Tempo melalui milis, dan kasus Teguh Santosa, pada kasus penghinaan terhadap agama melalui situs berita http://rakyatmerdeka.co.id.
Kesemua kasus yang melibatkan dunia internet masih menggunakan dan terjangkau oleh KUHP dan Mahkamah Agung tidak pernah terpaksa untuk membuat analogi yang diperluas, sesuatu yang dilarang dalam hukum pidana, untuk memeriksa perkara penghinaan yang dilakukan melalui medium internet dengan menggunakan KUHP. Dan yang lebih penting, tidak ada satupun negara hukum modern yang demokratis di dunia yang memiliki delik penghinaan dalam beragam peraturan perundang-undangan.
Selain itu perumus KUHP jelas jauh lebih bijak karena menggunakan beragam kategorisasi delik dan ancaman yang berbeda beda dalam kasus penghinaan. Namun jika melihat lebih dalam pada UU Penyiaran dan khususnya UU ITE, maka kategorisasi delik ini telah ditinggalkan selain itu ancaman pidananya juga semakin dipertinggi tanpa landasan filosofis kenapa harus diperberat. Dalam pembahasan perumusan UU ITE maka tidak terdapat alasan filosofis selain alasan dari Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung RI, jika merujuk pada Rapat Dengar Pendapat Umum yang dibuat oleh Depkominfo pada 21 Juli 2006, untuk bisa langsung ditahan.
Suatu ilustrasi menarik dapat dilihat pada Kamis, 19 Maret 2009, saat Jaksa Arief Muliawan, SH, MH, Kabag Sunproglapnil Kejaksaan Agung RI memberikan keterangan sebagai saksi pemerintah dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi dengan menyatakan “Seandainya pelaku (penghinaan) dihukum 10 atau 20 tahun pun, sebenarnya itu belum sebanding dengan akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut”. Hal ini sudah cukup menjadi penanda bahwa politik hukum pidana Indonesia dalam konteks penghinaan akan semakin represif.
Oleh :
Anggara S.H.